Semoga suka dengan ceritanya. Jangan lupa tinggalkan jejak. Makasih, salam sehat selalu.
Bab 54 Ana melangkah gontai menyusuri trotoar depan gedung mirip tempat pelatihan kalau ia tidak salah terka. Laki-laki yang ditemui tadi parkir di sekitar gedung itu. Ia akan mencoba esok lagi harus berhasil menggaet pembeli. Sekarang tekadnya adalah pulang ke kos bertanya teman yang sudah menjadi reseller produk XYZ cosmetic. Panas mentari begitu terik membakar kulit wajah. Ana mengusap peluh yang membasahi dahi. Melewati kedai jus, gejolak hatinya ingin membeli. Tenggorokannya sudah kering kerontang akibat banyak bicara tadi. Namun, ia teringat belum makan siang, juga susu Aira belum terbeli. Membuka dompet ternyata tinggal 2 lembar, satu warna merah dan satunya biru. "Jus, makan siang, susu?" Ana menyugar rambutnya kasar. Kepalanya pusing membagi uang untuk keperluan hari ini. Harapan mendapat tambahan uang tadi ternyata gagal oleh lelaki yang baru saja dijulukinya muka kulkas. "Susu, makan siang, jus." Ana membuang napas kasar. Andai saja berlembar-lembar uang di dalam domp
BAB 55 "Aira....Ai, Sayang. Kenapa jadi panas begini badannya?" Ana menaruh tasnya di meja, pun belanjaan nasi bungkus juga susu untuk Aira. Ia kebingungan melihat kondisi wajah Aira yang pucat seputih kapas. Bahkan di sekitar mulutnya terlihat membiru. Punggung tangannya menyentuh dahi ternyata benar demam tinggi. "Mbok, gimana ini?" Ana panik tak terkira. Selama merawat Aira belum pernah bayi itu panas tinggi hingga kondisinya mengkhawatirkan seperti sekarang. Kedua mata balita mungil itu terpejam, sesekali rewel nangis kencang. Ana menyentuh badan Aira terasa dingin. Ia menyambar jaket kecil lalu dipakaikan. "Ai kedinginan, Mbok." Di dekapnya sang bayi dalam gendongan. Ana menenangkan tangisan Ai sambil menimangnya. Ia meminta tolong Mbok Darmi mengambilkan air anget dan serbet. Setelah datang Mbok Darmi menyerahkannya ke Ana. "Kita bawa ke rumah sakit saja, Na!" "Sebentar, Mbok!" Ana berusaha setenang mungkin. Ia meremas serbet dengan tangan kanan sambil duduk di ranj
"Gimana, Dok?" tanya Ana penasaran. "Maaf..., lain kali kalau badannya demam jangan di pakaikan pakaian tebal dan selimuti. Ana termenung karena merasa bersalah. Ia minim pengetahuan merawat bayi. Sehari-hari hanya memikirkan bagaimana mencari uang untuk bertahan hidup. Juga mencari ayah Aira di ibukota yang luasnya tak terkira. "Kenapa begitu, Dok?" Ana pun tidak malu untuk bertanya supaya lain kali kejadian yang sama tidak terulang. "Awalnya banyak ibu memakaikan jaket alasannya agar anak tidak kedinginan dan segera berkeringat lalu suhu tubuhnya menjadi menurun. Padahal hal tersebut tidak boleh dilakukan, karena bahan yang tebal justru akan mencegah keluarnya panas dari dalam tubuh." Ana mendengarkan seraya menganggukkan kepala. "Alih-alih turun, suhu tubuh bisa saja semakin naik, dan demam anak menjadi lebih tinggi. Sebaiknya ibu memakaikan anak dengan pakaian yang tipis, sehingga suhu panas dalam tubuh dapat dengan mudah keluar dari dalam tubuh," imbuh dokter membuat An
"Ana, Ana. Sudah aku bilang kamu layak mencobanya. Sini aku ajari dandan biar cantik. Jadi pembeli nggak meragukan produk yang kamu tawarkan." Rita menerocos tanpa henti membuat Ana meringis."Lagian kayak tuh cowok ganteng aja, Mbak." Ana mendecis kesal."Memangnya kayak mana orangnya?" Rita mengambil satu produk kosmetik dari pouch di tasnya untuk pemula. Ana hanya memperhatikan dengan seksama."Muka item dingin kayak kulkas. Ishh gemes deh mau maki-maki kok ya pembeli itu raja."Rita tergelak dengan ucapan Ana. Wajah Ana yang ditekuk membuat Rita terpingkal sampai sakit perut."Aku malah diceramahi udah pakai produknya belum, tahu asal usulnya nggak, promonya hanya beginian? Haduh Mbak pengin jitak kepalanya tahu, nggak?""Haha, Ana, Ana. Benar kan kata cowok itu. Kamu ikutin aja! Kalau berhasil kan lumayan saran gratis tuh.""Tapi kan kesel juga, kayak nggak ada pembeli lain aja."
"Mbak gimana, sih? Ini mobil mahal, kalau lecet kamu nggak bisa bayar biaya bengkel." Seorang laki-laki muda keluar dari pintu kemudi. Ia berdiri dengan wajah garang di dekat Ana. Mungkin dia adalah sopir mobil mewah yang menabrak Ana. Jantung Ana berdebar, bukan karena rasa sakit akibat badannya membentur tanah. Akan tetapi, ia takut kalau dimarahi pemilik mobil. Akibat menabraknya, bisa jadi mobilnya lecet. Sopirnya saja marahnya kayak gitu, apalagi pemiliknya pasti sudah mencak-mencak "Ough...sakit." "Sengaja ya? Biar dikasih uang berobat?"Ana beristighfar dalam hati. Matanya sudah mengembun. Ternyata begini rasanya diperlakukan semena-mena di ibukota. Kalau di kampung, tetangga akan memarahi habis-habisan orang yang naik mobil karena menabrak. Ini justru korban yang dicaci. Memang Ana yang salah tidak melihat jalan saat menyeberang. Namun, ia berharap dibantu bangun bukannya malah dihina. "Ada apa, Ton?" Sebuah kaca mobil bagian belakang terbuka memperlihatkan laki-laki pa
"Oh, iya maaf Pak. Tidak apa-apa, saya akan menawarkan ke orang lain." "Maksud saya produk ini mungkin lebih cocok dipakai anak saya." Senyum di wajah Ana terbit kembali, ia berharap produknya dibeli oleh orang ini. "Ini kartu nama saya. Ada alamat yang tertera. Kamu bisa datang ke rumah bertemu anak atau menantu saya. Mungkin saja mereka mau memakainya." "Wah terima kasih banyak, Pak. Saya akan mengunjunginya nanti atau besok." Ana membungkukkan badan seraya mengucap terima kasih, lalu meninggalkan pemilik mobil mewah yang juga adalah direktur kantor pelatihan yang dua hari ini disambangi Ana. Siang hari yang terik, Ana menahan nyeri di lutut saat melangkah pulang ke kontrakan yang masih bisa dijangkau dengan jalan kaki dari kantor pelatihan tadi. "Na, kenapa jalan kamu tertatih begitu?" sapa Mbok Darmi heran. "Keserempet mobil, Mbok." "Astaghfirullah. Trus gimana? Mana yang sakit. Apa mobilnya kabur? Kamu nggak kenapa-napa, kan?" "Satu-satu, Mbok. Aku baik-baik saja
Bab 60"Siapa, Pak?!" Sebuah suara bariton terdengar dari sosok laki-laki yang berdiri di teras. "Hah. Bukankah dia...." Ana berbalik memunggungi laki-laki bernama Arga yang dua kali ditawarinya produk. Ia heran kenapa laki-laki itu ada di rumah Pak Ardi."Apa dia kerja di sini juga? Jangan-jangan dia anaknya." Ana bergidik ngeri jika faktanya benar. Motor yang dipakai kemarin sudah menandakan kalau pengendaranya orang kaya. "Maaf, Pak. Saya nggak jadi ketemu Pak Ardi. Saya mau balik saja." "Eh gimana sih, Mbak. Tapi baguslah, disini memang nggak nerima sales," ungkap satpam. "Hei tunggu! Siapa perempuan itu, Pak?" "Sales, Mas." Satpam menjawab asal membuat Arga memicingkan mata ke arah Ana. "Sepertinya saya pernah melihatnya. Hmm, tidak salah lagi. Hei kamu!" Ana tidak menoleh karena merasa Arga tidak memanggilnya. "Hei, kamu budeg ya? Atau pura-pura nggak dengar?" "Saya?" Ana menoleh sambil menunjuk dadanya. Ia sebisa mungkin menahan diri agar tidak terpancing emosi. Dua kal
Bab 61"Ayah Aira? Foto itu ayah Aira. Bagaimana bisa Mas Sakha ada di foto itu." Ana menutup mulutnya yang ternganga. Hatinya berkecamuk kenapa sampai dirinya terdampar di rumah ayah Aira. Allah mendengar doanya. Dalam setia sujud panjangnya, ia menyerukan keinginan mempertemukan Aira dengan ayahnya agar balita itu mendapat kehidupan yang lebih layak. Apa jadinya kalau besar nanti Aira bersamanya. Untuk makan saja ia kesusahan mendapatkan uang. Bahkan ke rumah sakit saat genting ia masih menimang-nimang biaya periksa. "Ai. Ayahmu ada di sini. Apakah ini takdir Allah yang membuat kita akan mulai terpisah. Aku akan hidup sendiri dan kamu besar bersama keluarga ayahmu." Ana menunduk menahan sesak di dada. Bahkan bulir bening berjatuhan tanpa seizin pemiliknya. "Ai, kenapa aku jadi nggak rela berpisah denganmu, Sayang. Tapi aku takut kamu menderita tinggal bersamaku. Sementara ayahmu kondisinya berlimpah harta." "Na. Ana!" Suara Rahma membuyarkan kegiatan Ana mengguman sendiri. Ia b