Jangan lupa tinggalkan jejak dan love ya. Makasih sudah baca ceritaku
"Oh, iya maaf Pak. Tidak apa-apa, saya akan menawarkan ke orang lain." "Maksud saya produk ini mungkin lebih cocok dipakai anak saya." Senyum di wajah Ana terbit kembali, ia berharap produknya dibeli oleh orang ini. "Ini kartu nama saya. Ada alamat yang tertera. Kamu bisa datang ke rumah bertemu anak atau menantu saya. Mungkin saja mereka mau memakainya." "Wah terima kasih banyak, Pak. Saya akan mengunjunginya nanti atau besok." Ana membungkukkan badan seraya mengucap terima kasih, lalu meninggalkan pemilik mobil mewah yang juga adalah direktur kantor pelatihan yang dua hari ini disambangi Ana. Siang hari yang terik, Ana menahan nyeri di lutut saat melangkah pulang ke kontrakan yang masih bisa dijangkau dengan jalan kaki dari kantor pelatihan tadi. "Na, kenapa jalan kamu tertatih begitu?" sapa Mbok Darmi heran. "Keserempet mobil, Mbok." "Astaghfirullah. Trus gimana? Mana yang sakit. Apa mobilnya kabur? Kamu nggak kenapa-napa, kan?" "Satu-satu, Mbok. Aku baik-baik saja
Bab 60"Siapa, Pak?!" Sebuah suara bariton terdengar dari sosok laki-laki yang berdiri di teras. "Hah. Bukankah dia...." Ana berbalik memunggungi laki-laki bernama Arga yang dua kali ditawarinya produk. Ia heran kenapa laki-laki itu ada di rumah Pak Ardi."Apa dia kerja di sini juga? Jangan-jangan dia anaknya." Ana bergidik ngeri jika faktanya benar. Motor yang dipakai kemarin sudah menandakan kalau pengendaranya orang kaya. "Maaf, Pak. Saya nggak jadi ketemu Pak Ardi. Saya mau balik saja." "Eh gimana sih, Mbak. Tapi baguslah, disini memang nggak nerima sales," ungkap satpam. "Hei tunggu! Siapa perempuan itu, Pak?" "Sales, Mas." Satpam menjawab asal membuat Arga memicingkan mata ke arah Ana. "Sepertinya saya pernah melihatnya. Hmm, tidak salah lagi. Hei kamu!" Ana tidak menoleh karena merasa Arga tidak memanggilnya. "Hei, kamu budeg ya? Atau pura-pura nggak dengar?" "Saya?" Ana menoleh sambil menunjuk dadanya. Ia sebisa mungkin menahan diri agar tidak terpancing emosi. Dua kal
Bab 61"Ayah Aira? Foto itu ayah Aira. Bagaimana bisa Mas Sakha ada di foto itu." Ana menutup mulutnya yang ternganga. Hatinya berkecamuk kenapa sampai dirinya terdampar di rumah ayah Aira. Allah mendengar doanya. Dalam setia sujud panjangnya, ia menyerukan keinginan mempertemukan Aira dengan ayahnya agar balita itu mendapat kehidupan yang lebih layak. Apa jadinya kalau besar nanti Aira bersamanya. Untuk makan saja ia kesusahan mendapatkan uang. Bahkan ke rumah sakit saat genting ia masih menimang-nimang biaya periksa. "Ai. Ayahmu ada di sini. Apakah ini takdir Allah yang membuat kita akan mulai terpisah. Aku akan hidup sendiri dan kamu besar bersama keluarga ayahmu." Ana menunduk menahan sesak di dada. Bahkan bulir bening berjatuhan tanpa seizin pemiliknya. "Ai, kenapa aku jadi nggak rela berpisah denganmu, Sayang. Tapi aku takut kamu menderita tinggal bersamaku. Sementara ayahmu kondisinya berlimpah harta." "Na. Ana!" Suara Rahma membuyarkan kegiatan Ana mengguman sendiri. Ia b
Bab 62Sakha meninggalkan Rahma berdua dengan Ana yang masih terpaku. Keduanya mengobrolkan tentang strategi memasarkan produk. "Jadi, nanti kamu hanya menawarkan lewat medsos. Sudah ada grup yang di list ini. Satu-satu kita share produk baru. Jangan lupa setiap komentar kita balas dengan sopan." Ana seolah mendengar penjelasan panjang lebar, padahal pikirannya berselancar ke sana kemari. "Na! Apa kamu sudah paham?" Ana tersentak oleh suara meninggi yang sampai ke telinganya. Fokusnya sudah buyar. Alih-alih mendengarkan langkah-langkah yang disampaikan Rahma, Ana justru memikirkan nasib Aira. Apa tujuan hidupnya akan tetap sama atau justru berbelok setelah bertemu Sakha "Maaf, Mbak. Perasaan saya kok nggak enak ya. Saya kepikiran Aira di rumah. Tadi sempat anget." "Aira siapa? Anakmu?" Ana mengangguk dengan seulas senyum. "Kamu sudah punya anak? Umur berapa? Kenapa tadi nggak diajak saja? Saya bisa berkenalan dengan anak kamu." Binar yang terlukis di wajah Rahma membuat Ana
Bab 63"Mas. Kasian anaknya sakit." Rahma masih mendesaknya. Traumanya terhadap anak balita menyeruak kembali. "Gimana kalau terjadi apa-apa pada anaknya, Mas. Seperti anak ki..." "Stt, mereka bukan keluarga kita, Sayang. Sudah biarkan saja dia naik taksi sendiri. Aku capek, mau rebahan dulu." Rahma sedikit kecewa, tetapi tidak patah arang. Ia akan meminta bantuan Arga atau kalau perlu satpam rumah. Sementara itu, Ana yang tak sengaja mendengar perdebatan suami istri di kamar yang pintunya masih terbuka sedikit, hanya mematung di luar kamar. "Mas Sakha sungguh tidak peduli Aira. Dia begitu membenci anak dan istrinya, kah?" Menepuk-nepuk berulang dadanya, Aira tidak bisa menahan emosi yang menyesakkan dada. Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Memilih ke luar ke teras, Ana tidak mau penghuni rumah tahu kalau dia menangis. "Hei, Mbak mau kemana? Seenaknya keluar masuk rumah orang. Nggak tahu sopan santun ya?" Ana menulikan pendengarannya. Keinginannya hanya satu menjauh dari
Bab 64Begitu mobil pajero sampai pelataran rumah sakit, Ana meminta diturunkan. Akhirnya Rahma menemaninya, sedangkan Arga memarkirkan mobilnya. "Hati-hati, Na!" tegur Rahma saat Ana berjalan tanpa mempedulikan sekitar. Bahkan ia hampir beberapa kali menabrak petugas yang sedang mendorong brankar. "Mbak, ada pasien balita bernama Aira Kus..." Ucapan Ana terjeda karena ia tersadar siapa yang ada di sampingnya. "Aira Kusuma, Mbak." Ana berucap lirih saat melihat Rahma sedang mencari-cari adik iparnya. Arga sempat berjanji akan menyusul mereka. Akan tetapi, yang dicari belum nampak batang hidungnya. "Oh, balita bernama Aira baru diperiksa dokter di dalam." "Ana!" Sebuah seruan membuat Ana menoleh. "Mbak Rita. Gimana Aira?" Ana memeluk erat teman kosnya yang baru saja keluar dari ruang periksa. Wajah Rita menandakan ada kabar buruk yang dibawa dari dalam ruangan. "Ayo kita ketemu dokter yang menangani Aira!" "Maaf, Dok. Bagaimana kondisi Aira?" Wajah Ana sudah gusar karena penasa
Bab 65"Ai, semoga kita segera dapat pendonor untukmu, Sayang. Bertahanlah!" Air mata mengucur deras membuat Ana menutup mulutnya karena takut mengusik tidur Aira. "Na. Semua kuasa Allah. Yakinlah pasti akan datang pertolonganNya." Ana mengangguki ucapa Rita. Ia tidak boleh pasrah. Demi Aira, Ana telah melakukan apa saja. Ia tidak akan berhenti berusaha dan berdoa. Kondisi darurat ini memaksanya untuk meminta tolong pada ayah Aira. "Aku tahu kemana harus mengadu dan meminta tolong, Mbak," celetuk Ana membuat Rita tersenyum. Akhirnya Ana mau bersemangat lagi pikirnya. "Ai, satu kali ini aku akan minta pertolongan ayahmu. Lepas itu, kita pergi menjauh darinya. Ayahmu sudah punya kehidupan sendiri. Kita tidak boleh mengusik kebahagiaannya." "Gimana, Mbak?" Ana beranjak dari duduknya saat mengetahui Rahma dan Arga telah keluar dari ruang pemeriksaan. Ana beberapa menit yang lalu memilih duduk di luar ruang perawatan Aira supaya isakannya tidak mengganggu tidur balita itu. "Maaf, Na.
Bab 66"Mas Sakha." Ana masih berucap lirih di belakang ayah Aira. Sambil menggigit bibirnya, Ana tidak peduli bau anyir yang tiba-tiba menyeruak. "Ternyata laki-laki ini tidak lupa ingatan. Apa kemarin memang sengaja tidak mengenalku karena ada Mbak Rahma?" guman Ana. Saat tidak ada suara lagi, Sakha berbalik menghadap wanita yang sedang menunduk di depannya. "Kamu mau saya mendonorkan darah untuk anak itu? Apa keuntungannya bagiku? Sebaiknya kamu menjauh dari keluargaku!" "Mas, satu kali ini saja. Saya minta tolong Mas Sakha menyelamatkan Aira. Anak itu darah daging Mas Sakha. Setelah Aira pulih, kami akan pergi meninggalkan Jakarta." "Tidak mungkin! Bisa saja itu anak dari benih laki-laki lain. Bagaimana kamu membuktikannya Aira itu anakku? Jangan-jangan kamu mau memerasku karena tahu aku orang kaya? Kalau kamu ke sini bersama kakakmu mungkin aku sedikit percaya." Sakha sudah mengganti ucapan formalitasnya. Memang tidak mungkin Aira membawa kakaknya--Ratih ke Jakarta mengingat