"Wow! Ini yang aku tunggu-tunggu. Pras itu sudah keterlaluan, Ri. Kamu dan Wira tidak pantas diperlakukan seperti ini. Jangan khawatir, Ri. Aku Wanti sahabatmu si perawan tua ini, siap membantunya dalam hal apa saja. Serahkan saja semuanya padaku." Wanti mengacungkan jempolnya. "Iya, aku akan menyerahkan semuanya padamu. Tapi kamu harus menyerahkan satu hal padaku, agar aku bisa meyakinkan kedua orang tuaku soal perceraian ini," tutur Suri kalem."Heh? Menyerahkan sesuatu? Apa itu, Ri?""Rekaman video kejadian tadi. Aku tahu kalau kamu merekam semua kejadiannya diam-diam.""Astaga, kamu walau lagi emosi matamu celik juga ya, Ri?" Wanti menggeleng-gelengkan kepalanya. Suri ini memang orang teliti sekali sampai pada hal-hal yang mendetail. Tapi apa pun itu, seperti yang ia janjikan tadi, ia akan mendukung Suri. Sudah saatnya laki-laki seperti Pras ini gigit jari karena tingkahnya sendiri. Suri refleks memindai jam di dinding, tatkala suara mobil Pras terdengar memasuki halaman. Pukul
"Lepaskan Bu Murni dalam hal ini, Mas. Karena Bu Murni atau perempuan manapun itu, bukan urusanku. Aku tidak mengurusi sesuatu yang penyebabnya bukan aku," Suri menegaskan ucapannya. Karena jawaban final Pras inilah yang akan menjadi tolak ukurnya menentukan sikap ke depannya. Mereka sudah menumpuk masalah terlalu lama. Sudah saatnya mereka mengambil sikap sebagai dua orang dewasa. "Jadi Mas jawab saja pertanyaanku dengan jujur. Sebagai pertimbangan agar Mas menjawab jujur, aku akan menerima dengan lapang dada apapun jawaban yang keluar dari mulut, Mas. Aku meminta jawaban jujur. Karenanya aku juga sudah siap dengan jawaban jujur semenyakitkan apapun itu," ungkap Suri sungguh-sungguh. "Jawabannya aku tidak tahu, Suri. Yang jelas aku menginginkan kamu dan Wira ada di rumah setiap aku pulang. Menyambutku dengan perasaan hormat dan damai, setelah aku lelah seharian mencari nafkah di luar." Hormat dan damai. Tidak ada cinta dan kasih di dalamnya. "Baik. Aku sudah bisa menarik kesimpu
"Bukan, Mas. Tapi Mas lah yang sudah tidak nyaman denganku. Jujurlah Mas, sudah beberapa tahun ini, Mas sangat tidak menyukaiku. Mengatai aku tidak makan bangku sekolahan, norak, tidak seperti istri rekan-rekan mas yang lainnya, itu menandakan Mas tidak puas denganku. Mas menginginkan istri seperti para sosialita-sosialita itu. Masalah Bu Murni, itu hanya pemicunya saja. Benar tidak, Mas? Mari kita saling jujur dan saling meluahkan unek-unek seperti dulu. Bisa, Mas?""Kalau kita bercerai, apakah kamu masih meributkan soal harta gono gini dan hak asuh, Wira?" Pras mengungkapkan ketidaksukaannya akan keserakahan Suri."Iya. Tapi mari kita luruskan soal harta gono gini ini dulu. Aku tidak menginginkan harta, Mas. Tapi Wira, harus. Ada hak anak kita dalam harta gono gini ini. Coba Mas pikir, harta gono gini yang kudapat nanti untuk siapa? Jatuhnya pasti akan ke tangan Wira juga. Satu hal lagi, mohon maaf, aku bukannya menjengkali, Mas. Harta yang kita punya hanya rumah ini, rumah yang kit
"Benang-benangnya diletakkan di situ saja ya, Bu?" Deden menunjuk kardus-kardus besar di sudut ruangan dengan dagunya. Deden adalah salah seorang staff Damar yang mengantarkan benang-benang rajut ke rumahnya. "Iya, Den. Letakkan semuanya di dalam kardus-kardus besar ini saja. Ini benang-benang terakhir kan, Den?" tanya Suri seraya membuka tutup kardus-kardus dengan cekatan. "Iya, Bu. Tinggal tiga karung ini saja," jawab Deden seraya menurunkan gulungan-gulungan benang, dan memasukkannya ke dalam kardus. Suri memang sengaja memilih kardus bekas rokok sebagai tempat benang karena masalah kepraktisan. Ia tinggal melakban kardus saja, apabila ia harus mengantarkan benang ke rumah Bu Elly. Tetangganya yang juga pintar merajut di gang sebelah. Berhubung rumah Bu Elly luas dan suaminya jarang di rumah, Bu Elly meminta tetangga-tetangga lainnya agar merajut di rumahnya saja. Suami Bu Elly adalah seorang Anak Buah Kapal yang pulangnya beberapa bulan sekali. Oleh karenanya Bu Elly kerap kes
"Lagi pula ibu sudah biasa mendapatkan perhiasan dari adik-adik perempuan saya. Saya ingin memberi kado yang unik, namun disukai oleh ibu saya. Masalahnya saya laki-laki. Saya tidak begitu paham kesukaan perempuan. Kamu ada ide barangkali, Suri?"Sesuatu yang disukai oleh Bu Ajeng? "Saya kepengen sekali punya tas tangan dan sandal yang senada dengan kebaya brokat ini, Nik. Selama ini saya belum menemukan padanan yang tepat. Apalagi kalau sandal dan tas tangannya handmade. Pasti cantik sekali ya, Nik?"Potongan obrolan Bu Ajeng dan Ninik, pegawai butik, memberi satu ide pada Suri. Namun ia agak ragu mengutarakannya."Sebenarnya saya ada ide. Tapi bagaimana ya? Saya takut kalau Pak Damar menganggap saya lancang," ungkap Suri terus terang."Lho kok lancang? Utarakan saja idemu, Suri. Saya memang menanyakan itu padamu bukan?" Damar terkekeh. Suri ini antik sekali. Segala hal itu pertimbangkan. Bahkan sekedar untuk memberikan saran. "Saya pernah tidak sengaja mendengar obrolan Bu Ajeng d
Supir taksi online baru saja menurunkan Suri di pintu gerbang rumah mewah bernomor 12 A. Suri yang saat ini berdiri di depan gerbang, memindai rumah asri nan megah di hadapannya dengan mata nanar. Istimewa di halaman rumah tersebut, terlihat satu unit mobil yang sangat ia kenali. Ya, mobil berplat B 150 PP itu adalah mobil Pras. Di samping mobil Pras ada beberapa unit mobil mewah lainnya. Salah satunya adalah mobil Damar. "Selamat malam, Mbak. Silakan langsung masuk ke dalam saja. Acaranya sebentar lagi akan dimulai." Dari pos Satpam, muncul seorang penjaga yang mempersilahkan Suri masuk ke dalam rumah. Suri menyunggingkan seulas senyum tegang, seraya melangkah memasuki gerbang yang dilebarkan oleh sang Satpam. "Acaranya di taman belakang rumah ya, Mbak? Mbak mau saya antar ke taman belakang atau bagaimana?" tanya sang Satpam sopan. "Saya sendiri saja, Pak. Oh ya, saya harus berjalan dari arah mana ya, Pak?" Suri memilih untuk berjalan sendiri ke taman belakang. Ia harus menenangk
Damar menyelamatkan Suri. Damar mengambil inisiatif dengan duduk di samping Pras. Suri pun menyusul duduk di samping Damar. Posisi duduk mereka berempat sangat aneh. Mereka seperti bertukar pasangan."Wah, kamu seperti mewujudkan apa yang Ibu impikan, Suri. Ibu memang menginginkan tas tangan dan sandal berwarna hitam emas, untuk Ibu padupadankan dengan kebaya brokat di butik. Astaga, kamu kok tahu sih soal keinginan Ibu ini?" seru Bu Ajeng gembira. "Saya kebetulan ada di butik saat ibu mengutarakan keinginan ibu itu pada Ninik," ucap Suri. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Bu Ajeng seantusias itu menerima bingkisannya. Alhamdulillah, pilihannya tidak sia-sia."Kamu memang sungguh berbakat ya, Suri? Rajutanmu ini sangat halus. Gradasi warnanya juga bagus sekali. Terlihat sederhana sekaligus elegan." Bu Ajeng tidak henti-hentinya memandangi sandal dan tas rajutnya. "Iya ya, Bu. Klasik dan anggun. Saya minta dibuatkan juga bisa tidak, Mbak Suri? Oh ya Mbak Suri ini perajut yang bek
Selama berkendara Suri tidak bersuara. Demikian juga dengan Damar. Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Suri memutar otak mencari topik pembicaraan yang aman untuk ia obrolkan dengan Damar. Diam-diaman seperti ini membuat mereka berdua seperti orang yang sedang bermusuhan.Selarik udara dingin menerpa bahu dan pundak Suri yang hanya dilapisi oleh lace tipis. Refleks Suri memeluk tubuhnya sendiri. Suhu AC dalam mobil Damar dinginnya menggigiti tulang."Kamu kedinginan, Suri?" Damar melirik ke samping. Posisi Suri yang memeluk dirinya sendiri sembari menggosok-gosok kedua lengannya membuat Damar menyadari sesuatu. Suri kedinginan. "Sebentar," Damar menepikan kendaraan. Ia bermaksud membuka jasnya untuk ia pinjamkan pada Suri. Baru melepaskan satu lengan jas, Damar mengurungkan niatnya. Suri ini istri orang. Meminjamkan jas padanya rasanya terlalu intim. Damar memasukkan lengan kembali ke dalam jas. Sebagai gantinya Damar menyetel volume AC pada suhu dua tingkat lebih hanga