Selama berkendara Suri tidak bersuara. Demikian juga dengan Damar. Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Suri memutar otak mencari topik pembicaraan yang aman untuk ia obrolkan dengan Damar. Diam-diaman seperti ini membuat mereka berdua seperti orang yang sedang bermusuhan.Selarik udara dingin menerpa bahu dan pundak Suri yang hanya dilapisi oleh lace tipis. Refleks Suri memeluk tubuhnya sendiri. Suhu AC dalam mobil Damar dinginnya menggigiti tulang."Kamu kedinginan, Suri?" Damar melirik ke samping. Posisi Suri yang memeluk dirinya sendiri sembari menggosok-gosok kedua lengannya membuat Damar menyadari sesuatu. Suri kedinginan. "Sebentar," Damar menepikan kendaraan. Ia bermaksud membuka jasnya untuk ia pinjamkan pada Suri. Baru melepaskan satu lengan jas, Damar mengurungkan niatnya. Suri ini istri orang. Meminjamkan jas padanya rasanya terlalu intim. Damar memasukkan lengan kembali ke dalam jas. Sebagai gantinya Damar menyetel volume AC pada suhu dua tingkat lebih hanga
Suri menjawab apa adanya. Tentang bagaimana kaumnya insecure bahwa suami-suami mereka akan berpaling, setelah tubuh mereka melar pasca melahirkan. Bagaimana mereka berlomba-lomba memanjakan perut atas dan bawah perut suami, dengan harapan suami-suami mereka tidak kelaparan atas bawah di luar sana. Apabila sudah kejadian pun, mereka hanya bisa mengusap air mata. Mencoba menutup sebelah mata atas kegiatan suami-suami mereka di luaran. Yang penting uang bulanan aman dan suami tetap pulang ke rumah. Miris, tetapi itu memang benar bukan?"Bahkan ibu saya di kampung pernah bilang, bahwa membina rumah tangga itu serupa perang. Kadang sakit. Kadang rasanya sangat sulit untuk bertahan. Tetapi daripada wilayah kita diambil alih oleh perempuan lain, maka kita perempuan harus terus berjuang, walau penuh dengan luka-luka di sekujur badan." Suri mengusap pipinya yang mendadak lembab. Bahkan hanya mengucapkannya saja hatinya perih bukan kepalang.Damar melirik Suri meyusuti air mata dalam tangis tan
"Kamu pikir si Damar itu akan menikahimu setelah kita bercerai? Mimpi kamu, Ri!" Pras menurunkan tangannya. Sebagai gantinya ia menunjuk-nunjuk wajah Suri. Ia ingin menyadarkan Suri atas mimpinya yang ketinggian. Orang kaya mencintai orang miskin itu hanya ada di film dan novel-novel saja."Terhadap Murni yang berkelas dan kaya saja, ia campakkan. Apalagi kamu. Perempuan kampung beranak satu. Mikir kamu, Ri. Mikir!" Pras menoyor kening Suri dengan jari telunjuknya."Mas pintar sekali menganalisa hubunganku dengan Pak Damar. Lantas hubungan Mas dengan Bu Murni bagaimana?" Suri menepis kasar tangan Pras di keningnya."Terhadap Pak Damar yang gagah, berpendidikan dan kaya saja, Bu Murni tidak puas. Apa kabar dengan Mas yang nota bene orang gajiannya? Ganteng standard. Kaya tidak. Tukang bohong, iya. Mas mau saya bawakan cermin tidak?" Kepalang basah, mandi saja sekalian. Suri tidak mau mengalah lagi. "Bunda, kenapa teriak-teriak?" Suara serak khas bangun tidur Wira membuat Suri dan Pra
Ada yang aneh di sini. Alih-alih mendapati mobil Wanti, Suri malah menjumpai mobil Damar yang berhenti tepat di sudut jalan. Demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Suri memang tidak berdiri tepat di depan pos Satpam. Melainkan di sudut jalan sebelum berbelok ke pos. "Ayo masuk, Suri." Damar membuka kaca mobil penumpang. Suri terpaku. Ia heran. Siapa yang ditelepon, siapa pula yang datang. Mencurigai sesuatu, Suri merogoh tasnya. Mengeluarkan ponsel dan mengecek siapa yang tadi ia hubungi dengan terburu-buru. Selebar wajahnya seketika terasa panas, saat menyadari bahwa ia telah menekan kontak nama Damar. Tidak heran ia bisa salah menekan kontak. Karena nama-nama pemanggil di ponselnya jarang sekali ia hapus. Riwayat ponselnya penuh dengan jejeran nama-nama pemanggil ataupun yang ia panggil. "Ma--maaf, Pak Damar. Saya--saya salah menelepon orang." Suri gelagapan karena malu bercampur takut. Ia ngeri kalau sampai Damar memarahinya karena peristiwa memalukan ini."Nanti saja k
"Ini ongkosnya ya, Pak? Sisanya buat Bapak saja. Terima kasih karena telah mengantarkan saya selamat sampai di rumah." Suri mengangsurkan selembar uang seratus ribuan kepada supir taksi online. Padahal ongkosnya hanya lima puluh dua ribu rupiah saja. "Terima kasih banyak ya, Bu? Semoga Ibu makin banyak rezekinya." Sang sopir menerima uang berwarna merah dari Suri dengan gembira. Tidak sia-sia ia bekerja hingga larut malam. Rezeki selalu datang pada orang yang rajin menjemputnya. "Aamiin," Suri mengamini. Sejurus kemudian sang sopir pun berlalu. Suri yang saat ini telah berdiri di depan pagar, melirik mobil berwarna hitam yang berhenti di seberang jalan. Mobil itu adalah mobil Damar. Setelah ia selesai melakukan visum di rumah sakit tadi, Suri memang berinisiatif untuk pulang sendiri. Ia takut kalau Pras memergokinya pulang dengan menumpang mobil Damar. Dikhawatirkan Pras akan menjadikan hal tersebut sebagai alasan bahwa dirinya juga berselingkuh. Oleh karenanya untuk mencegah hal-
Suri menandaskan teh manis hangatnya. Ia memutuskan akan menunggu Bu Ajeng di teras rumah saja. Suri tidak ingin membuat kesan seolah-olah ia orang penting saja. Dirinya mengutamakan adab saat berhadapan dengan orang tua.Ketika sampai di teras rumah, Suri memeluk diri sendiri. Hujan yang terbawa angin, tempias hingga ke tempatnya berdiri. Suri merapatkan blazer berbahan tweednya. Mencari sedikit kehangatan dari blazer yang berbahan seperti karung goni itu. Sejurus kemudian tampak sebuah mobil berhenti di depan pagar rumahnya. Suri mengenalinya sebagai mobil Bu Ajeng. Karena mobil inilah yang mempertemukannya dengan Bu Ajeng pertama kalinya. Ketika itu Bu Ajeng akan dinakali oleh para pemotor yang pura-pura terjatuh di depan mobilnya.Suri merapikan rok plisket berwarna kuning kunyitnya yang mengembang karena tertiup angin kencang. Ia bermaksud berlari kecil menuju mobil, agar terhindar dari rintik hujan. Suri malas mencari payung untuk hujan rintik-rintik seperti ini. "Ini ada pay
"Sebenarnya kamu sudah salah jalan kalau ingin melaporkan suamimu, Suri." Dalam perjalanan ke rumah sakit, Bu Ajeng menasehati Suri. Sembari menyetir, ia mengajak Suri berbincang-bincang ringan."Salah jalan bagaimana maksudnya, Bu?" Suri mengernyitkan dahi. Ia tidak memahami kalimat Bu Ajeng."Begini Suri. Seharusnya jikalau kamu ingin melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh suamimu, tempat pertama yang kamu tuju itu adalah kantor polisi. Nah, pada saat melapor ke bagian SPKT nanti, barulah pihak penyidik akan mengeluarkan surat pengantar visum et repertum pada Puskesmas setempat. Surat ini nantinya akan kamu gunakan untuk visum sekaligus mengobati luka-lukamu. Yang kamu lakukan saat ini terbalik. Kamu visum duluan baru melaporkan tindak kekerasan yang kamu alami ke kantor polisi." Bu Ajeng yang juga merupakan salah satu anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, memberitahu prosedural pelaporan tindak kekerasan KDRT kepada Suri. "Wah, begitu ya, Bu? Saya t
"Baik, Bu. Saat ini saya memang sedikit gentar. Tetapi bukan gentar karena ingin membatalkan laporan. Melainkan karena tidak terbiasa ke kantor polisi," ungkap Suri apa adanya. Bu Ajeng tersenyum menenangkan. Ia menyukai pribadi Suri yang jujur dan sederhana."Wajar. Segala sesuatu yang judulnya pertama kali pasti menakutkan. Tapi ingat, hidup ini dinamis. Semua hal berubah. Kalau kita tidak siap dengan perubahan dan tantangan, kita akan seperti katak di bawah tempurung. Bodoh dan tidak tahu apa-apa selamanya. Ayo perjuangkan nasibmu. Saya juga akan mendampingimu di SPKT nanti." Bu Ajeng menguatkan Suri.Selanjutnya mereka berdua berjalan menuju ruangan SPKT. Terlihat sekitar tiga orang petugas kepolisian yang duduk di meja kayu panjang. Di belakang meja panjang tersebut ada tulisan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu. Berarti kepanjangan SPKT yang disebutkan Bu Ajeng berulang kali tadi adalah tulisan besar di belakang para penyidik kepolisian ini. Di depan meja panjang itu terbentang