"Benang-benangnya diletakkan di situ saja ya, Bu?" Deden menunjuk kardus-kardus besar di sudut ruangan dengan dagunya. Deden adalah salah seorang staff Damar yang mengantarkan benang-benang rajut ke rumahnya. "Iya, Den. Letakkan semuanya di dalam kardus-kardus besar ini saja. Ini benang-benang terakhir kan, Den?" tanya Suri seraya membuka tutup kardus-kardus dengan cekatan. "Iya, Bu. Tinggal tiga karung ini saja," jawab Deden seraya menurunkan gulungan-gulungan benang, dan memasukkannya ke dalam kardus. Suri memang sengaja memilih kardus bekas rokok sebagai tempat benang karena masalah kepraktisan. Ia tinggal melakban kardus saja, apabila ia harus mengantarkan benang ke rumah Bu Elly. Tetangganya yang juga pintar merajut di gang sebelah. Berhubung rumah Bu Elly luas dan suaminya jarang di rumah, Bu Elly meminta tetangga-tetangga lainnya agar merajut di rumahnya saja. Suami Bu Elly adalah seorang Anak Buah Kapal yang pulangnya beberapa bulan sekali. Oleh karenanya Bu Elly kerap kes
"Lagi pula ibu sudah biasa mendapatkan perhiasan dari adik-adik perempuan saya. Saya ingin memberi kado yang unik, namun disukai oleh ibu saya. Masalahnya saya laki-laki. Saya tidak begitu paham kesukaan perempuan. Kamu ada ide barangkali, Suri?"Sesuatu yang disukai oleh Bu Ajeng? "Saya kepengen sekali punya tas tangan dan sandal yang senada dengan kebaya brokat ini, Nik. Selama ini saya belum menemukan padanan yang tepat. Apalagi kalau sandal dan tas tangannya handmade. Pasti cantik sekali ya, Nik?"Potongan obrolan Bu Ajeng dan Ninik, pegawai butik, memberi satu ide pada Suri. Namun ia agak ragu mengutarakannya."Sebenarnya saya ada ide. Tapi bagaimana ya? Saya takut kalau Pak Damar menganggap saya lancang," ungkap Suri terus terang."Lho kok lancang? Utarakan saja idemu, Suri. Saya memang menanyakan itu padamu bukan?" Damar terkekeh. Suri ini antik sekali. Segala hal itu pertimbangkan. Bahkan sekedar untuk memberikan saran. "Saya pernah tidak sengaja mendengar obrolan Bu Ajeng d
Supir taksi online baru saja menurunkan Suri di pintu gerbang rumah mewah bernomor 12 A. Suri yang saat ini berdiri di depan gerbang, memindai rumah asri nan megah di hadapannya dengan mata nanar. Istimewa di halaman rumah tersebut, terlihat satu unit mobil yang sangat ia kenali. Ya, mobil berplat B 150 PP itu adalah mobil Pras. Di samping mobil Pras ada beberapa unit mobil mewah lainnya. Salah satunya adalah mobil Damar. "Selamat malam, Mbak. Silakan langsung masuk ke dalam saja. Acaranya sebentar lagi akan dimulai." Dari pos Satpam, muncul seorang penjaga yang mempersilahkan Suri masuk ke dalam rumah. Suri menyunggingkan seulas senyum tegang, seraya melangkah memasuki gerbang yang dilebarkan oleh sang Satpam. "Acaranya di taman belakang rumah ya, Mbak? Mbak mau saya antar ke taman belakang atau bagaimana?" tanya sang Satpam sopan. "Saya sendiri saja, Pak. Oh ya, saya harus berjalan dari arah mana ya, Pak?" Suri memilih untuk berjalan sendiri ke taman belakang. Ia harus menenangk
Damar menyelamatkan Suri. Damar mengambil inisiatif dengan duduk di samping Pras. Suri pun menyusul duduk di samping Damar. Posisi duduk mereka berempat sangat aneh. Mereka seperti bertukar pasangan."Wah, kamu seperti mewujudkan apa yang Ibu impikan, Suri. Ibu memang menginginkan tas tangan dan sandal berwarna hitam emas, untuk Ibu padupadankan dengan kebaya brokat di butik. Astaga, kamu kok tahu sih soal keinginan Ibu ini?" seru Bu Ajeng gembira. "Saya kebetulan ada di butik saat ibu mengutarakan keinginan ibu itu pada Ninik," ucap Suri. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Bu Ajeng seantusias itu menerima bingkisannya. Alhamdulillah, pilihannya tidak sia-sia."Kamu memang sungguh berbakat ya, Suri? Rajutanmu ini sangat halus. Gradasi warnanya juga bagus sekali. Terlihat sederhana sekaligus elegan." Bu Ajeng tidak henti-hentinya memandangi sandal dan tas rajutnya. "Iya ya, Bu. Klasik dan anggun. Saya minta dibuatkan juga bisa tidak, Mbak Suri? Oh ya Mbak Suri ini perajut yang bek
Selama berkendara Suri tidak bersuara. Demikian juga dengan Damar. Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Suri memutar otak mencari topik pembicaraan yang aman untuk ia obrolkan dengan Damar. Diam-diaman seperti ini membuat mereka berdua seperti orang yang sedang bermusuhan.Selarik udara dingin menerpa bahu dan pundak Suri yang hanya dilapisi oleh lace tipis. Refleks Suri memeluk tubuhnya sendiri. Suhu AC dalam mobil Damar dinginnya menggigiti tulang."Kamu kedinginan, Suri?" Damar melirik ke samping. Posisi Suri yang memeluk dirinya sendiri sembari menggosok-gosok kedua lengannya membuat Damar menyadari sesuatu. Suri kedinginan. "Sebentar," Damar menepikan kendaraan. Ia bermaksud membuka jasnya untuk ia pinjamkan pada Suri. Baru melepaskan satu lengan jas, Damar mengurungkan niatnya. Suri ini istri orang. Meminjamkan jas padanya rasanya terlalu intim. Damar memasukkan lengan kembali ke dalam jas. Sebagai gantinya Damar menyetel volume AC pada suhu dua tingkat lebih hanga
Suri menjawab apa adanya. Tentang bagaimana kaumnya insecure bahwa suami-suami mereka akan berpaling, setelah tubuh mereka melar pasca melahirkan. Bagaimana mereka berlomba-lomba memanjakan perut atas dan bawah perut suami, dengan harapan suami-suami mereka tidak kelaparan atas bawah di luar sana. Apabila sudah kejadian pun, mereka hanya bisa mengusap air mata. Mencoba menutup sebelah mata atas kegiatan suami-suami mereka di luaran. Yang penting uang bulanan aman dan suami tetap pulang ke rumah. Miris, tetapi itu memang benar bukan?"Bahkan ibu saya di kampung pernah bilang, bahwa membina rumah tangga itu serupa perang. Kadang sakit. Kadang rasanya sangat sulit untuk bertahan. Tetapi daripada wilayah kita diambil alih oleh perempuan lain, maka kita perempuan harus terus berjuang, walau penuh dengan luka-luka di sekujur badan." Suri mengusap pipinya yang mendadak lembab. Bahkan hanya mengucapkannya saja hatinya perih bukan kepalang.Damar melirik Suri meyusuti air mata dalam tangis tan
"Kamu pikir si Damar itu akan menikahimu setelah kita bercerai? Mimpi kamu, Ri!" Pras menurunkan tangannya. Sebagai gantinya ia menunjuk-nunjuk wajah Suri. Ia ingin menyadarkan Suri atas mimpinya yang ketinggian. Orang kaya mencintai orang miskin itu hanya ada di film dan novel-novel saja."Terhadap Murni yang berkelas dan kaya saja, ia campakkan. Apalagi kamu. Perempuan kampung beranak satu. Mikir kamu, Ri. Mikir!" Pras menoyor kening Suri dengan jari telunjuknya."Mas pintar sekali menganalisa hubunganku dengan Pak Damar. Lantas hubungan Mas dengan Bu Murni bagaimana?" Suri menepis kasar tangan Pras di keningnya."Terhadap Pak Damar yang gagah, berpendidikan dan kaya saja, Bu Murni tidak puas. Apa kabar dengan Mas yang nota bene orang gajiannya? Ganteng standard. Kaya tidak. Tukang bohong, iya. Mas mau saya bawakan cermin tidak?" Kepalang basah, mandi saja sekalian. Suri tidak mau mengalah lagi. "Bunda, kenapa teriak-teriak?" Suara serak khas bangun tidur Wira membuat Suri dan Pra
Ada yang aneh di sini. Alih-alih mendapati mobil Wanti, Suri malah menjumpai mobil Damar yang berhenti tepat di sudut jalan. Demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Suri memang tidak berdiri tepat di depan pos Satpam. Melainkan di sudut jalan sebelum berbelok ke pos. "Ayo masuk, Suri." Damar membuka kaca mobil penumpang. Suri terpaku. Ia heran. Siapa yang ditelepon, siapa pula yang datang. Mencurigai sesuatu, Suri merogoh tasnya. Mengeluarkan ponsel dan mengecek siapa yang tadi ia hubungi dengan terburu-buru. Selebar wajahnya seketika terasa panas, saat menyadari bahwa ia telah menekan kontak nama Damar. Tidak heran ia bisa salah menekan kontak. Karena nama-nama pemanggil di ponselnya jarang sekali ia hapus. Riwayat ponselnya penuh dengan jejeran nama-nama pemanggil ataupun yang ia panggil. "Ma--maaf, Pak Damar. Saya--saya salah menelepon orang." Suri gelagapan karena malu bercampur takut. Ia ngeri kalau sampai Damar memarahinya karena peristiwa memalukan ini."Nanti saja k