"Bener nih, kamu nggak apa-apa kalau aku tinggal?" Wanti menanyakan kerelaan Suri sekali lagi."Masyaallah, enggak, Ti. Sana, cepetan jenguk pangeranmu. Kelamaan nanti pangerannya berubah jadi kodok lho.""Bujubuneng kutu kupret. Kamu ngedoainnya serem amat, Ri." Wanti mencebikkan bibirnya. Namun tak urung ia meraih tasnya, yang ia sampirkan pada sandaran kursi. "Ya, udah, aku jalan. Selamat menikmati sisa minumanmu yang tinggal sekali sedot itu." Wanti mengejek Suri. Sahabatnya ini memang mempunyai kebiasaan menyesap minumannya lamat-lamat. Tujuannya adalah agar ia bisa duduk di kafe lebih lama, dengan alasan minumannya belum habis.Celaan jenaka Wanti ditanggapi Suri dengan tawa renyah. Ia memang sedang ingin menikmati sore di kafe ini. Setelah terbang ke sana ke mari mengurus pekerjaan, duduk-duduk santai seperti ini rasanya sangat menenangkan. Suri membuka laptopnya. Ia ingin melihat kreasi-kreasi rajutan dari luar negeri. Kemarin ia menerima email dari salah seorang pelanggann
"Tidak apa-apa, Suri. Ini namanya insiden, alias kejadian yang tidak terduga. Lupakan."Insiden yang menyenangkan dan membuat jantung berdebar maksudnya. Damar tertawa. Padahal dalam hati, jantung Damar jumpalitan tidak karuan. Dirinya bukan abege lagi. Ia tahu perasaan apa yang tengah bergejolak di hatinya. Ia sedang kasmaran untuk pertama kalinya. Ya, pertama kali. Karena dengan Murni dulu, ia dijodohkan sedari kecil. Otomatis sejak masa akil baligh, ia telah membuat dinding pembatas untuk lawan jenisnya.Dirinya adalah lelaki yang teguh pada janji. Sekalinya ia mengamini keinginan kedua orang tuanya, maka ia akan memegang teguh janjinya. Setiap rasa tertarik pada lawan jenisnya muncul, maka ia akan langsung membuangnya.Begitu juga dulu. Kala ia tertarik pada buruh jahit Murni di pabrik. Seorang gadis manis berwajah lugu dan berbuntut kuda. Yang dengan rajinnya terus bekerja tak kenal waktu. Ia ingat, gadis manis itu bernama Suri Hidayah. Orang yang sama dengan yang kali ini, ia j
"Kamu ada kegiatan lain tidak, Ri?" Damar menyusun strategi."Seharusnya satu jam lagi saya menjemput Wira di tempat les. Tapi karena mobil saya di bengkel, Mas Pras yang menjemputnya. Mas Pras bilang akan sekalian membawa Wira jalan-jalan. Sudah lama ia tidak jalan-jalan dengan Wira katanya." Lagi-lagi Suri menjawab dengan jujur."Ehm, kamu mau tidak menemani saya mengikuti seminar di hotel Santika satu jam lagi? Kebetulan saya menjadi salah satu nara sumber di sana.""Seminar? Tapi saya belum pernah mengikuti kegiatan-kegiatan yang seperti itu." Suri ragu. Ia takut kalau dia akan mempermalukan Damar di sana."Nah, inilah saatnya kamu belajar supaya menjadi pernah. Untuk ke depannya kamu harus sering-sering mengikuti seminar-seminar seperti ini. Karena acara-acara seperti ini, akan mengasah wawasan dan kemampuanmu untuk berinteraksi dengan orang banyak. Selain itu kamu akan bertemu dengan banyak penguasaha di sana. Inilah kesempatan baik bagimu untuk membangun koneksi dengan para pen
Suri mendengarkan Damar memberi ceramah sebagai nara sumber dengan seksama. Selain ia sangat suka belajar hal-hal baru, ia juga menyukai cara Damar memberikan materi. Damar memberi masukan dengan bahasa yang lugas dan gampang dimengerti oleh berbagai kalangan. Bahasanya membumi. Lihatlah, bahwa dirinya yang hanya tamatan SMP pun mampu menyimak materi-materinya."Begitulah rekan-rekan sekalian. Jika kita ingin menjadi seorang wirausahawan yang sukses, kita harus memiliki tiga komitmen kuat. Yaitu hati, pikiran dan tindakan. Ketiganya harus seiring sejalan. Tanpa ketiganya, tidak akan tercipta seorang pengusaha sukses. Karena pengusaha sukses harus bisa membuat usahanya berkembang dan maju. Tidak stagnan, apalagi jalan di tempat."Suri terpesona. Lihatlah cara Damar berbicara seraya mengepalkan tangan kanan ke udara. Damar menciptakan suasana yang positif di antara para peserta seminar. Cara bicara Damar tidak berapi-api seperti layaknya motivator-motivator, yang tampak sekali memaksak
Suri mengalihkan topik pembicaraan. Bukan apa-apa. Ia melihat Damar beberapa kali melirik mereka berdua. Memang kurang sopan rasanya, di saat seseorang tengah berbicara, peserta malah saling berbisik-bisik dan asyik sendiri."Siap, Mbak Suri. Memang tujuan saya menghadiri seminar ini adalah untuk mencari ilmu menjadi seorang entrepreneur sejati."Syifa memfokuskan pandangan ke depan. Ia menyimak pembicaraan nara sumber lainnya dengan serius. Kali ini pembicaranya adalah seorang pengusaha wanita yang bergerak dalam bidang otomotif. Bu Sartika Erningpraja. Pemilik showroom-showroom mobil mewah berlogo tiga berlian berwarna merah.Sementara Suri, alih-alih ikut memfokuskan pandangan seperti Syifa, ia malah mengeluarkan ponselnya diam-diam dari dalam tas. Suri penasaran dengan kata entrepreneur yang diucapkan oleh Syifa tadi. Ia ingin tahu apa artinya entrepreneur. Oleh karenanya ia pun membrowsing arti kalimat tersebut melalui ponsel.Disebutkan bahwa entrepreneur adalah orang yang bisa
"Bundaaaa..." Wira melepaskan genggaman tangan Pras dan berlari menghampiri Suri. Matanya sembab dengan bibir melekuk turun. Kedua tangannya membentang lebar. Siap untuk melesakkan pelukan ke haribaan sang bunda."Lho... lho... lho... kok jagoan Bunda, nangis sih? Ada apa, Nak?"Suri bangkit dari sofa. Ia kemudian berjongkok di hadapan Wira, agar posisinya sejajar dengan kepala Wira. Suri memang membiasakan kontak mata dengan Wira. Dengan begitu ia akan mengetahui apa yang dirasakan oleh putranya. "Ayah bohong." Air muka Wira kembali mendung. Bibirnya bergerak-gerak sedih dengan mata berair. Siap mengeluarkan air mata."Bohong kenapa? Bunda selalu bilang bukan, kalau menceritakan sesuatu jangan separuh-separuh. Nanti ceritanya jadi lain." Masih dalam keadaan berjongkok Suri mengusap pipi lembab Wira."Ayah kemarin bilang, kalau Ayah akan mengajak Wira berenang berdua saja. Sampai lama. Pokoknya sampai Wira sendiri yang meminta pulang," adu Wira sedih."Begitu. Lantas, kalian tidak j
Dengan apa boleh buat Pras pun pasang badan untuk Murni. Jujur, sebenarnya ia melakukan ini bukan hanya karena dipaksa oleh Murni. Tetapi ia membawa unek-uneknya sendiri, yang ingin ia lampiaskan pada Suri. Akhir-akhir ini sebenarnya ia sudah mencoba berdamai dengan kenyataan. Bahwa memang sudah sewajarnya Suri meminta cerai, karena ia menduakan Suri. Bahwa ia harus menggendong penyesalannya dalam-dalam ketika ia melihat Suri sudah keluar dari kepompong, dan menjelma menjadi kupu-kupu yang cantik. Ia sudah mencoba menerima kenyataan, bahwa akibat dirinya sendiri lah, kini ia hanya bisa memandangi Suri dari kejauhan.Tetapi hari ini, ia merasa penyesalannya sia-sia. Ternyata Suri meminta cerai bukan hanya karena kesalahannya. Melainkan karena Suri juga sudah menyusun skenario dengan baik dan menjalankan perannya dengan apik. Suri sudah mempunyai target untuk menaklukkan Damar. Suri sudah melihat peluang. Mantan istrinya ini segera mengeksekusinya, begitu ada kesempatan. Dirinya dan S
Suri mengamati tingkah Wira dari spion tengah mobil. Wira yang duduk di barisan kedua terus saja mencuri-curi pandang pada Damar yang tengah menyetir. Suri tahu apa ada dalam benak putra kecilnya ini. Wira pasti memikirkan apa yang dikatakan oleh Murni tadi. Bahwa mulai hari ini dirinya tidak bisa berdua-dua saja dengan bundanya. Makanya Wira terus saja mencuri pandang pada Damar dengan air muka masam. "Om, ini siapa sih? Pacar Bunda ya?" Suri ternganga. Ia sama sekali tidak menduga kalau Wira berani mengajukan pertanyaan seperti itu pada Damar yang baru pertama sekali dilihatnya. Lebih jauh lagi, dari mana Wira mendapat kosa kata ala orang dewasa tersebut?"Wira. Dari mana kamu mendapatkan kata-kata seperti itu, Nak?" Suri panik. Ia jadi merasa tidak enak pada Damar. Bagaimana kalau Damar tersinggung? Kepanikannya ini berbanding terbalik dengan Damar yang seketika tergelak. Suri menarik napas lega. Syukurlah, Damar tidak marah. Sebaliknya Damar malah mengedipkan sebelah matanya pa