Sekitar pukul sembilan pagi, Laila sudah bersiap. Seperti biasa, dia tampil cantik dan anggun tanpa riasan yang berlebihan. Setelah kembali ke kediaman Keluarga Hadyan, mantan istri Aries tersebut jadi lebih sering menggerai rambut panjangnya.
“Jadi, ada hal penting apa yang yang ingin Anda bahas dengan saya?” tanya Laila, setelah berada di ruang kerja mendiang sang ayah.
“Saya hanya ingin menunjukkan laporan dari perusahaan,” jawab Widura seraya mendekat ke meja kerja, di mana Laila berada. Pria itu membawa tiga map dengan warna berbeda. “Ini dari PT. Hadyan Resources Tbk. Ini dari PT. Permata Buana Tbk, dan ini dari First Fish Tuna (F2T). Silakan periksa satu per satu.”
Laila mengangguk diiringi senyum kecil. Kali ini, dia sudah tidak terlalu bingung lagi. Lail
Laila terpaku di tempatnya berdiri, ketika Elang sudah benar-benar berada di hadapannya. Tak ada jarak lagi antara mereka, sehingga dia dapat melihat dari dekat rupa menawan sang akuntan muda tersebut. Namun, anehnya Laila tak merasakan debaran apa pun. Tak ada sesuatu yang membuatnya seakan mati lemas, karena tak dapat bernapas.Laila menatap lekat pria tampan di hadapannya. Dia mencoba mencari ketertarikan, yang mungkin bisa membuat dirinya lupa pada sosok Pramoedya. Namun, makin dalam pandangan mereka beradu, Laila justru semakin merindukan si pemilik mata hazel tersebut.Tak ada getaran sedikit pun yang Laila rasakan, ketika Elang menyentuh pipinya. Membelai perlahan dan penuh penghayatan. Begitu juga, ketika sang akuntan tampan itu mengusap permukaan bibir Laila menggunakan ibu jari. Laila justru semakin teringat pada setiap perlakuan Pramoedya
Elang membantu Laila turun dari kendaraan. Pria itu bermaksud hendak menggandengnya ke hadapan Pramoedya.Akan tetapi, Laila menolak. Dia menampik halus tangan Elang, sambil tersenyum lembut. “Saya bisa sendiri,” ujarnya.“Tidak apa-apa. Biar saya temani,” balas Elang sedikit memaksa.“Tidak usah, Mas. Tolonglah ….” Laila memasang raut memohon. Membuat Elang tak berdaya. Akhirnya, pria itu mengangguk setuju."Kamu yakin?" tanya Elang sekali lagi, sebelum benar-benar meninggalkan Laila.Laila tidak memberikan jawaban lewat kata-kata. Wanita yang telah menghabiskan sebagian hari dengan Elang tersebut hanya mengangguk.“Baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit Elang. "JIka ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya," pesannya.Lagi-lagi, Laila hanya mengangguk. Sebagai ucapan terima kasih, dia tak menolak ketika Elang meraih tangannya. Tanpa diduga, pria itu mengecup punggung tangan Laila. "Selamat malam." Elang tersenyum kalem. Sebelum berlalu dari sana, dia sempat menol
Kartika terkesiap mendengar ucapan bernada ancaman dari Laila. Dia tak pernah menyangka, bahwa mantan menantu yang dulu dirinya anggap lemah dan tak berguna, ternyata bisa menjadi wanita yang sangat berbahaya. Kartika kembali berpikir. Wanita paruh baya itu jauh lebih mengenal Laila dibanding Mayang, yang baru ditemuinya beberapa waktu ke belakang. Tentu saja, dia akan memilih berpihak pada mantan istri putranya tersebut.“Kamu tidak perlu memberi saya dua pilihan seperti itu. Sudah pasti saya akan lebih milih ada di pihak kamu, La,” ujar Kartika.“Baguslah.” Laila tersenyum puas. “Sekarang, sebaiknya Ibu bersihkan dulu lantai ini. Lakukan dengan hati-hati dan teliti,” titah wanita cantik berambut panjang itu, seraya beranjak ke dalam kamar mandi.Laila berdiri d
Sekitar pukul sembilan tepat, Laila sudah tampil rapi. Hari itu, dia mengenakan celana kulot yang dipadukan dengan kemeja berlapis blazer. Laila juga menyanggul rapi rambut panjangnya. Sehingga, penampilan wanita dua puluh lima tahun tersebut terlihat sangat elegan. Sebelum berangkat ke pabrik, Laila sempat berpesan kepada Kartika. Wanita paruh baya tersebut sudah paham akan tugasnya.“Sudah siap, Non?” tanya Widura, yang hari itu akan menemani Laila mengikuti pertemuan dengan para pimpinan direksi F2T. Widura juga berpenampilan lebih rapi dari biasanya.“Sudah, Pak,” sahut Laila sambil menggantungkan tali hand bag di lengan kiri. Saat itu, tatapannya tertuju pada Mayang yang datang menghampiri. Laila tiba-tiba merasakan gemuruh dalam dada yang teramat dahsyat. Andai bisa, dia akan langsung menghampiri wanita paruh baya itu untuk mengajaknya berkelahi secara terang-terangan. Namun, Laila sadar bahwa dirinya tak boleh bertindak gegabah.&nbs
Laila berdiri dari duduknya. Dia melangkah anggun ke hadapan Aries, dengan sorot penuh intimidasi terhadap pria itu. Untuk beberapa saat, wanita cantik bertubuh semampai tersebut tak mengatakan apa pun. Namun, tatapannya sudah dapat mewakili segala hal. Kemarahan Laila terhadap sang mantan suami tak akan pernah sirna. Rasa sakit atas semua penghinaan yang dirinya terima, masih berbekas hingga saat ini. Untunglah, karena takdir baik berpihak padanya. Bagai dalam kisah film, siapa yang menyangka bahwa Laila bisa berada di puncak dunia melebihi orang-orang yang kerap meremehkannya. “Kamu mau mengundurkan diri? Tak masalah. Di kota ini ada banyak orang yang jauh lebih kompeten. Aku tidak akan merasa rugi, karena sudah menggaji pegawai yang bisa diandalkan. Bukan pecundang malas sepertimu.” Berhubung mereka hanya berdua di ruangan itu, Laila memuaskan diri melayangkan celaan terhadap sang mantan suami. “Hentikan, La!” sergah Aries.“Bentak aku, maka kupastikan kamu akan membusuk di dala
“Apa?” Laila bergegas mengikuti Niar ke dalam rumah. Baru saja tiba di ambang pintu, Laila seketika tertegun. Suasana rumah yang dulu pernah dia tinggali, tampak sangat berbeda. Di sana, menjadi jauh lebih berantakan. “Maaf, Mbak. Aku sibuk sekolah. Pulang sekolah langsung ke rumah Bu Ratmi,” ucap Niar, yang seakan paham dengan ekspresi Laila. “Untuk apa kamu ke rumah Bu Ratmi?” tanya Laila, seraya menoleh kepada Niar. “Mbak tahu ‘kan, suami Bu Ratmi jadi pemasok kain kasa ke beberapa rumah sakit? Aku bantu melipat di sana sampai jam delapan malam. Lumayan, Mbak. Sehari bisa dapat tiga puluh ribu,” terang Niar polos. Terenyuh hati Laila mendengar penuturan gadis remaja itu. Bagaimanapun juga, dulu dia dan Niar sangat dekat, meski usia mereka terpaut jauh. Niar juga bukan seorang pembangkang. Karakternya hampir mirip seperti Suratman. “Bagaimana dengan biaya sekolah kamu?” tanya Laila menahan iba dalam hatinya.&nbs
Laila sudah tiba di rumah. Tanpa banyak bicara, dia langsung menuju kamarnya. Hati dan pikiran wanita cantik dua puluh lima tahun itu, sedang tidak baik-baik saja. Sekembalinya dari rumah Aries, dia menjadi begitu galau. Apa yang melanda hati Laila saat ini, berkaitan dengan Suratman. Jauh di lubuk hati terdalam, dia tak tega harus memenjarakan pria yang selalu menyayangi serta bersikap sangat perhatian tersebut.Namun, bila teringat bahwa Suratman telah membawa lari dirinya, maka kemarahan kembali hadir dalam dada Laila.Sambil duduk terpekur, Laila meneteskan air mata yang lagi-lagi hanya dirinya nikmati seorang diri. Segala kenyamanan serta harta kekayaan melimpah yang dimiliki saat ini, ternyata tak mampu membuatnya merasa jauh lebih tenang.Dalam kesendirian tadi, seluruh lamunan Laila tiba-tiba menjadi buyar. Wanita cantik berambut panjang itu segera menyeka air mata, saat mendengar suara ketukan di pintu. Terlebih, setelah mendengar suara Widura
“Apa yang ingin Anda beritahukan kepada saya, Nona?” tanya Widura penasaran.“Sejak kapan Om Adnan mengambil alih kendali, di perusahaan tambang milik ayah saya?” tanya Laila serius.“Dari semenjak Pak Reswara mulai sakit-sakitan. Sekitar satu tahun yang lalu. Kondisi beliau makin lama semakin lemah, hingga akhirnya seperti yang Anda lihat saat pertama kali datang ke rumah ini,” jelas Widura.“Apa yang dokter katakan tentang penyakit ayah saya?” tanya Laila lagi.“Dari yang saya ketahui, Pak Reswara memang sudah menderita komplikasi sejak lama. Belakangan, ada beberapa penyakit yang dinyatakan parah oleh dokter dan … saya tahu Anda pasti sangat penasaran, Nona. Akan tetapi, saya tak ingi