Pramoedya dan Widura sama-sama tercengang, atas ucapan Laila yang seakan tanpa dipikir terlebih dulu. Kedua pria itu saling pandang hingga beberapa saat, sebelum kembali mengarahkan perhatian kepada wanita yang tengah diliputi amarah.
“Jangan bicara sembarangan, Sayang,” tegur Pramoedya pelan, tapi penuh penekanan.“Maaf bila dianggap ikut campur. Saya tidak tahu ada masalah apa antara Anda dengan Pak Pram. Akan tetapi, sebaiknya jangan mengambil keputusan dalam keadaan marah. Bukan tidak mungkin, itu akan menjadi hal yang paling Anda sesali di kemudian hari.” Widura mencoba mengingatkan Laila, agar tidak gegabah.“Saya sudah memikirkannya semalaman. Menurut saya, ini adalah keputusan yang paling tepat,” ujar Laila tetap pada pendiriannya.“Tepat menurutmu, belum tentu tepat bagi pasanganmu!” sergah Pramoedya. Dalam hati, dia sudah tak tahan ingin bertindak lebih tegas kepada Laila. Akan tetapi, Pramoedya berusaha tetap menahan diri.“Kenapa kamu sangat berlebihan seperti ini?” Pramoedya mulai hilang kesabaran, dalam menghadapi sikap keras Laila.“Tidak ada yang berlebihan, Mas,” sanggah Laila. “Aku berhak mempertahankan keputusanku, karena kamu sendiri memilih untuk bersikap seperti itu. Mas lebih suka melindungi wanita itu, dibanding bersikap jujur padaku.” Laila menatap tajam pria tampan di hadapannya. “Apakah wanita yang bersamamu semalam adalah Rastanty?”Pramoedya tidak menjawab. Situasi seperti ini, membuat pria tiga puluh empat tahun tersebut menjadi benar-benar tak nyaman. Namun, entah mengapa Pramoedya merasa begitu berat untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Haruskah dia mengorbankan ikatan dengan Laila, demi tujuan yang sejak awal sudah direncanakan secara matang?“Ya, sudah. Semua sangat jelas untukku, Mas.” Laila menatap kecewa, sebelum akhirnya memalingkan muka. Dia berlalu dari hadapan Pramoedya, yang berdiri te
Setelah berbicara dengan Rastanty, Pramoedya kembali mengarahkan perhatian ke luar jendela. Pikiran pria tiga puluh empat tahun tersebut melayang jauh, pada sepenggal kenangannya bersama Laila. Kebersamaan mereka memang baru seumur jagung. Pantaslah jika belum adanya kepercayaan serta pondasi kuat, yang bisa menjadi alasan untuk mempertahankan ikatan.Pramoedya tak menyalahkan Laila yang terlalu cemburu padanya. Pria itu menyadari seperti apa kehidupan dia di masa lalu. Pertemuannya dengan Laila, bahkan bermula dari suatu kebiasan nakal yang tidak terpuji.Namun, Pramoedya belum bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya untuk saat ini. Awalnya, dia menutupi segala rencana yang telah disusun, demi menjaga kelangsungan hubungan dengan Laila. Namun, siapa sangka bahwa sang istri justru memergokinya bersama Rastanty.
“Mama.” Laila mendekat kepada Naheswari, lalu memeluk wanita itu beberapa saat. Setelah itu, dia beralih kepada Wilhelm. “Kapan datang?” tanya istri Pramoedya tersebut.“Kami baru tiba kemarin,” jawab Naheswari seraya duduk kembali. “Maaf, karena Mama dan papa baru bisa menjengukmu sekarang.”Laila tersenyum lembut. “Terima kasih. Aku sangat terkesan, karena Mama dan papa mau datang jauh-jauh kemari.” Laila menggenggam erat tangan ibu mertuanya. Dia tak merasa canggung lagi. Bagi Laila, Naheswari sudah seperti ibu kandung yang tak dia rasakan kasih sayangnya, akibat perpisahan bertahun-tahun.“Mana mungkin kami tak bisa meluangkan waktu untukmu, Laila,” ucap Wilhelm penuh wibawa. “Bagaimana keadaanmu sekarang?” tany
Laila terus berbincang dengan Naheswari. Mereka membicarakan banyak hal. Tak hanya tentang Pramoedya, tapi juga mengenai sesuatu yang dirasa menarik untuk dibahas antar sesama wanita.Tanpa terasa, senja menjelang. Naheswari dan Wilhelm berpamitan dari sana, dengan diantar oleh Laila dan Widura.Sepeninggal ayah dan ibu mertuanya, Laila langsung masuk kamar. Dia begitu lelah dan ingin segera beristirahat. Namun, kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Laila justru termenung, sambil menatap langit-langit kamar.Sunyi. Laila merasakan kesendirian yang memuakan. Sebenarnya, dia tidak menyukai situasi seperti saat ini. Entah mengapa, kisah hidup justru kembali membawa cerita tak menyenangkan untuknya.Tanpa terasa, kantuk datang menyergap. Laila mulai mem
Pramoedya membalikkan badan. Dia bermaksud menuju mobilnya. Namun, baru dua langkah, pria tampan itu langsung tertegun. Pramoedya segera menoleh, saat mendengar seseorang memanggilnya. Antara bahagia dan terkejut bercampur menjadi satu. Raut wajah Pramoedya menyiratkan perasaan serba salah. Pria tampan itu jadi terlihat kikuk, saat orang yang memanggilnya berjalan menghampiri. “Sayang?” Panggilan yang dalam beberapa waktu terakhir dia berikan kepada Laila, sang istri tercinta. “Kenapa tidak bilang dulu kalau kamu mau kemari?” tanya Pramoedya. Sesuatu yang dia sesali dan ingin diralat olehnya. Ya. Pertanyaan tadi, hanya akan membuat citra Pramoedya makin buruk di mata Laila. “Memangnya kenapa? Jika Mas merasa terganggu, aku bisa langsung pulang. Lagi pula, aku hanya kebetulan lewat dan tidak sengaja melihatmu tadi.” Nada bicara serta sorot mata Laila benar-benar tidak bersahabat. Itu menandakan, bahwa wanita cantik tersebut tidak berniat melakukan perdamaian dengan sang suami. “Apa
“Apa maksudmu, Mas!” sentak Laila. Hatinya semakin panas, ketika Pramoedya melontarkan kata-kata yang sangat melukai harga diri. Itu merupakan penghinaan besar baginya dan mendiang sang ayah. “Teganya kamu menuduh ayahku sebagai penipu!” sentak Laila lagi. Terlebh, Pramoedya tak menanggapi bantahannya. Pria rupawan itu hanya menatap tajam, dengan wajah memerah menahan amarah yang teramat besar. “Apa salahku?” Nada bicara Laila makin meninggi. Wanita itu tak kuasa mengendalikan diri. Dia seakan tak peduli, bahwa di sana ada beberapa petugas WO yang tengah menyelesaikan menghias tempat itu dengan bunga. Mereka sempat menoleh kepada Laila dan Pramoedya, meski akhirnya meneruskan pekerjaan masing-masing. Sadar bahwa pertengkaranya dengan Laila menjadi pusat perhatian, Pramoedya segera mendekat. “Itu kenyataannya. Kakekku salah dalam memberikan kepercayaan pada ayahmu! Beliau mengajari Pak Reswara berbisnis mulai dari nol. Namun, sayangnya ayahmu justru mengkhianati kakekku!” balas Pramoe
Dara mengeluarkan isi dalam laci tadi, yang berupa obat-obatan. Sebagian ada yang sudah terpakai. Namun, ada pula yang masih utuh. “Obat apa itu?” tanya Laila, yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Dara. “Entahlah, Bu. Mungkin, ini obat-obatan bekas Pak Reswara,” pikir Dara. Pendapat yang masuk akal, berhubung obat-obatan tadi didapat di kamar sang pemilik bangunan megah yang kini telah tiada. “Coba kulihat.” Laila ikut menurunkan tubuh, kemudian mengambil obat-obatan tersebut. Dia mengamati nama yang tertera pada bungkusnya. “Obat apa ini?” tanyanya, seperti pada diri sendiri. “Saya juga tidak tahu, tapi ….” Dara teringat akan sesuatu. “Ya, Tuhan. Apakah ini yang Non Marinka maksud?” pikirnya. Laila menoleh. Dia menatap heran bercampur penasaran pada sang asisten. “Maksudmu?” “Um … Anda masih ingat dengan kejadian waktu ….” Dara menceritakan apa yang dia dengar, antara Marinka dengan Lena secara detail. “Saya lupa membe
“Dara?” Laila menatap tak percaya pada sang asisten pribadi, yang tengah bicara di telepon bersama seseorang. “Jadi, kamulah yang bernama Rastanty?” Laila berjalan mendekat ke hadapan gadis, dengan baju tidur motif salah satu tokoh kartun terkenal tadi.Dara berdiri mematung, dengan telepon genggam yang masih berada di dekat telinga. “Bu Laila?” ucapnya tak percaya. Dia menelan ludah dalam-dalam. “Kamu ….” Laila menatap tajam. Kembali tebayang dalam benak wanita dua puluh lima tahun tersebut, suara canda diiringi tawa manja di koridor dekat kamarnya. “Apa kamu juga yang suka bertemu diam-diam dengan Mas Pram?” Nada bicara Laila penuh penekanan, terdengar tak bersahabat sama sekali. “Bu Laila, saya ….” Plak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Dara, sebelum gadis itu menyelesaikan kalimatnya. Laila terlihat begitu kecewa, atas kenyataan yang dirinya dapatkan saat ini. Dia terlalu percaya pada gadis itu. “Dasar pengkhianat!” bentak Laila penuh amarah. “Kamu memberikan informasi dar