"Kau mau ke mana?" Roy menatap heran penampilan Elisa yang terlihat rapi. Wanita itu juga menenteng tas di tangan dan berjalan terburu-buru. "Mbok, aku nitip Rey sama Lexa sebentar yah?" Bukannya menjawab pertanyaan suaminya, Elisa malah berbicara pada asisten rumah tangganya untuk menitipkan kedua anaknya. "Oh ya Mbok, susu Lexa udah El siapin di kamar." Elisa memutar tubuh lagi saat langkahnya hampir mencapai pintu. "El ...!" Roy mencekal tangan istrinya dengan perasaan geram. Bagaimana pun ia merasa tidak di hargai sama sekali oleh wanita itu. "Kenapa sikapmu kurang ajar sekali?" ucapnya tidak terima. "Apa sih, Kak? Aku buru-buru." Elisa mencoba untuk tidak emosi setelah di tinggalkan begitu saja saat pembahasan tadi. Ia hanya ingin segera pergi dan mengetahui bagaimana kondisi ibu mertuanya. "Kau mau pergi ke mana pagi-pagi begini? Apa kau marah karena masalah tadi?" 'Iya. Aku memang sangat kesal karena kamu nggak percaya, Kak!' Ingin sekali Elisa berteriak seperti itu. Tapi
Elisa pulang ke rumah dengan langkah lunglai dan wajah yang di tekuk masam. Masuk ke kamar hanya untuk membersihkan diri, lalu beranjak lagi ke kamar milik anaknya dan memberikan ASI pada Baby Lexa. Beruntung bayi mungil itu tidak rewel saat di tinggal tadi, jadi Mbok Nah tidak terlalu kerepotan mengurus dua balita sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Roy sejak tadi mengamati gerak-gerik istrinya dalam diam. Ia sama sekali belum berani bertanya apapun, apalagi melihat raut wajah sang istri yang nampak suram. Ia yakin sekali jika saat ini wanita itu sedang tidak baik-baik saja. Dua jam berlalu dengan begitu lambat. Roy yang sudah lelah menunggu Elisa sejak tadi memutuskan untuk menyusul. Mendorong pintu kamar anaknya dengan hati-hati, ia melihat Elisa yang tertidur dengan sangat pulas. Wanita itu berada satu ranjang dengan Baby Lexa, sedangkan Rey berada di tempat tidur yang lain. Roy mendekat dan menyentuh pundak Elisa pelan, "El ...?" Sebisa mungkin Roy mengecilkan suaranya. Ia ta
"Baby Lexa kenapa Non?" tanya Mbok Nah setelah di bukakan pintu oleh Roy. Awalnya Mbok Nah hanya berani menyembulkan kepala dari luar, tapi setelah Roy memintanya masuk barulah perempuan itu berani melangkah lagi untuk mendekat."El juga tidak tahu, Mbok, kenapa malam ini Lexa nangis terus. Padahal badannya tidak demam, popoknya pun udah El periksa masih kering. "Elisa berusaha menenangkan bayinya lagi. Karena dengan di gendong tangisannya tak kunjung juga berhenti, wanita itu memutuskan untuk kembali memberikannya ASI."Menyusu pun tidak mau, bagimana ini, Mbok?" Elisa sudah terlihat panik. Apalagi bibir Baby Lexa sedikit memucat dan tubuhnya semakin bergerak menggeliat. "Coba Mbok yang gendong Non, siapa tahu nangisnya mau berhenti." Perempuan itu mendekat ke arah Elisa, dengan gerakan lembut ia menerima bayi itu dari dekapan sang ibu."Anak pinter, anak baik, anak cantik. Jangan nangis lagi yah?" Mbok Nah sedikit memutar tubuhnya membelakangi Elisa. Mengelus kepala bayi itu lembut
"Non Elisa, bangun Non?" Mbok Nah mengguncang tubuh wanita itu pelan. Lalu melirik lagi ke arah mulut bayi mungil yang terlihat bergerak-gerak. Seakan ia tengah mencari puncak dada sang ibu."Eh, Mbok. Apa Lexa menangis lagi?" Elisa menggeliat, lantas bangkit dan mendudukkan tubuhnya sendiri. Ia mengerjap beberapa kali mencoba mengumpulkan kesadarannya yang belum benar-benar sempurna."Sepertinya Baby L haus Non." Mbok Nah mengarahkan pandangannya ke Baby Lexa. Terkadang tangan bayi mungil itu juga ikut bergerak, meraih apapun yang ada di hadapannya."Biar El susuin dulu, Mbok." Mbok Nah menyerahkan bayi mungil itu yang langsung di sambut oleh kedua tangan Elisa.Sembari menyusui putrinya, mata Elisa menyapu sekeliling ruangan. Ia mencari keberadaan Roy yang tidak terlihat sejak ia membuka mata tadi. Ke mana lelaki itu? Katanya ingin menemani Mbok Nah menjaga putrinya? Nyatanya kini malah menghilang tanpa pamit."Kak Roy kemana, Mbok?" Meski ia sudah tahu kira-kira di mana keberadaan
Sesaat Elisa kehilangan kata-kata, bahkan hanya untuk menjawab panggilan dari Airin yang terdengar berkali-kali pun ia tak mampu. Elisa hanya bisa diam dengan mulut yang terkunci rapat. Panggilan masih tersambung, namun detik selanjutnya ponsel yang berada dalam genggamannya terjun bebas mengenai kakinya sendiri sebelum terbentur dengan kerasnya lantai kamar.Ponsel itu hancur berkeping-keping tepat di bawah kakinya. Elisa masih termangu menatap nanar ke arah depan. Kabar itu begitu mengejutkan hingga ia sendiri tak mampu untuk membedakan ini nyata atau hanya mimpi belaka."Ka–k ..." Bibir Elisa gemetar, memanggil suaminya yang masih terdiam di tempatnya tadi. Ia masih linglung untuk memikirkan apa yang selanjutnya hendak ia lakukan."I–ibu, Kak. Ibu ..." Lagi, bibir seakan kelu untuk mengucapkan. Bagaimana ini? Elisa kebingungan sendiri. Saat kesadarannya sudah pulih, ia langsung bergegas menuju kamar milik kedua anaknya."Mbok ...!" Baru saja kedua matanya terpejam, panggilan dari
Roy masih diam di atas pusaran Bu Lasmi meski hujan lebat mengguyur tubuhnya. Lelaki itu merasakan penyesalan yang teramat sangat, apalagi ia belum sempat berbaikan dengan wanita yang telah melahirkannya itu."Maaf, Bu ... maafkan putramu yang bodoh ini ..." Roy berbisik pelan, membelai gundukan tanah merah itu dengan tangan yang gemetar."Kau puas sekarang!" Suara bariton seorang lelaki terdengar dari arah belakang. Roy bangkit dan memutar tubuhnya, sejenak ia menatap sosok Alex yang sudah berdiri dengan kedua tangan yang mengepal erat.Bugh ...! Satu pukulan tepat mengenai perut Roy, membuatnya langsung tersungkur ke tanah."Ini untuk rasa sakit yang selama ini ibuku rasakan!"Bugh, bugh, bugh, bugh ...!"Dan ini, ini, ini, untuk membayar semua kesombonganmu selama ini!"Alex terus memukuli Roy dengan membabi buta. Saat lelaki itu tersungkur, Alex akan menariknya, lantas ia menghujaminya lagi dengan pukulan yang lain."Bangun ..!! Kenapa kau lemah sekali! Ayo lawan aku!" Alex berter
"Ini apa, Pa?" Alex menerimanya dengan wajah bingung. Benda itu berbentuk lipatan kertas berwarna putih. Namun, Alex tidak tahu apa isinya."Bukalah. Kau akan tahu jawabannya nanti." Papa Wahyu ingin Alex membacanya sendiri amanat yang di tulis langsung oleh sang ibu.Perlahan Alex membuka lembaran kertas itu yang ternyata berisi pesan sang ibu sebelum beliau masuk rumah sakit.Di sana tertuliskan bagaimana perempuan itu sangat mencintainya. Begitupun dengan satu nama yang selalu perempuan itu rindukan, Roy. Sang ibu juga berpesan agar ia tidak menyimpan api dendam. Apapun yang akan terjadi nati.Detik itu juga Alex merasa sangat bersalah saat membaca tulisan terakhir ibunya. Jangan pernah salahkan Roy. Semua yang terjadi karena kesalahan Ibu.Roy hanya korban dari keegoisan Ibu di masa lalu.Berjanjilah untuk tidak menyakitinya.Ibu mencintai kalian.'Berdamailah jika kalian ingin Ibu bahagia.'"Pa, ja–di ini bener tulisan Ibu?" Dengan kedua tangan yang gemetar ia menatap lagi lemb
Malam ini suasana terasa sunyi. Lorong-lorong rumah sakit tempat Roy di rawat juga sudah sepi. Elisa sudah bersiap untuk merebahkan diri di ranjang yang di sediakan oleh pihak rumah sakit. Wanita itu memastikan lebih dulu Roy sudah terlelap setelah meminum obatnya. Rencananya besok pagi Roy sudah di ijinkan untuk pulang. Dan malam ini mau tidak mau Elisa berjaga sendirian karena Mbok Nah menjaga kedua anaknya di rumah. Setengah jam merangkak dengan begitu lambat. Seorang pria berbaju hitam di luar ruangan rawat itu sudah nampak gelisah. Ia tengah menunggu sampai orang yang ada di dalam sana benar-benar terlelap. Saat di rasa sudah aman, ia bergerak perlahan mendorong pintu ruangan rawat itu dengan hati-hati. "Aku harus hati-hati. Aku harus secepatnya menjalankan rencana, lalu pergi sebelum ada orang yang melihat." Ia berbisik sendiri. Memakai penutup kepala berwarna hitam, lalu melangkah lagi mendekati ranjang. "Ya, benar, ini target yang harus aku habisi." Pria itu berpikir sejenak