Aku tahu para karyawan showroom dan bengkel selalu tertawa di belakangku. Omelan Firda padaku seolah menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Hanya beberapa orang saja yang mau menatap iba padaku. Sekali lagi, ini demi Ibu. Juga dengan harapan agar suatu saat Firda mau berubah dan menghargai aku.Dengan memendam rasa malu aku terus membersihkan kaca berukuran besar di depan bangunan ini. Menggerus noda dan debu yang menempel selama tiga hari belakangan. Dinding kaca ini selalu dibersihkan secara rutin oleh karyawan Firda. Tapi, malah menjadi tugasku hari ini. Mungkin seterusnya.Saat tugasku sudah separuhnya selesai. Tibalah mobil X-Pander berwarna hitam milik mertuaku. Ia berhenti tepat di depan bengkel. Lalu disusul oleh mobil sejenis berwarna putih mengkilap. Kedua mertuaku turun tapi tetap berdiri di sana. Sepertinya ada yang sedang mereka tunggu. Tak lama turunlah dua orang penumpang laki-laki dan tiga perempuan dari mobil di belakangnya tadi. Lalu mama dan papa mertuaku menyambu
Aku sudah berangkat setelah menghabiskan sarapan yang disediakan Ibu. Firda pun sudah tertidur lagi dan tak sempat menemaniku sarapan. Tak apalah, istriku pasti sangat lelah. Karena aku begitu bersemangat tadi malam. Aku ingin agar usahaku kali ini untuk segera memiliki anak membuahkan hasil. Aku tak sabar ingin segera merasakan menjadi seorang ayah, menimang bayi kecil buah cinta pernikahan. Walaupun kesempatan itu sudah pernah kurasakan dari pernikahan sebelumnya, namun karena kecerobohan Arum, aku gagal dan tak sempat melihat anak itu lahir ke dunia.Tak bisa kubayangkan betapa bahagianya aku jika sudah menjadi seorang ayah. Aku akan pamerkan pada Arum bahwa aku memiliki keluarga yang lengkap, bahkan tak sampai menunggu sampai setahun pernikahan. Dia pasti akan menangis menyadari kekalahannya. Aku menang. Ya, aku menang banyak darinya.Aku tiba dengan mengendarai mobil merah milik Firda. Aku sudah leluasa menggunakan mobil ini kapan pun aku mau. Firda tak pernah protes, ia pun sud
Sinar mentari mengintip melalui celah jendela. Dinginnya sisa udara malam masih terasa saat aku mulai membersihkan diri di kamar mandi. Guyuran air yang masuk ke pori-pori tubuh membuat badanku semakin menggigil kedinginan. Aku terpaksa bangun sepagi ini, karena sejak semalam mataku enggan terpejam. Pikiranku seakan menolak untuk diajak ke alam bawah sadar. Bayang-bayang Arum senantiasa mengajakku untuk kembali mengenang masa lalu. Malam ini aku seolah mengulang kembali peristiwa bersejarah itu. Dimana malam terasa sangat panjang dan mentari enggan menyambut gelap. Jantungku berdegup kencang menanti hari esok, hari dimana aku merafalkan Ijab Qabul untuk menjadikan Arum sebagai makmumku.Kali ini, jantungku berdegup seakan berpacu oleh masa. Aku ingin menarik mundur waktu agar tak ada lagi hari esok. Berharap tak ada juga yang merafalkan Ijab Qabul di samping Arum seperti yang kulakukan dulu.Kupacu mobil membelah jalanan kota kemudian masuk ke area perkampungan tempat di mana aku pe
"Kamu turun, aku mau pulang ke rumah Mama!"Hardik Firda yang duduk di belakangku. Itulah kalimat pertama yang tercipta setelah hampir setengah jam kami tenggelam dalam kebisuan.Ia menatapku penuh benci."Apa kau ingin terus tinggal dengan orangtuamu tanpa kembali lagi ke rumah Ibuku?" Aku memulai pertanyaan setelah ia tadi memaksaku masuk untuk bicara. Padahal, tak ada lagi yang harus dibicarakan.Wanita itu menyorotku tajam dengan pandangan yang menghujam tepat ke ulu hati. Bara kemarahan terpancar dari retinanya yang masih basah.Aku pun sungguh tak bisa menyembunyikan mendung yang singgah di hatiku sejak pertama menginjakkan kaki di tempat ramai itu. Ditambah lagi kejadian yang dianggap telah mencoreng nama baik Papa Mahendra serta meruntuhkan harga diriku.Bagaimana aku terus diam, saat diriku dihujam oleh pandangan merendahkan dari berbagai pasang mata, bisa-bisanya Firda malah berpelukan dengan lelaki lain seumuran ku yang baru saja tiba di tempat itu."Waduh, lihat itu istrimu
"Kok, Firda gak balik juga, Mal? Udah seminggu ini, loh!?" Ibu berdecak kesal. Gurat kekhawatiran terpancar jelas dari wajahnya yang menua.Wajah Ibuku berubah drastis. Bahkan ia terlihat lebih tua dari usianya.Aku yang baru saja hendak menyendokkan nasi ke mulut lantas menghentikan aktivitasku. Sangat sulit bagiku mengumpulkan selera makan agar makanan ini bisa masuk ke tenggorokan."Emang sibuk banget dia, ya? Sampai gak sempat pulang ke sini. Mana obat Ibu sudah mau habis lagi dan lusa harus bayar cicilan. Telpon dong, supaya dia mau pulang hari ini. Uang di dompet sudah mau habis!" Ibu mengomel sambil memegangi kepalanya yang mungkin terasa pusing.Sudah seminggu sejak kejadian itu Firda tak pernah kembali ke sini. Aku pun tak pernah mau menyusulnya ke showroom. Tapi, sampai saat ini aku belum juga memberi tahu Ibu tentang apa yang sesungguhnya terjadi di antara kami.Nasi goreng yang tanpa rasa ini pun semakin terasa hambar di lidahku. Seleraku makin ambyar mendengar keluhan Ibu
Malam semakin larut namun mataku tak juga hendak terpejam. Hujan diiringi suara petir menjadi penghias malam yang terasa sangat panjang. Air hujan yang menetes deras ibarat bumi yang turut menangis meratapi nasib buruk keluargaku. Dan untuk pertama kali dalam era dewasa aku menitikkan air mata. Mataku basah menyaksikan Ibu sedang terbaring lemah tak berdaya, luka di sela-sela jemarinya akibat alergi semakin menganga. Ditambah lagi penyakit diabetes yang ia derita, membuat kubangan luka itu enggan mengering."Sudah diminum obatnya, Bu?" ucapku pelan, ku putuskan untuk menemani Ibu di kamarnya malam ini. "Sudah, tapi reaksinya tidak terasa." Ibu ingin menggaruk luka di tangannya tapi berhasil kucegah. Obat yang biasa dibeli Firda habis, sebagai gantinya aku membeli obat dengan merk lain yang harganya lebih terjangkau. Fungsinya sama, namun kata Ibu gatal di tangannya tak berkurang. Mungkin karena tubuhnya sudah terbiasa mengkonsumsi obat- obatan mahal.Aku menghela napas berat, dari
Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraan ini. Kusapa semua karyawan bengkel yang sudah kembali berkutat dengan masing- masing kendaraan yang ingin diservis. "Kerjanya yang bener, ya!" teriakku dari atas motor sambil mengangkat sebelah tanganku ke atas. Akan tetapi, mereka hanya membalas dengan senyuman enggan. Sepertinya mereka iri padaku dan tak menyangka setelah dua Minggu menghilang akhirnya aku muncul lagi. Pasti para lelaki buaya itu sempat senang mendengar keributan antara aku dan Firda kemarin. Mereka berharap agar Firda segera menjanda lalu berlomba untuk merebut hatinya. Tidak akan, Firda itu istriku dan akan tetap menjadi milikku!Aku mulai menjauh dari bangunan ruko empat pintu itu, membawa motorku untuk merengsek naik ke jalan raya. Dari kaca spion, kulihat sebuah mobil Alphard berwarna hitam tiba-tiba berhenti di depan showroom."Gil* bener, keren banget tu mobil. Istriku memang keren, pelanggannya orang berduit semua," gumamku bangga. Baru kali ini aku melihat mobil s
"Kenapa?" Mbak Rima bertanya seraya mengangkat ujung dagunya."Dikunci," gumamku pelan. Walaupun kamar itu terkunci, biasanya orang yang di dalam masih bisa mendengar suara dari luar.Ibu dan Mbak Rima saling tatap. Tatapan itu sama- sama menyiratkan tanda tanya besar. Sedikit banyaknya pasti mereka turut merasakan perubahan sikap dari Firda, karena aku pun merasakan hal yang sama."Aduh ... aku lupa! Seharusnya Firda minum itu dulu," keluh Mbak Rima usai menepuk pelan jidatnya. Tangannya menunjuk pada air dalam gelas usang di atas meja."Emangnya itu air apa, Mbak?" Lanjutku penasaran.Mbak Rima paling sering menyediakan air minum untuk Firda, jika kuperhatikan ia selalu menggunakan gelas yang sama. Aku sudah lama penasaran, tapi baru kali ini punya kesempatan untuk bertanya."Eemmm, enggak. Ini 'kan cuma air putih biasa. Mbak khawatir aja kalau Firda haus. Dia 'kan pasti capek," jawab Mbak Rima gugup dan salah tingkah."Tapi ... kenapa harus pakai gelas itu terus, Mbak? 'kan ada gel