Sinar mentari mengintip melalui celah jendela. Dinginnya sisa udara malam masih terasa saat aku mulai membersihkan diri di kamar mandi. Guyuran air yang masuk ke pori-pori tubuh membuat badanku semakin menggigil kedinginan. Aku terpaksa bangun sepagi ini, karena sejak semalam mataku enggan terpejam. Pikiranku seakan menolak untuk diajak ke alam bawah sadar. Bayang-bayang Arum senantiasa mengajakku untuk kembali mengenang masa lalu. Malam ini aku seolah mengulang kembali peristiwa bersejarah itu. Dimana malam terasa sangat panjang dan mentari enggan menyambut gelap. Jantungku berdegup kencang menanti hari esok, hari dimana aku merafalkan Ijab Qabul untuk menjadikan Arum sebagai makmumku.Kali ini, jantungku berdegup seakan berpacu oleh masa. Aku ingin menarik mundur waktu agar tak ada lagi hari esok. Berharap tak ada juga yang merafalkan Ijab Qabul di samping Arum seperti yang kulakukan dulu.Kupacu mobil membelah jalanan kota kemudian masuk ke area perkampungan tempat di mana aku pe
"Kamu turun, aku mau pulang ke rumah Mama!"Hardik Firda yang duduk di belakangku. Itulah kalimat pertama yang tercipta setelah hampir setengah jam kami tenggelam dalam kebisuan.Ia menatapku penuh benci."Apa kau ingin terus tinggal dengan orangtuamu tanpa kembali lagi ke rumah Ibuku?" Aku memulai pertanyaan setelah ia tadi memaksaku masuk untuk bicara. Padahal, tak ada lagi yang harus dibicarakan.Wanita itu menyorotku tajam dengan pandangan yang menghujam tepat ke ulu hati. Bara kemarahan terpancar dari retinanya yang masih basah.Aku pun sungguh tak bisa menyembunyikan mendung yang singgah di hatiku sejak pertama menginjakkan kaki di tempat ramai itu. Ditambah lagi kejadian yang dianggap telah mencoreng nama baik Papa Mahendra serta meruntuhkan harga diriku.Bagaimana aku terus diam, saat diriku dihujam oleh pandangan merendahkan dari berbagai pasang mata, bisa-bisanya Firda malah berpelukan dengan lelaki lain seumuran ku yang baru saja tiba di tempat itu."Waduh, lihat itu istrimu
"Kok, Firda gak balik juga, Mal? Udah seminggu ini, loh!?" Ibu berdecak kesal. Gurat kekhawatiran terpancar jelas dari wajahnya yang menua.Wajah Ibuku berubah drastis. Bahkan ia terlihat lebih tua dari usianya.Aku yang baru saja hendak menyendokkan nasi ke mulut lantas menghentikan aktivitasku. Sangat sulit bagiku mengumpulkan selera makan agar makanan ini bisa masuk ke tenggorokan."Emang sibuk banget dia, ya? Sampai gak sempat pulang ke sini. Mana obat Ibu sudah mau habis lagi dan lusa harus bayar cicilan. Telpon dong, supaya dia mau pulang hari ini. Uang di dompet sudah mau habis!" Ibu mengomel sambil memegangi kepalanya yang mungkin terasa pusing.Sudah seminggu sejak kejadian itu Firda tak pernah kembali ke sini. Aku pun tak pernah mau menyusulnya ke showroom. Tapi, sampai saat ini aku belum juga memberi tahu Ibu tentang apa yang sesungguhnya terjadi di antara kami.Nasi goreng yang tanpa rasa ini pun semakin terasa hambar di lidahku. Seleraku makin ambyar mendengar keluhan Ibu
Malam semakin larut namun mataku tak juga hendak terpejam. Hujan diiringi suara petir menjadi penghias malam yang terasa sangat panjang. Air hujan yang menetes deras ibarat bumi yang turut menangis meratapi nasib buruk keluargaku. Dan untuk pertama kali dalam era dewasa aku menitikkan air mata. Mataku basah menyaksikan Ibu sedang terbaring lemah tak berdaya, luka di sela-sela jemarinya akibat alergi semakin menganga. Ditambah lagi penyakit diabetes yang ia derita, membuat kubangan luka itu enggan mengering."Sudah diminum obatnya, Bu?" ucapku pelan, ku putuskan untuk menemani Ibu di kamarnya malam ini. "Sudah, tapi reaksinya tidak terasa." Ibu ingin menggaruk luka di tangannya tapi berhasil kucegah. Obat yang biasa dibeli Firda habis, sebagai gantinya aku membeli obat dengan merk lain yang harganya lebih terjangkau. Fungsinya sama, namun kata Ibu gatal di tangannya tak berkurang. Mungkin karena tubuhnya sudah terbiasa mengkonsumsi obat- obatan mahal.Aku menghela napas berat, dari
Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraan ini. Kusapa semua karyawan bengkel yang sudah kembali berkutat dengan masing- masing kendaraan yang ingin diservis. "Kerjanya yang bener, ya!" teriakku dari atas motor sambil mengangkat sebelah tanganku ke atas. Akan tetapi, mereka hanya membalas dengan senyuman enggan. Sepertinya mereka iri padaku dan tak menyangka setelah dua Minggu menghilang akhirnya aku muncul lagi. Pasti para lelaki buaya itu sempat senang mendengar keributan antara aku dan Firda kemarin. Mereka berharap agar Firda segera menjanda lalu berlomba untuk merebut hatinya. Tidak akan, Firda itu istriku dan akan tetap menjadi milikku!Aku mulai menjauh dari bangunan ruko empat pintu itu, membawa motorku untuk merengsek naik ke jalan raya. Dari kaca spion, kulihat sebuah mobil Alphard berwarna hitam tiba-tiba berhenti di depan showroom."Gil* bener, keren banget tu mobil. Istriku memang keren, pelanggannya orang berduit semua," gumamku bangga. Baru kali ini aku melihat mobil s
"Kenapa?" Mbak Rima bertanya seraya mengangkat ujung dagunya."Dikunci," gumamku pelan. Walaupun kamar itu terkunci, biasanya orang yang di dalam masih bisa mendengar suara dari luar.Ibu dan Mbak Rima saling tatap. Tatapan itu sama- sama menyiratkan tanda tanya besar. Sedikit banyaknya pasti mereka turut merasakan perubahan sikap dari Firda, karena aku pun merasakan hal yang sama."Aduh ... aku lupa! Seharusnya Firda minum itu dulu," keluh Mbak Rima usai menepuk pelan jidatnya. Tangannya menunjuk pada air dalam gelas usang di atas meja."Emangnya itu air apa, Mbak?" Lanjutku penasaran.Mbak Rima paling sering menyediakan air minum untuk Firda, jika kuperhatikan ia selalu menggunakan gelas yang sama. Aku sudah lama penasaran, tapi baru kali ini punya kesempatan untuk bertanya."Eemmm, enggak. Ini 'kan cuma air putih biasa. Mbak khawatir aja kalau Firda haus. Dia 'kan pasti capek," jawab Mbak Rima gugup dan salah tingkah."Tapi ... kenapa harus pakai gelas itu terus, Mbak? 'kan ada gel
Aku akan menggugatmu dan mengurus perceraian kita. Jangan persulit prosesnya kecuali jika kau sudah bosan hidup!" teriak Firda sebelum mengangkat kaki dari rumah ini. Wanita itu pergi begitu saja meninggalkan seisi rumah yang berantakan. Mbak Rima sepertinya pingsan sedangkan Ibu meringkuk ketakutan di bawah jendela.Beberapa tetangga meringsek masuk setelah kedua orang bertubuh besar itu keluar, disusul oleh mama dan Firda yang memindai angkuh wajah Ibuku karena shock dan ketakutan."Astaghfirullah, Rima! Ayo tolong angkat dia ke sofa," pekik Bu Fitri terkejut melihat kondisi Mbak Rima. Ada beberapa helai rambut yang berserakan di lantai akibat tarik menarik antara mama dan Mbak Rima tadi. Ia masih belum sadar karena benturan keras tadi."Bunda ... Bunda .... bangun, Bun!" Rayen menangis sambil memeluk ibunya. Rupanya ia turut menyaksikan kegaduhan di rumah ini tadi, namun karena takut, ia hanya mengintip dari pintu dapur. Sementara Lila -- anak tiri Mbak Rima dari Mas Andi baru mun
POV Author Sudah lebih dari tiga hari Rima terbaring di rumah sakit namun Dokter masih belum mengizinkannya pulang. Pasca terbentur, ia mengalami pendarahan hebat namun untungnya janin muda di dalam rahimnya masih bisa diselamatkan.Namun, ia harus kembali menerima kenyataan bahwa janin itu tak bisa diselamatkan. Bukan karena benturan keras atau pun pendarahan, melainkan saat masa pemulihan, wanita bermulut pedas itu mengalami stress berat hingga mempengaruhi kesehatan janin yang sangat diharapkan kehadirannya selama lima tahun belakangan.Bu Rahma menatap sendu pada perut sang anak yang telah kosong. Harapannya untuk kembali memiliki cucu telah pupus begitu saja. Hatinya semakin sakit kala membayangkan ini kali kedua ia gagal memiliki cucu.Wanita paruh baya itu sama stress-nya dengan Rima. Mereka bukan hanya memikirkan kesedihan atas kehilangan sang jabang bayi, tapi kehilangan harapan untuk kembali hidup layak.Rima dirawat sebagai pasien umum di rumah sakit, semua orang tahu hal