Selama tujuh hari Dina berada di rumah almarhum mamanya bersama Dini adiknya. Mereka kini tinggal berdua karena, ayah mereka telah menikah dengan wanita lain. Aku yang saat itu ikut mengantar jenasah hanyut kedalam kesedihan pula, karena aku melihat mereka seakan-akan sudah tidak punya siapapun.
Sewaktu aku dan ibunda berada disana untuk mengantar jenasah, aku melihat Dina dalam kondisi yang sangat terpukul dengan kepergian mamanya, ia bolak-balik pingsan karena tidak bisa menerima kenyataan pahit itu. Bagi Dina orang yang selama ini mengasihinya hanyalah mamanya.
Tadi pagi ibunda menghubungi Dini adik dari Dina, dan Dini mengatakan kalau hari ini Dina akan pulang ke rumah bunda. Saat ini kami sedang menunggu kedatangannya, dan untuk keputusanku yang akan menceraikan dirinya belum pernah aku pikirkan kembali sejak kejadian tujuh hari lalu.
Ajeng pun telah aku beritahukan masalah itu dan bagi Ajeng itu bukan masalah buat dirinya karena semua keputusan diserahk
Malam ini hasratku akhirnya tersampaikan. Dari kemarin kepalaku terasa sakit sekali tetapi setelah hasrat itu telah ku keluarkan, aku merasa sakit kepalaku sudah lebih membaik. Aku sempat berpikir, apakah memang ada hubungannya dengan hasratku yang tidak tersalurkan dengan sakit kepala yang aku rasakan. Aku masih memeluk Dina sejak keluarnya cairan nikmatku yang tertunda, saat ini aku merasa Dina lebih santai dan tidak terlihat seperti hari-hari lalu ketika kami sama-sama meraih kenikmatan bersama. “Mas, aku ingin membersihkan diri,” ucap Dina sambil melepaskan diri dari pelukanku berjalan kekamar mandi tanpa busana. Setelah selesai, ia lalu beranjak ke tempat tidur kami dan memakai baju tidurnya kembali. “Din, aku ingin kamu tidur tanpa mengunakan baju tidurmu” bisikku pada telinganya, ketika beranjak keatas tempat tidur kami. Lalu aku pun kekamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu aku merasa air yang aku gunakan untuk membersihkan di
Seperti biasa, setiap pagi aku menyiram tanaman dan memetik beberapa tanaman yang harus di panen. Sedangkan bibi saat ini berada di dapur dan paman serta ayahnya Bram sedang berolah raga di lapangan yang berada dialun-alun. Atas permintaanku mas Bram tidak ke rumah, dan ini sudah dua hari ia tidak ke rumah. Bagiku wajar saja karena saat ini Dina sedang berduka karena harus kehilangan mamanya, jadi sudah pasti mas Bram harus bisa menghibur dirinya. “Bu Bram, lagi panen lagi ya,” tanya tetanggaku ibu Tuti sembari menghampiri diriku. “Iya Ibu ada beberapa yang harus di panen, nanti ibu ambil saja sayurannya lumayan bisa ibu masak nanti,” ucapku yang sedang memanen daun selada. “Aduh terima kasih banyak ibu Bram,” ucap ibu Tuti. “Bu Bram maaf, masalah sama suaminya yang waktu itu sudah selesai?” tanya ibu Tuti lagi. Memang kala itu ketika melewati masa sulitnya ada beberapa tetangganya seperti ibu Tuti dan ada dua orang ibu-ibu di lingkung
Aku sampai ke rumah Ajeng ketika sore hari dan aku langsung menemui ayah dan bunda, setelah bertemu dengan mereka aku langsung memeluk mereka berdua. Inilah momen terindah dalam hidupku, karena setelah tiga puluh satu tahun aku akan merasakan hidup bersama kedua orang tuaku. “Bram, ayah minta maaf karena baru sekarang semua harapanmu ayah wujudkan,” ucap ayahku dengan memeluk diriku. Aku sangat ingat sewaktu mereka berpisah, ayah setiap hari selalu mengunjungi diriku disekolah. Dan pada saat ulang tahunku yang ke sepuluh ayah pernah berjanji akan ke rumah dan berkumpul kembali. Tetapi setiap ulang tahun telah berlalu tidak pernah sekalipun ayah kembali hingga pada saat aku telah bersekolah di sekolah menengah pertama baru aku memahami arti perpisahan yang terjadi antara ayah dan bundaku. Begitu pun dengan ibunda yang selalu memberikan harapan pada diriku, kalau suatu saat ayahku akan kembali dan itu terus ibunda ucapkan hingga aku menduduk
Pagi sekali Bram telah bangun pagi dan telah bersiap ke rumah Ajeng bersama bundanya. Mereka telah berdandan rapi. Sebenarnya bunda Bram ingin Dina ikut bersama rumah Ajeng untuk menyaksikan pernikahan tersebut sekalian berkenalan dengan Ajeng, dan ayahnya Bram. Tetapi Dina tidak bisa menyaksikan pernikahan bunda dikarenakan Dina harus menyambut kedatangan ayah dan ibu sebagai pengantin baru di rumah nanti, jadi hari ini Dina akan sangat sibuk menghiasi kamar pengantin ayah dan bunda. Akhirnya bunda dan aku saja yang ke rumah Ajeng, tiga puluh menit kemudian kami pun sampai disambut oleh bibi dan pamannya Ajeng. “Bunda cantik sekali, pasti ayah akan pangling melihat bunda yang tetap cantik sediakala,” ucap Ajeng ketika melihat ibunda memasuki rumahnya. Dibalas dengan senyuman bahagia dari ibunda dengan merangkul Ajeng. “Terima kasih Ajeng, untuk segalaketulusanmu,” ucap ibunda dengan menggenggam kedua tangan ajeng. Hari ini memang ibun
Seperti biasa aku bangun dan langsung menuju kamar mandi. Dan alangkah terkejutnya ketika aku akan membuang air kecil, aku melihat flek darah di pakaian dalamku. Aku mencoba untuk mengingat-ingat buku panduan ketika seseorang akan melahirkan dan seingatku hal ini ada dalam buku panduan tersebut. Aku berpikir kembali tentang jadwal melahirkan berdasarkan hari terakhir aku menstruasi. Memang ada beberapa wanita melahirkan dua minggu sebelum jadwal yang ditentukan ,bisa jadi pada saat kita memberikan informasi pada dokter ada kesalahan pada saat terakhir kita menstruasi. Tetapi seperti yang dokter katakan maju atau mundurnya suatu persalinan adalah hal yang biasa dan tidak menjadi masalah asalkan masa kehamilan telah melewati waktu selama tujuh bulan. Aku lalu mencari bibi untuk memberitahukan hal ini padanya. “Bibi ada flek pada pakaian dalamku sekarang apa kita harus ke rumah sakit?” tanyaku. “Apa kamu ada merasakan rasa panas pada bagian pinggangmu at
Ajeng harus meninggalkan bayinya yang menderita Hidrosefalus di Rumah sakit. Ia seharusnya ikhlas menerima ketentuan ini. Yang ada dihatinya adalah sebuah pengharapan atas kesembuhan bayinya. Selama empat bulan setiap hari Ajeng menghabiskan waktu di Rumah sakit menemani sang buah hati menjalani serangkaian pemeriksaan. Ajeng kembali ke rumah ketika waktu jam tidur. Kini kebun dan semua tanaman yang ia tanam seolah mengerti kepedihan hatinya saat ini. Ia sudah menjadi pribadi yang tidak peduli atas apapun yang terjadi di sekitarnya. Yang dipikirkannya hanya kesembuhan bayinya. Disisi lain aku, membutuhkan dirinya sebagai teman berbicara dan teman hidupku tetapi yang aku rasakan saat ini dia bukanlah Ajeng yang kukenal selama ini. Waktuku banyak dihabiskan bersama teman bisnisku di luar rumah, dan kebutuhan batinku selama ini pun hanya dicukupi oleh Dina. Karena selama ini Ajeng selalu menolak ketika aku ingin bersamanya. Entah sampai kapan komunikasi antara a
Setelah lima bulan perjuanganku, untuk kesembuhan anakku yang aku sangat kasihi, akhirnya perjuanganku runtuh tidak menyisakan harapan sekecil apapun, karena Dokter telah angkat tangan dan mengatakan sudah tidak ada harapan lagi untuk kesembuhannya. Itu membuat diriku sangat terpukul dan di pagi hari ini adalah hari terburuk dalam kehidupanku, karena akhirnya semua harapan itu hilang dengan meninggalkan duka yang begitu dalam bagi diriku. “Tidakkkkkkk!!!!!! Bangun anakku, ini mama sayang....,” aku menangis histeris di samping tempat tidur anakku disaat aku melihat napas terakhirnya berhenti. “Sudah Ajeng, kamu harus kuat...,” ucap bibinya menguatkan hatiku turut menangisi kepergiannya. “Ajeng anakku, tolong bersabar sayang,” ucap pamannya sambil memapah tubuhku yang terduduk lemas di samping tempat tidur anakku. Aku menangis dalam pelukan paman yang dengan kasih sayangnya terus mengelus-ngelus punggungku dengan memberikan kekuatan. Sedangkan b
*BRAM POV* Aku dan keluarga meninggalkan rumah Ajeng ketika jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dalam perjalanan tanpa terasa aku pun menangisi kepergian anak lelakiku yang seharusnya saat ini sudah mengenal diriku dari suaraku, tetapi takdir berkata lain. Aku, Dina dan semua keluarga telah berusaha semaksimal mungkin bagi kesembuhan anak lelakiku. Tetapi seperti kata pepatah yang sering aku dengar, ‘malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih’ begitulah aku mengganggap nasibku saat ini. “Mas Bram, sudah jangan bersedih lagi saat ini kita hanya perlu ikhlas dan yakinlah ini yang terbaik, dibandingkan ia harus merasakan rasa sakit sepanjang hidupnya,” ucap Dina memberikan semangat agar aku mengikhlaskan anakku. “Bram, lebih baik kita mencari penginapan di sekitar sini, hari sudah tengah malam di samping itu kita semua dari tadi tidak beristirahat sama sekali,” ucap ayahku. Aku meminta pada Dina untuk mencari tempat penginapa