Share

Mencoba Bicara

Aku sampai di rumah tepat saat adzan magrib berkumandang. Saat masuk rumah apalagi kalau bukan rumah berantakan yang menyambutnya. Bisa dia rasakan lantai rumah terasa berdebu. "Bisa-bisa anak-anak sakit karena ini," batinku sambil mendesah lelah.

Fikri dan Reza sedang main kejar-kejaran sambil tertawa. Istriku sedang melipat pakaian sambil melihat hp yang diletakkannya di meja, menonton drakor. Sampai nggak nengok saat menjawab salamku. Mungkin aktor korea itu lebih tampan dariku, sampai aku dianggap seperti angin lalu.

Sepertinya dia belum mandi kalau melihat penampilannya yang masih awut-awutan. Daster coklat yang sudah robek di bagian ketiak masih dipakainya. Padahal waktu jalan-jalan minggu lalu, aku sudah belikan dia daster baru.

"Daster lama itu enak, nyaman dipakai pah, daster barunya biar awet jangan keseringan dipakai lah." Itu alasannya kalau aku memintanya ganti pakaian dengan yang lebih layak.

Padahal aku belikan yang baru karena sumpek melihat dia pakai baju robek-robek. Kalau memang masih mau dipakai dijahit dulu kan bisa.

"Sudah mandi belum mah?"

"Belum, tanggung ini pah tinggal sedikit lagi bajunya yang harus dilipat," tentu saja tanpa menoleh ke arahku.

Dia bahkan lupa tak menyambut dan mencium tanganku seperti biasa. Tidak bertanya kenapa pulangnya lebih sore, yah walaupun beberapa kali memang karena pekerjaan membuatku harus pulang malam.

Tapi apa salahnya bertanya tanda perhatiannya padaku. Aku mengelus kepala anak-anak dan mencium mereka sebelum aku ke kamar dan memutuskan untuk mandi.

Setelah shalat maghrib aku mengecek hp, ada notifikasi dari aplikasi hijau. Aku buka pesan itu, dari Yuni ternyata.

[Makasih ya pak Andra, traktirannya.] Dilengkapi emotikon senyum manis.

[Sama-sama.] Balasku tentu saja kuberikan emotikon yang sama agar tidak terkesan jutek.

Ku simpan hp di meja dalam kamar lalu keluar ke ruang tamu. Istriku sudah menyampirkan handuk di pundak tapi masih juga melihat hpnya.

"Keburu isya mamah belum salat magrib mah." Aku tegur dengan sedikit keras agar dia memperhatikan.

"Eh iya pah." Barulah diletakkannya hp dengan suara yang masih terdengar, lupa belum dikeluarkan dari aplikasi yang sedang dibukanya karena terburu-buru menuju ke kamar mandi.

Fikri sedang belajar, sedang adiknya ada di sebelahnya mengoceh sembarang kata minta diperhatikan.

"Reza, sini sama papa," kataku sambil melambaikan tangan memanggilnya mendekat. Reza berdiri dan mendekat ke arahku dengan segera, memamerkan mobil-mobilan merah kesukaannya.

Lucu sekali anakku ini. Kutanggapi ocehannya sambil tertawa-tawa. Tidak ada rumah tangga yang sempurna. Tidak ada rumah tangga tanpa masalah. Anak-anak yang akan jadi korban kalau orang tuanya tidak akur. Masalah ini harus segera dituntaskan.

***

Pukul 21.00

Fikri sudah tidur memeluk Bumblebee, robot mainan yang kubelikan untuknya saat dia mendapatkan nilai 100 di pelajaran matematika. Pelajaran yang katanya sulit dan sampai membuatnya menangis karena tidak mengerti.

Reza yang juga mulai disapih sudah memunggungi istriku sambil memeluk botol susunya.

"Mah, boleh papah bicara?" Aku memulai pembicaraan dengan hati-hati, kali ini aku ingin didengarkan.

"Ngomong aja sih mas." Rina melihatku sambil tersenyum.

"Mas mau minta jatah ya, hem?" katanya sambil menaik turunkan alisnya.

"Mah, papah mau bicara soal-

"Mas, kita lagi berdua aja. Jangan panggil mamah papah dong. "

Aku tersenyum, dia memang pernah bilang lebih suka dipanggil dek Rina, jadi merasa lebih muda dan seperti masa pacaran dulu. Tapi tidak kalau di depan anak-anak takutnya mereka meniru panggilan kami seperti anak kakakku yang terbawa sampai usia lima tahun memanggil kakakku mas, seperti ibunya memanggilnya kakakku.

"Iya, mas mau bicara soal kebiasaan kamu dek, boleh nggak kalau main hpnya dikurangi."

"Mas, aku kan udah pernah bilang-

"Dek," aku memotong ucapannya, "Aku melihat akhir-akhir ini kamu jadi lebih sibuk mantengin hp. Pekerjaan rumah nggak selesai, kurang perhatian juga sama aku. Kamu juga sering begadang cuma buat scroll tiktok lah, nonton drakor lah, atau ngapain lagi itu aku nggak tahu."

Dia manyun dan melihatku dengan ekspresi jengkel.

"Tapi pada akhirnya semua pekerjaan rumah kan selesai." Mulutnya yang cemberut semakin mengerucut.

"Iya tapi akhirnya aku juga yang harus turun tangan membantumu."

"Ya itu kan juga kewajiban mas buat bantuin aku, tugas suami nggak cuma mencari nafkah, suami membantu pekerjaan rumah tangga itu bukan aib."

"Aku tahu dek, tapi sekarang kamu nggak kayak dulu. Kerjamu lebih banyak nonton hpmu itu loh. Rumah jarang disapu, baju aku setrika sendiri, sampai kamu lupa masak, lupa mandi, sama sekali nggak mikirin aku. Aku di luar sana ketemu perempuan-perempuan cantik loh dek, masa sampai rumah melihat kamu awut-awutan terus." Istriku tidak menjawab justru memalingkan wajahnya dan melirik ke arah lain.

"Mas bilang begini demi kebaikan kita dek. Mas cuma laki-laki biasa. Apa nanti dek Rina nggak nyesal kalau sampai mas kepincut sama perempuan lain." Rina mendelik mendengar kata-kataku.

"Mas mau kok bantuin pekerjaan rumah kalau kamu memang keteteran atau kelelahan. Nggak papa juga kamu kalau mau refreshing sama temanmu, mas mau jaga anak-anak. Tapi kalau kamu lalai sama kewajibanmu karena teralihkan sama gadget, ya siapa yang nggak sebel sih dek."

"Mas minta maaf ngomong begini, tapi sekali lagi ini demi kebaikan rumah tangga kita."

Dia cuma diam menunduk sambil cemberut tidak menjawab. Semoga saja itu tanda dia mau mengerti dan berubah seperti dulu lagi. Fikri sudah besar dan bisa dimintai tolong menjaga adiknya sebentar. Harusnya dia bisa lebih menjaga penampilannya. Aku tidak memintanya berdandan menor atau glowing seperti bintang korea, paling tidak kalau aku pulang dia sudah bersih, sudah mandi, dan tidak pakai daster bolong terus.

Aku berbaring di sebelahnya dan memunggunginya. Terlelap dengan mudahnya, tanpa gangguan suara berisik dari hpnya.

Aku terbangun karena suara Reza yang menangis. Rina tidur memunggungi aku dan Reza. Apa dia nggak dengar Reza menangis kencang begini, sama sekali nggak terusik.

"Cup cup, Reza kenapa?" Aku memeluknya dan menenangkannya. Mungkin anakku mimpi buruk, agak lama menenangkannya sampai tertidur lagi. Herannya Rina sama sekali tidak bergerak.

Terdengar dengkuran kecil saat aku meletakkan Reza di tengah-tengah kami. Aku melongok ke arahnya. Ya Tuhan pantas saja, telinganya tertutup headset, sedang hpnya masih menyala entah apa yang didengarkannya.

Aku pikir dia akan langsung berubah setelah diajak bicara. Kalau aku tidak ada, sedang dia memakai headset seperti itu, dan ada apa-apa dengan anak kami bagaimana. Aku mengusap wajahku lelah, sudah tidak bisa tidur lagi.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status