Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (24)PoV AYARATiga bulan telah berlalu, dan akhirnya masa iddahku selesai juga. Selama ini, suasana terasa amat tenang. Tak ada gangguan. Tak ada siapapun yang mengusik hidupku dan Cia. Namun, jauh di lubuk hatiku, aku merasa bahwa suasana yang tenang ini menyimpan bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.Kini, kesibukanku selain menulis adalah mengantar dan menjemput Cia ke sekolah taman kanak-kanaknya. Meski ada Mbak Atik di rumah, aku tetap melakukan sendiri segala urusan tentang Cia. Mandi, memakaikannya baju, mengantar dan menjemput sekolah, belajar dan bermain di rumah. Mbak Atik sampai mengeluh dia tak punya kerjaan."Saya pulang ke pantai aja deh. Disini nggak ada kerjaan," keluhnya."Emang kalau disana banyak kerjaan ya, Mbak? Ngintip tetangga sebelah."Mbak Atik tertawa."Tetangga sebelah kan kosong, orangnya disini kok, dikota.""Eh, yang bener?""Tuh kan, Mbak Aya penasaran."Aku mencubit pinggang Mbak Atik. Maksud hati menggodanya, malah ak
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (25)Kabar menyedihkan tentang siapa orangtua kandung Cia, membuat seisi rumah terdiam. Aku mempercayai cerita Jelita karena sempat bertanya langsung ke pihak rumah sakit tentang peristiwa kematian suami istri itu. Dan karena peristiwanya cukup menggemparkan, banyak pegawai rumah sakit yang mengingatnya."Lalu kabarnya, bayi itu dibawa pulang oleh seseorang yang mengaku sebagai kerabat Ayahnya. Bayi malang yang cantik sekali. Saya ingat, ada tanda lahir berbentuk bintang di pergelangan tangannya sebelah dalam."Dan kini, aku menatap anakku yang tertidur pulas, memandangi bintang kecil berwarna kehitaman yang ada di sebelah dalam pergelangan tangan kirinya. Air mataku menetes membayangkan di hari kelahirannya, dia langsung menjadi anak yatim piatu. Namun, sebagian sisi hatiku lega. Dia tak punya hubungan apapun dengan Ivan dan keluarganya.Aku teringat tatapan Mama yang aneh saat melihat bayi itu dulu. Beliau sama sekali tak mau nyentuh, apalagi menggendong
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (26)PoV IVAN"Jangan muncul dihadapan Ayara. Dia curiga kalau kau masih hidup, Ivan!"Suara panik Mama membuatku terkejut."Apa maksud Mama?"Aku meremas kertas pembungkus nasi, dan melemparkannya ke sudut ruangan, bergabung dengan sampah lainnya. Karena hanya beberapa kali diobati ke sangkal putung, kakiku belum pulih benar. Aku tak bisa datang kesana tepat waktu karena takut ada orang yang mengenaliku. Padahal, seluruh dunia hanya boleh tahu bahwa aku sudah mati."Ayara datang ke rumah dan mengatakan pada Mama bahwa tes DNA jenazahmu dengan Cia tidak cocok. Dia pikir, itu bukan kau.""Bagaimana dia melakukan tes DNA?" tanyaku geram. Ayara, adalah salah satu wanita yang paling tak bisa kutebak. Dulu, aku pulang membawa bayi dalam keadaan takut. Kupikir tadinya dia akan menolak dan membuang bayi itu entah kemana, mungkin ke panti asuhan. Tapi ternyata, dia menerima Lucia dengan mudah, menyayanginya sepenuh hati, tapi, mengambil kesempatan pada kata-kata
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (27)Tentu saja semua tak semudah yang kubayangkan. Apalagi dengan wajah mengerikan bak monster seperti ini. Bisa-bisa, petugas di meja reception itu kabur atau bahkan pingsan. Aku menendang ban sepeda motor dengan kesal. Motor ini juga menjadi masalah. Di tengah malam seperti ini, rasanya dingin sekali berkendara dengan motor. Sepertinya besok aku akan meminta Mama menarik uang secara bertahap sampai cukup untuk membeli sebuah mobil. Tak apa meski hanya mobil bekas, yang penting, aku bisa lebih leluasa pergi tanpa diketahui orang banyak. Oh, jangan lupa, sepertinya aku juga harus mulai berpikir untuk pindah karena para tetangga mulai curiga. Bagaimana kalau kugunakan saja uang itu untuk menyewa apartemen di sebelah Bu Ristie supaya bisa memata-matainya? Aku yakin sekali, perempuan tua sialan itu ada dibalik usaha pembunuhan terhadapku.Aku akhirnya pulang dengan tangan hampa, kesal tapi tak bisa berbuat apa-apa. Di saat seperti ini, aku teringat pada kehi
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (28)Ternyata banyak yang harus kukerjakan akibat kekosongan jabatan tempo hari. Beruntung, para karyawan wanita yang memang sudah kukenal sejak aku magang, banyak membantu. Terutama Siska dan Lola, Admin dan staff bagian keuangan yang bolak balik menanyakan, apakah ada yang bisa mereka bantu.Hingga tengah hari, barulah aku menyadari bahwa yang mereka lakukan, selain membantuku, memang modus supaya bisa lewat depan ruangan Banyu, karena kebetulan mereka harus melewatinya jika ingin ke ruanganku."Nggak keluar-keluar itu Pak Manager ya. Apa nggak makan siang?"Kudengar suara Lola yang bicara pada Siska dari balik partisinya."Hooh, banyak kerjaan kayaknya. Pak Ivan kan ninggalin peer.""Bisa-bisanya ya dia selingkuh sama Bu Ristie, padahal Bu Aya kurang apa coba? Cantik, kaya, ponakan Pak Bos langsung.""Sebelumnya kan bukan sama Bu Ristie. Bu Ristie mah setelah cermai, kali'... ""Sama aja. Siapapun ceweknya, Bu Ayara nggak pantas dikhianati kayak gitu.
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (29)Melayat Ayah Mertuaku. Papa.Papa mertuaku, Ayah Ivan, punya kebiasaan buruk yang sama dengan anak lelakinya. Bedanya, Mama tak mau mengambil jalan yang sama denganku. Entah karena terlalu cinta atau punya pertimbangan lainnya."Selamat sore, Bu, Assalamu'alaikum."Suara Banyu yang mengembalikan kesadaranku dari mengingat wajah Papa mertuaku itu."Oh, apakah temannya Aya?""Saya Banyu, Bu. Tepatnya, saya teman Cia, dan bawahan Aya di kantor."Wajah Ibu langsung sumringah. Jelas saja Ibu tahu siapa Banyu. Tak ada hari yang terlewat tanpa mendengarkan celoteh Cia tentangnya. Dan entah apa pula yang diceritakan Mbak Atik. Kulihat senyum dan kerlingan mata Ibu berbeda.Banyu meraih tangan Ibu dan menciumnya. Ibu mengangguk-angguk."Kenapa baru sekarang main kesini?""Em, baru dapat izin dari Aya, Bu."Aih.Ibu tertawa."Ya sudah, sering-seringlah main ya. Ayahnya Aya kadang mengeluh nggak punya lawan main catur karena dia kan lelaki sendiri di rumah ini."
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (30)Ketika cinta menyapa, semua terasa bagai berada di negeri dongeng. Langit malam di atas kepalaku yang bertabur bintang, purnama tanggal lima belas, dan senyumnya yang tertinggal di pelupuk mata. Hingga mobilnya menghilang di balik pagar, aku masih terpaku, Diam-diam merasakan hangat di pipi, dan turun ke dada."Aku tahu ini terlalu cepat, Aya. Tapi sejak pertama bertemu denganmu, aku sudah jatuh cinta padamu. Hanya saja, saat itu aku betul-betul tak tahu siapa kamu.""Dan sampai saat inipun, kamu belum tahu siapa aku, Banyu. Apa saja yang sudah aku alami, dan sesakit apa luka yang pernah aku rasakan.""Aku tahu.""Bagaimana kamu tahu?" Aku memicingkan mata, "Aku yakin teman-temanku ataupun Mbak Atik tak akan demikian lancang bercerita tentang aku.""Bukan mereka tentu saja. Aku tahu dari sikapmu, tatapan matamu, dan suaramu."Aku tak mampu menjawab, melainkan mulai mengingat-ingat apa saja yang pernah kulakukan atau kukatakan padanya. "Aku yakin sesu
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (31)PoV AYARAAneh, seperti dulu saat masih sekolah dan pertama kali menyukai seorang lelaki, aku semangat berangkat ke kantor. Jika dulu kala SMA aku dilanda demam sebab akan bertemu pujaan hati, kini, aku benar-benar diserang badai. Tentu saja, dulu, cintaku hanya cinta monyet, yang sekedar suka lalu dengan mudahnya lenyap ketika ada hal yang membuat kecewa. Tapi, cinta yang tumbuh kini adalah cinta orang dewasa. Cinta yang sebenarnya.Aku mematut setelan blazer hitam putih yang kupakai di depan cermin. Ini adalah warna favoritku. Dua warna yang tak lekang oleh waktu dan juga tak pernah ketinggalan zaman. Selalu pantas dipakai ke acara mana saja. Setelah memastikan pakaian itu melekat sempurna, kupasangkan juga jilbab segi empat berwarna hitam, yang membuat wajahku semakin cerah.Oh, apakah wajah cerah ini karena aku yang sedang berbunga-bunga? Apakah seharusnya aku memakai lipstik merah saja dari pada nude seperti ini? Apakah …Astaga. Berhenti Ayara!