Share

Ego Yang Terluka

"Hai Melody," sapa seorang pria.

Melody langsung menghentikan langkahnya, berbalik dan melihat siapa yang memanggilnya.

"Haidar?" Gumam Melody.

"Kamu kuliah di sini lagi?" tanya Haidar begitu jarak mereka sudah dekat.

"Iya," balas Melody.

Setelah semua persyaratan kuliah diurus oleh asisten suaminya, Melody tinggal masuk kuliah dengan nyaman dan tenang. Sepertinya menjadi orang kaya memang serba mudah, tinggal menyuruh orang melakukan pekerjaan dan terima beres.

"Ayo ngobrol di kantin. Banyak yang ingin aku bagi denganmu." Pria bernama Haidar itu mengajak Melody ke tempat yang lebih nyaman, dari pada berbicara sambil berdiri seperti sekarang.

Melody berpikir sejenak.

"Ayolah," bujuk Haidar lagi.

Wanita itu akhirnya tidak bisa menolak dan mengikuti keinginan Haidar. Mereka tidaklah terlalu dekat tapi memang cukup saling mengenal. Keduanya sama-sama penerima beasiswa jalur prestasi di Universitas tersebut, universitas milik keluarga Erlangga.

Dua gelas jus terhidang di meja, di mana Melody dah Haidar duduk berdua.

"Kamu gak mau makan?" tanya Haidar.

Melody menggeleng sambil tersenyum.

"Kamu direkrut di perusahaan mana? Kalau aku di Bank Diamond." Haidar bertanya sekaligus memberi tahu kalau dia bekerja di bank milik keluarga Erlangga.

"Bagian apa?" Bukannya menjawab pertanyaan Haidar, Melody malah balik bertanya.

"IT, sesuai jurusanku saat mengambil S1. Kamu pasti faham betul kan, kalau setelah lulus kita memang harus mendedikasikan hidup dan ilmu kita di cabang-cabang usaha milik Surya Corporate."

Surya Corporate adalah nama group bisnis tempat bernaung semua usaha milik keluarga Erlangga, mulai dari bank, industri makanan, juga universitas.

"Iya, dan kita harus mempertahankan performa saat di bangku kuliah. Jelek dikit langsung beasiswa dicabut. Makanya aku tidak punya waktu untuk bersenang-senang," balas Melody sambil tertawa.

"Sama," timpal Haidar.

"Dan aku malah kembali terjebak dengan kuliah serupa, aku melanjutkannya Strata dua juga karena diminta perusahaan," sambung Haidar.

"Oh iya?"

"He'em."

Melody terdiam, kira-kira jika dia lulus kuliah nanti apakah dia akan bisa juga bekerja di universitas ini. Menjadi dosen seperti cita-citanya.

"Lalu kamu di tempatkan di mana?" tanya Haidar masih penasaran.

"Aku masih di sini saja," balas Melody.

"Jadi kamu ngajar di sini, bukan kuliah?"

Haidar menduga seperti itu karena dia tahu, dulu Melody mengambil fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Dia mengambil jurusan matematika.

"Aku masih kuliah, mana ada S1 jadi dosen, makanya aku lanjut S2."

Haidar mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tangan yang sibuk mengaduk-aduk gelas berisi jus di depannya.

"Kapan kamu siap menikah?" tanya Haidar sambil menyesap jusnya untuk menetralisir detak jantungnya.

Hanya dengan melontarkan pertanyaan itu, jantungnya bertalu-talu seperti genderang perang.

Dia memang sudah tertarik pada Melody saat pertama kali bertemu sesi wawancara sebagai penerima beasiswa. Laki-laki itu juga tidak menyangka jika Melody bisa kuliah secepat dirinya, tiga setengah tahun saja.

Melody cukup terkejut dengan pertanyaan random lawan bicaranya. Dia memang tidak mengundang Haidar saat pernikahannya dengan Erlangga karena mereka memang tidak sedekat itu.

"Aku sudah menikah," jawab Melody apa adanya.

Haidar menghentikan sesapannya. Pria yang sedang asyik menikmati jus yang ada di depannya itu cukup terkejut dengan jawaban Melody, tidak menyangka wanita yang dikaguminya sudah menikah tanpa dia ketahui.

"Kapan?"

"Belum lama."

"Aku tidak pernah melihatmu berpacaran dengan siapapun, kenapa tau-tau sudah menikah."

"Ada seseorang yang ternyata diam-diam sudah menunggu kelulusanku, lalu langsung meminta diriku pada kedua orang tua. Mau gimana, aku tidak bisa menolaknya," terang Melody sambil tersenyum.

"Aku terlambat. Tau begitu, aku juga akan mendekati kedua orang tuamu." Haidar menghela nafas berat.

Perasaan Melody jadi tidak nyaman dekat dengan pria itu begitu mengetahui fakta kalau Haidar tenyata suka padanya.

"Kalau gak cocok sama dia, aku siap menampungmu," kelakar Haidar.

"Ish, bercandanya gak lucu," seru Melody.

"Maaf," balas Haidar sambil tertawa.

Mereka masih asyik berbincang dengan hangat, tanpa menyadari ada pria lain yang memperhatikan keduanya dengan geram.

Erlan, dia menyempatkan diri menjemput istrinya di tengah kesibukannya bekerja. Pria itu ingin menjalin hubungan yang baik dengan Melody, berusaha memberi sedikit ruang di hatinya demi Liliana seperti permintaan Melody kala itu. Namun apa yang dia lihat sekarang. Istrinya asyik bercanda dan tertawa dengan pria lain.

Tadi saat melihat Melody berjalan sendirian, Erlan ingin menyapanya tapi ternyata ada pria lain yang menyapa lebih dahulu. Penasaran dengan keduanya, dia mengikuti istrinya hingga ke kantin. Erlan hanya bisa melihat dari jarak yang sangat jauh karena tidak ingin menjadi pusat perhatian, meskipun tidak semua mahasiswa mengenalnya, tapi mahasiswa yang sudah lama kuliah di tempat itu pasti ada yang mengenalinya. Pria hanya bisa melihat senyum dan tawa dari wajah istrinya, tanpa tahu apa yang mereka bicarakan.

Erlan menyangkal jika rasa geram dalam hatinya ini karena cemburu, bukan karena itu. Sebagai lelaki dan juga pria yang berstatus suami Melody, tentu dia tidak suka melihat istrinya dekat dengan pria manapun. Egonya sebagi laki-laki matang tentu saja merasa terlukai.

Dengan kemarahan yang membakar dadanya, Erlan memilih pergi. Tertawa sinis pada kebodohannya sendiri, jauh-jauh datang ke tempat ini. Saat melewati tempat sampah, pria itu membuang begitu saja buket bunga yang ada dalam genggaman tangannya.

🍁 🍁 🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status