Suara sepeda motor terdengar dari arah luar. Aku mengintip dari tirai jendela, lalu menarik napas lega saat tahu siapa yang berada di luar sana.Matanya membesar, melihat sesuatu di diriku setelah pintu terbuka. Gurat keterkejutan tergambar jelas di wajahnya."Apa yang terjadi padamu?" Dia tampak begitu khawatir. Aku hanya bisa menatapnya dengan bibir bergetar dan pipi yang kini telah basah."Aku tanya, kau kenapa?" Setengah berteriak tangannya memegangi bagian leherku yang terluka dan berdarah.Aku menangis sesenggukan sambil menceritakan apa yang terjadi. Dia bergegas masuk sambil menyisir seisi ruangan. Lalu kembali beralih ke arahku. "Apa dia melakukan sesuatu yang buruk padamu?" Dia mengguncang bahuku. Aku menggeleng."Katakan!" Kini dia mulai berteriak. Aku kembali menggeleng dengan cepat. Pria itu hanya butuh uang. Tak tertarik sedikit pun menyentuhku."Bukankah sudah kukatakan jangan tinggal sendirian? Harusnya kau tinggal bersama adikmu. Kenapa kau tak pernah mendengarkanku?
"Ibuku yang menyediakan ini," ucapnya kembali, seolah menjelaskan pertanyaanku tadi."Ibumu pasti tahu kau suka berkelahi," sahutku. "Ish, aww. Sakit, Ren!" Aku langsung memekik begitu dia menekan lukaku dengan sengaja."Jangan sok tahu!" gerutunya. Aku meringis."Apa lukanya dalam? Bekasnya nanti hilang, tidak?""Kau tak perlu khawatir, sejelek apa pun hasilnya aku tetap menerimamu.""Hish, Ren!" Aku mendorong bahunya. Dia tertawa kecil, lalu mengolesi lukaku dengan salap."Kenapa bajingan itu bisa masuk ke kamarmu? Kenapa kau bisa begitu ceroboh membukakan pintu pada orang asing, ha?" Dia kembali menginterogasi usai menempel plaster tuk menutupi lukaku.Aku menceritakannya secara detil. Tentang bagaimana pria itu menunggu sebelum aku sempat masuk dan mengunci pintu. Lalu kulihat wajahnya kembali menegang, menahan emosi. "Kau ini bodoh, ya?" Dia kembali menggeram.Apa ada kata-kataku yang salah? "Sampai kapan kau akan menunggu si brengsek itu di sana, ha? Sudah kubilang pria itu t
Aku langsung melempar bantal ke arahnya. Dia tertawa kecil, sambil memungut benda empuk tadi dan mendekapnya ke dada."Kenapa kau suka sekali mengerjaiku, ha?" Aku bersungut."Ini kamarku. Terserah aku mau tidur di mana." Dia meletakkan kembali bantal itu, lalu merangkak naik menuju ke arahku. Mataku langsung membesar, kemudian berusaha menjauh.Belum lagi aku beringsut turun, tangan besarnya langsung menangkap pinggangku dari arah belakang."Mau kemana kau?" Dia menarik dan merapatkan tubuhku ke dadanya."Apa yang kau lakukan, Ren? Lepaskan aku!" Aku meronta, dan memukuli kedua tangannya yang kini melingkar di perutku."Kau sudah berani untuk ikut aku ke mari. Kau sudah tahu resikonya, kan?" Suaranya sengaja dibuat sehoror mungkin."Tapi kau sudah berjanji. Laki-laki itu yang dipegang janjinya, Ren. Kau itu laki-laki atau bukan?" Aku menggeliat, mencoba melepaskan satu persatu jemarinya."Oh, kau mau bukti kalau aku ini laki-laki?""Ren!" Aku memekik. Dia tertawa menang. "Sebentar s
Aku terbangun saat alarm ponsel menyala seperti biasa. Melirik ke bawah, saat kulihat Ren sudah tak ada. Selimut dan bantal juga telah tertata rapi di ujung ranjang. Dia selalu saja bangun pagi saat berada di rumahnya.Aku beringsut turun dan merapikan sprei tempat peraduanku semalam. Kemudian keluar, menuntaskan hasrat di kamar mandi. Ren masih tak nampak saat aku selesai. Aku mengambil tasku dari atas nakas, kemudian keluar untuk segera pulang."Kau mau kemana?" Aku berpapasan dengan Ren di lantai dua saat dia baru keluar dari kantornya."Pulang," sahutku cepat."Naiklah. Kau tak dengar ucapanku semalam?""Aku harus berganti pakaian, juga harus berjualan.""Adikmu akan membawakan keperluanmu. Tinggallah dulu selama beberapa hari.""Adit tahu aku di sini? Kau memberitahunya?" Ren mengangguk."Dia memarahimu?" Adit mungkin tidak akan senang, tahu kalau kakaknya tinggal serumah dengan pria asing."Dia malah berterima kasih padaku." Ren tersenyum bangga.Hish! Rupanya Adit telah memiha
Ren tampak menyeringai. Aku langsung merengut. Tahu kalau Ren mulai berani berbuat lebih, seperti malam tadi."Sarapan, Bos!" Terdengar suara seseorang mengetuk pintu dari luar. Ren tampak berdecih."Makananmu datang!" Aku langsung mendorong perutnya. "Mengganggu saja!" Dia mengumpat. Aku tertawa kecil, melihatnya berjalan menuju pintu dengan kesal."Kau selamat, pagi ini!" ucapnya, menyodorkan bungkusan makanan dan segelas panjang susu coklat padaku. Aku kembali tersenyum."Aku akan berterima kasih padanya. Ternyata si tato tidak semengerikan yang aku kira." "Beni!" ketusnya. "Hem?" Aku mengernyit."Namanya Beni. Jangan sembarangan memberi gelar pada orang."Mataku berkedip menatapnya. Apa selama ini dia juga merasa keberatan aku menyebutkan kata depan rentenir untuk memanggilnya?"Cukup aku saja," lanjutnya kemudian. Aku mengulum senyum. Sepertinya dia sudah terbiasa dan menyukai nama itu."Tetaplah di sini. Jangan coba-coba turun dan mencari perhatian para pelangganku." Dia ber
Aku tersentak saat suara itu tiba-tiba muncul. Spontan aku menurunkan kaki, saat Ren kini sudah berjalan mendekat ke arahku. Aku langsung bangkit dari singgasana kebesarannya."A-aku hanya duduk," jawabku gugup. "Aku sama sekali tak menyentuh apa pun."Matanya langsung memicing menatapku."Aku bosan seharian di kamar. Turun ke bawah pun tak kau perbolehkan. Aku baru saja masuk, tak berbuat apa-apa pada aset-asetmu."Dia tersenyum menyeringai. Semakin mendekat, hingga aku tersudut dan kembali terduduk."Ho, kau baru saja menikmati peranmu, Nyonya Ren?""Nyonya Ren?" Mataku mendelik. Lalu kembali mendorong tubuhnya. "Kau pikir aku mau jadi rentenir sepertimu?"Dia kembali menahanku agar tak melewati tubuhnya. Membuat aku kembali terkungkung, dengan kedua tangannya memegangi pegangan kursi."Apa yang salah dengan pekerjaanku? Aku hanya membantu orang." Dia menantang ucapanku."Membantu apanya? Kau malah membuat orang-orang seperti kami merasa terancam." Aku tak mau kalah."Itu karena aya
Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Ren pada orang itu. Tak bisakah dia bersikap tenang sedikit saja? Kenapa harus mengatakan hal-hal mengerikan mengenai nyawa seseorang. Memangnya sudah berapa banyak, orang yang sudah mati di tangannya?Aku masih saja gelisah, berdiri kesana-kemari menanti kepulangannya. Sesekali melihat ke bawah dari balik jendela, mungkin saja ada motornya yang sudah terparkir di sana. "Berikan saja nomornya!" teriakku saat menghubungi adikku."Tidak bisa, Kak. Laki-laki itu yang dipegang janjinya. Aku lebih baik mati dari pada harus mengkhianati Bang Ren." Lagi-lagi Adit berpihak padanya. Padahal aku sudah bilang ini keadaan darurat. Namun Adit tak percaya. Dia malah mengataiku mengarang cerita sembarangan. Karena menurut Ren, aku pasti akan terus-terusan meneror dan mengancamnya jika berhasil mendapatkan nomor rentenir itu.Ya, Tuhan....Ren benar-benar sudah mencuci otak adikku hingga menjadi bodoh seperti itu.Tunggu saja sampai masalah ini selesai. Akan ku
Aku bahkan tak tahu bagaimana keadaan Ren sekarang. Hatiku merasa cemas, melihat pakaian Beni penuh bercak darah. Dia terlihat baik-baik saja, hingga aku tak tahu darah siapa yang ada di sana."Sudah kubilang, Bos menginap di rumah orang tuanya. Dia akan marah jika aku membawamu ke sana.""Lalu apa dia tidak akan marah, begitu tahu bahwa kau ingin melecehkanku di saat dia tak ada?" Aku terus menggila."Aku tidak melakukannya!" Dia terdengar menggeram, dengan tangan yang terus mengepal."Kau pikir dia akan percaya?" Aku tak kalah geram mendengar banyak sekali alasannya.Dia terdiam, tak lagi menjawab. Seperti memikirkan semua ucapan dan segala ancamanku."Sekarang, Beni!" Aku berteriak kuat memerintahnya.Kulihat bahunya naik turun, seperti menarik napas dengan kuat. "Baiklah. Siapkan pakaiannya!" Dia menyerah. "Aku tunggu di bawah." Aku menarik napas lega, melihat dia berlalu menuju pintu. Kemudian langkahnya berhenti tanpa menoleh."Tolong ganti bajumu," ucapnya tegas. "Tutup kemba