Aku kembali menelan ludah mendengar ucapan Daryan. Sedikit merasa bersalah karena apa yang dia tuturkan memang benar adanya. Aku telah berpaling hati pada Ren, bahkan sejak saat aku masih menjadi kekasihnya.Namun apa yang bisa aku lakukan. Ren lebih banyak hadir dalam kesusahanku. Selalu datang di saat yang tepat saat aku membutuhkan. Tak kenal takut untuk membela, meski keselamatannya sendiri dia pertaruhkan."Maafkan aku, Daryan." Aku memberanikan diri berucap. "Maaf kalau hubungan kita harus berakhir seperti ini.""Berakhir?" Dia mengulangi ucapanku. "Kau benar-benar memilih orang itu ketimbang aku?"Dia seolah tak percaya."Kau lihat rumah ini? Ini terasa lebih nyaman ketimbang ruko kecil itu. Aku akan membawamu tinggal di sini. Aku bersedia mengorbankan ibuku demi bisa hidup bersamamu." Dia berucap penuh keyakinan."Apa maksudmu?" Dahiku mengernyit. "Ada apa dengan ibumu?""Kau tak tahu?" Matanya sayu memandangku. "Pria itu, orang yang kau sukai, memiliki rekaman CCTV saat ibuku
"Kenapa? Kau tak lagi menginginkan aku?" bisiknya."Lepaskan aku, Daryan. Kau jangan jadi seperti ini. Kita sudah putus." Aku memekik keras, sambil memukul dadanya. Masih berusaha melepaskan diri."Aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja. Siang malam aku berharap masih bisa memelukmu seperti ini." Dia masih berusaha memaksa.Aku menangis, tahu tak akan bisa lepas jika hanya melawan. Aku memohon agar dia mengurungkan niatnya."Bukankah biasanya kau menikmati setiap sentuhanku, May? Seberapa banyak pria itu melakukan hal yang sama padamu. Aku akan menghapusnya agar kau bisa melupakan semua itu." Dia menyeretku kembali menuju sofa. Melemparku hingga terpental dan hampir terlentang. Lalu menjatuhkan diri ke atasku."Jangan, Daryan!" pekikku, memohon.Wajah itu terus menghujaniku dengan ciuman. Aku meronta hingga bibir itu kini memasuki dan membenam di ceruk leherku. Aku berteriak kuat, hingga gerakannya terhenti saat memandangi sesuatu yang baru saja ditemukannya."Luka apa ini?" Dia men
Aku kembali pulang ke kamar kos sendirian. Setelah Daryan memesankan taksi online untuk kutumpangi. Tak mau lagi kembali diantar pulang meski dia menawarkan diri. Rasa takut masih membayangi. Saat teringat wajah beringasnya sedang berusaha menguasaiku.Aku terperanjat, saat Ren sudah duduk bersandar di tepi dinding, di atas kasurku. Matanya melirik tajam penuh selidik."Kau dari mana saja?" Suara khas itu membuat tenggorokanku merasa tercekat menjawabnya.Tak menyangka akan bertemu dia secepat ini. Aku bahkan belum sempat mengarang cerita untuk kujadikan sebagai alasan."A- aku... ke... rumah... Anyelir," sahutku begitu saja dengan terbata-bata. Tak tahu nama siapa lagi yang bisa kusebut."Anyelir?" Matanya menyipit, seperti tak percaya.Aku mengangguk. Lalu berpikir sejenak. Menit berikutnya aku refleks bercerita bahwa Anyelir tiba-tiba menghubungi karena sedang butuh teman. Kukatakan wanita itu sedang bertengkar dengan ibunya, lalu butuh seseorang untuk mendengarkan segala keluh ke
"Bukan denganmu, Ren. Kau tahu sendiri apa yang terjadi padaku. Aku merasa seperti seorang paranoid yang selalu dihantui oleh orang-orang yang berurusan dengan ayahku.""Termasuk aku?"Tidak, tidak. Dia pasti akan salah paham jika tak kujelaskan. Bukan dengannya aku merasa seperti itu. Justru dialah yang kini membuatku merasa aman. Sesungguhnya, aku benar-benar seorang penakut, dan juga cengeng. Hanya saja karena tak ada yang mampu melindungi, aku jadi bersikap seperti itu. Aku merasa sendirian, hingga harus berlaku kasar hanya agar bisa menyelamatkan diri sendiri.Aku tidak sekuat itu. Sikap kasarku selama ini hanya karena aku tak ingin terlihat lemah di matanya."Aku takut pada orang-orang seperti Jo.""Sekarang kau tidak perlu cemas," ucapnya meyakinkan. "Ada aku yang akan selalu membuatmu merasa aman. Aku akan pastikan, bajingan itu tak akan pernah lagi mengganggumu. Sampai kapan pun."*Hari berlalu sejak kejadian waktu itu. Perlahan bayangan Daryan memudar, kemudian pupus. Hub
Aku menepis jemari Daryan yang kini sedang mengusap bekas lukaku. Merangkak mundur karena tak ingin lagi tangan itu menyentuh bagian apa pun dari tubuhku."Menjauhlah!" geramku, dengan gigi merapat.Matanya memandang sayu melihat sikap kasarku. Begitu merasa bersalah melihat aku yang kini terlihat kacau dengan rambut yang acak-acakan dan pipi yang basah."Maaf," lirihnya, dengan suara parau.Aku mengusap wajah dengan punggung tangan. Mencoba mengeringkan sisa-sisa air mata yang belum juga berhenti mengalir."Kau pasti sangat ketakutan," ujarnya lagi. "Bagaimana hal itu bisa terjadi?""Kau masih peduli?" Aku semakin menggeram."Kapan aku pernah berhenti peduli padamu." Suaranya semakin lirih."Kau ingin tahu?" sinisku. "Baiklah. Agar kau sadar, kekayaanmu tidak ada apa-apanya untukku, dibanding apa yang telah Ren berikan padaku."Aku menceritakan semua yang ingin dia dengar. Tak ada satu pun yang tertinggal. Meski semua sudah terlambat. Aku tak mau tahu apa yang kini dia rasakan. Entah
Motor melaju membelah jalanan. Angin bertiup, menyapa wajahku yang kini bersandar di punggung Ren, dengan tangan yang begitu erat melingkari pinggang berototnya.Sesekali dia menyentuh dan menggenggam tanganku saat berhenti di lampu merah. Lalu sekejap menariknya ke atas untuk dia kecup. Senyumku terukir, merasakan sikapnya yang begitu manis memperlakukanku. Hanya saja, dada ini masih tetap bergemuruh, merasakan ketakutan tentang rasa curiga ini."Masuklah!" Ren mengantarku hingga ke depan pintu. "Atau kau ingin aku bermalam bersamamu?" Ren menggoda dengan mengangkat kedua alisnya.Aku tersenyum malu, menatap wajah tampan itu, yang selalu setia mendampingiku."Ren?""Hem?""Masuklah.""Kau mulai memancingku lagi, ha?" Dia melakukannya lagi, meremas rahangku dan menggoyang-goyangkannya karena gemas."Tunggu aku berkemas. Aku ingin tinggal di tempatmu sementara waktu. Boleh?"Ren terdiam. Merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam ucapanku."Ada apa? Kau masih merasa takut?" Ren menatap
Ingin sekali rasanya menepiskan pikiran itu jauh-jauh. Berharap aku salah, dan bukan Daryan yang melakukannya. Aku pernah mengenal dia. Baginya, lebih baik pergi dan menghindar ketimbang marah dan berbuat kasar pada orang lain.Tapi seperti itulah. Sejak dia mulai bekerja, sikapnya kian berubah. Cenderung emosional, dan juga kasar. Belum lagi sikap memaksanya waktu itu. Sangat berbeda dengan Daryan yang pertama kali aku kenal.Aku benar-benar berharap bukan dia pelakunya. Aku pun tak mau dia mengalami masalah besar karena aku. Namun rasa takut di hati tak dapat kubohongi. Sulit bagiku untuk memberi tahukannya pada Ren. Dia pasti tidak akan terima kalau Daryan masih berusaha menemuiku. Mengetahui sifat dan perangainya, malah semakin membuatku takut. Ren tidak akan mungkin tinggal diam. Bagaimanapun caranya, dia pasti akan mencari Daryan sampai dapat.Sebagai orang yang menyayanginya, aku tidak mau hal itu terjadi. Andai memang Daryan yang membunuh Jo, mendatangi Daryan adalah hal berb
Mendadak aku teringat pembicaraan di kamar kos hari itu. Ren memang nampak meyakinkan, bahwa Jo tidak akan mungkin lagi menggangguku sampai kapan pun. Apa ini yang dia maksud?Mendadak pikiranku kembali bimbang. Sikap aneh Ren tiap kali aku mengungkit soal pelaku membuatnya merasa gugup dan juga cemas. Tak jarang dia juga mengalihkan pembicaraan agar aku tak lagi membahas masalah itu.Dengan tungkai kaki yang kembali gemetar, aku memaksakan diri melangkah. Kembali menapaki anak tangga menuju kamar.Aku terduduk lemas di sisi ranjang, dengan dada yang kian sesak. Firasat buruk apa lagi ini?Apakah benar Ren yang ikut terlibat dalam pembunuhan sadis itu?Lalu Daryan?Aku tersentak saat mendengar dering ponsel dari saku celana. Kulihat panggilan seluler tanpa nama, hingga aku tak bisa melihat foto profilnya.Aku berjalan menuju ke arah jendela. Membukanya dengan lebar untuk meraup udara sebanyak-banyaknya. Lalu dengan ragu mengangkat panggilan itu."Maya?" Suara itu sangat tidak asing bu