“Tuan ini indah sekali,” ucap Zahra dengan mata yang berbinar.Kini posisi mereka sudah berada di samping danau. Ukurannya sangat luas akan tetapi airnya sangat jernih. Beberapa tanaman bunga berwarna-warni tampak menghiasi pinggir-pinggir danau. Ada juga kursi panjang yang disediakan pengurus untuk digunakan oleh para pengunjung duduk dan beristirahat. Sungguh tempat itu menjadi tempat wisata yang sangat indah.“Kamu tahu jika salju turun, air di danau ini akan membeku,” ucap Tama. Dia memeluk tubuh Zahra dari samping, sedikit menariknya agar bisa saling menempel.“Benarkah itu Tuan?” tanya Zahra. Wajahnya mendongak menatap sang suami. Tama menoleh.“Iya. Apa kamu tidak percaya?”“Bukan begitu Tuan. Saya percaya. Saya hanya belum pernah melihat saja danau yang membeku karena salju. Apa nanti kita bisa datang lagi kesini?” ucap Zahra penuh harap.“Tidak,” jawab Tama tegas.“Tapi kenapa?” rajuk gadis itu.“Belum turun salju saja kamu sudah kedinginan seperti ini. Apalagi jika salju su
“Kak Satria?” Zahra melonjak kaget mendengar mantan kekasih yang hampir saja mencelakainya itu, merupakan salah satu yang terlibat dalam kasus penganiayaan Tasya.“Tapi… bagaimana bisa?” tanya Zahra lagi.“Kenapa harus tidak bisa? Salah satu dari mereka adalah temannya Sonia dan laki-laki itu juga berteman dengan Satria. Data ini sudah aku dapatkan lengkap. Dan ketika aku melihatmu malam itu bersama dengan Satria, membuatku semakin yakin jika kalian memang terlibat dalam kasus kematian Tasya,” jelas Tama. Zahra kembali diam.“Memangnya apa yang kamu harapkan? Aku dengan sukarela membunuh seseorang hanya untuk menolong seorang gadis yang tidak aku kenal? Kamu benar-benar tidak waras. Aku tidak seloyal itu kepada orang yang tidak ada hubungan keluarga apapun denganku,” ucap Tama lagi.“Hmm, ternyata anda memang memiliki tujuan khusus. Sekarang semuanya sudah mulai terlihat jelas. Kenapa anda membunuh Kak Satria, kenapa anda dengan begitu saja menerima saya sebagai alat pelunas hutang d
Perlahan Tama mendorong tubuh Zahra yang masih dalam pelukannya itu untuk berbaring. Sehingga posisinya kini ada di atas sang istri. Satu tangannya menarik selimut yang ada di kakinya lalu menutupi kedua tubuh tanpa busana atas itu dengan kain tebal tersebut.Wajah Zahra tenggelam dalam dada bidang Tama. Pelukan erat dari sang suami menghangatkan suhu tubuhnya dengan cepat. Karena takut tak bisa bernafas, Tama kemudian memiringkan posisinya. Dan kini mereka tidur saling berpelukan berdampingan.“Tidurlah!” titah laki-laki itu.“Tapi…”“Aku berjanji tidak akan melakukan hal lebih. Percayalah. Aku pun belum siap untuk melakukan hal itu denganmu. Aku hanya tidak ingin melihatmu menggigil kedinginan sepanjang malam saja. Jadi tidurlah!” ucap laki-laki itu.Mendengar ucapan dari sang suami, sedikit membuat hati Zahra lega. Rasa khawatir dan juga gelisah yang sejak tadi mengganggu dirinya, kini berubah menjadi rasa tenang dan juga nyaman. Gadis itu pun mulai menutup matanya perlahan. Rasa
Zahra yang sedang duduk di atas sofa sambil memainkan ponselnya langsung berdiri karena kaget dengan teriakan dari sang suami. Gadis itu melihat mata Tama yang membulat sempurna dan mata yang memerah. Setelah sekian lama akhirnya Zahra bisa melihat kembali wajah penuh amarah dari laki-laki itu. Di dalam hatinya gadis itu terus bertanya apa yang sudah terjadi?“Bagaimana bisa seperti itu?” teriak Tama. Salah satu tangannya mengepal dengan kuat.Zahra terus memandang sang suami dari tempatnya berdiri. Dia tidak berani mendekati laki-laki itu. Gadis itu selalu saja merasa ketakutan dengan amarah Tama. Apalagi semenjak laki-laki itu sempat mencekiknya dengan kuat dan membuatnya hampir kehilangan nyawa, Zahra menjadi trauma. “Baik, kami akan pulang hari ini juga,” ucap Tama. Dia langsung menutup ponselnya dan dengan sekuat tenaga laki-laki itu melempar benda pipihnya ke sembarang arah. Zahra sampai menutup mata dan juga telinga melihat apa yang dilakukan oleh Tama. Untungnya ponsel itu j
“Za-Zahra… hat-hati… hati… Rey…”Ucapan dari sang Ibu mertua terputus bersamaan dengan bunyi nada datar dari mesin pendeteksi jantung. Zahra seketika memundurkan wajahnya dan melihat Ibu Naya sudah menutup matanya dengan lemah.“Ibu… ibu…” panggil gadis itu panik.Zahra mengangkat salah satu tangan dari Ibu Naya dan menggenggamnya. Suhu tubuh yang sangat dingin dapat gadis itu rasakan dengan jelas. Air mata semakin deras keluar. Tubuh gadis itu bergetar dan dia sangat takut jika sampai dirinya harus kehilangan satu-satunya wanita yang sangat baik kepadanya itu.Zahra berlari keluar ruangan sambil berteriak memanggil dokter. Tama yang melihat kepanikan dari sang istri, semakin gelisah. Beberapa dokter dan suster dengan cepat masuk ke dalam ruang ICU itu lalu menutup pintu tersebut rapat.“Zahra… zahra apa yang terjadi di dalam? Bagaimana keadaan Ibu?” tanya Tama panik. Dia bahkan sampai menggoyang-goyangkan tubuh sang istri.Belum sempat gadis itu menjawab, dokter keluarga yang menanga
Zahra semakin tak bisa berucap saat dia kembali merasakan aura intimidasi dari sorot mata tajam Tama. Gadis itu bahkan merasa kesulitan menelan salivanya sendiri. Di dalam hatinya kini merasakan sebuah dilema antara ingin jujur tapi takut.“I… ibu…” Zahra masih tergagap. Kalimat di depannya seolah buntu. Tama masih menunggu. Dia tidak sadar jika tatapan tajam bak elang miliknya selalu memberikan tekanan yang luar biasa pada sang istri.“Apa kamu tidak bisa berkata lain selain Ibu?” tanya Tama tegas.“Tuan, jika saya mengatakan yang sebenarnya tentang kalimat terakhir Ibu Naya, apa Tuan akan percaya kepadaku?” tanya Zahra lirih. Dia hanya ingin memastikan jika langkah yang akan dia ambil tidak salah.“Katakanlah! Dan lihat saja nanti,” jawab laki-laki itu.Zahra semakin bingung dengan jawaban dari sang suami. Gadis itu menutup matanya dan menarik nafas dalam. Dia memang harus mengambil keputusan. Bagaimanapun juga dia harus mengatakan yang sebenarnya. Terserah laki-laki itu mau percaya
“Tuan,” ucap Nufa menginterupsi. Pandangan mata Tama dan juga Zahra seketika menoleh ke arah sumber suara. Wanita paruh baya itu memang berucap akan tetapi dengan pandangan yang masih menunduk. Sama seperti para pelayan lainnya.“Jelaskan Nufa!” titah Tama.Dengan sedikit bergetar, Nufa pun mulai menceritakan semuanya. Dia berkata jika malam itu Ibu Naya sudah selesai makan dan beliau bilang ingin pergi ke kamar untuk beristirahat. Sang kepala pelayan itu pun membantu Ibu Naya masuk ke dalam kamarnya. Dia juga membantu sang majikan untuk berpindah ke tempat tidur lalu menutupnya dengan selimut saat wanita tua itu sudah berbaring.Nufa sempat menunggu di dalam kamar beberapa saat sampai Ibu Naya tertidur. Setelah dia memastikan jika ibu dari Tama itu sudah terlelap, Nufa pun pergi ke luar dari kamar tersebut.Akan tetapi setelah beberapa saat kemudian, Nufa mendengar suara gelas pecah dari arah kamar sang nyonya besar. Dengan cepat wanita paruh baya itu berlari untuk memastikan Ibu Na
“Saya ingin bertanya berapa lama Mbak Nufa bekerja di keluarga Kalingga?” tanya Zahra.“Maksud Nyonya?” ucap Nufa tidak mengerti.“Iya, saya hanya ingin tahu saja. Apa Mbak bekerja dengan keluarga ini sangat lama mangkanya bisa menjadi kepala pelayan di rumah ini,” jelas Zahra. Tangannya mengangkat sebuah gelas berisi susu hangat yang sudah disediakan oleh Nufa.“Saya bekerja di keluarga ini sudah sangat lama, Nyonya. Saya malah sudah bekerja disini dari sejak kakek dari tuan Tama masih hidup dan Nyonya Naya belum menikah,” jawab wanita paruh baya itu. “Waw, sudah lama sekali dong. Mbak Nufa ini memang paling hebat karena kebal dengan galaknya Tuan Tama,” ucap Zahra tersenyum sambil mengedipkan ujung matanya. Nufa ikut tersenyum.Zahra memegang tangan kepala pelayan itu lalu menyuruhnya untuk duduk di kursi di sampingnya. Awalnya Nufa tidak mau karena menurutnya itu tidak sopan. Tapi karena gadis itu memaksa akhirnya wanita paruh baya itu pun mengikuti apa permintaan Zahra.“Ada apa