‘Tok ... tok ... tok!’“Nduk, habis ini ke dokter, ya?” tanya Bu Teti dengan nada cemas.Ustaz Hamdan terlihat tak henti-henti bertasbih. Doa terbaik ia panjatkan untuk wanita terkasih. Tak lama kemudian, pintu toilet terbuka dan Dinda keluar dengan wajah pucat pasi lalu roboh tepat di hadapan sang suami.“Astaghfirullah hal adzim! Sayang ...,”ucap Ustaz Hamdan dengan sigap memeluk tubuh lunglai Dinda.Akhirnya tubuh wanita muda ini dibopong oleh sang ustaz menuju kamar yang tak jauh dari toilet. Sementara itu, Bu Teti mengikuti mereka lalu segera mengambil kayu putih yang selalu ia bawa dalam tas.“Kepalaku pusing,” ucap Dinda sesaat setelah hidung dan lehernya dibaluri kayu putih oleh sang ibu.“Jamila, kita ke dokter, ya?” tanya Ustaz Hamdan lembut sembari memegang dahi sang istri.Sementara Bu Teti memijat kaki Dinda dengan kayu putih biar hangat.“Nduk, buruan pergi ke dokter. Ibu ambilin jaket kamu,” kata wanita setengah baya ini seraya bangkit lalu beranjak keluar kamar.Sepeni
“Mana mungkin aku sebiadab itu? Dia anak kandungku. Tak masuk akal”Pak Wardoyo selalu saja menyanggah semua pernyataan tim medis dan penyelidik.“Semua sudah terbukti dengan medis dan olahTKP. Bapak tak mungkin bisa mengelak dari semua bukti-bukti tersebut,” ungkap tim medis yang sedang menangani kasusnya.Ia tak pernah menyangka, bagaimana mungkin kesadarannya bisa hilang, saat hal itu menjjijikkan dalam hidupnya terjadi. Ia yang tak pernah minum beralkohol sebelumnya dan secara mengejutkan mendapati dirinya mabuk dalam mobil sesaat setelah insiden.“Apa aku telah gila? Kesadaranku bisa hilang tiba-tiba. Aku tak mampu mengendalikan tubuh sendiri. Aku perlu psikiater! Benar-benar bedebah! Apa yang terjadi denganku?” ungkap pria ini kepada pengacara yang mendampinginya.Pria berumur 50 tahunan ini benar-benar terpuruk menerima kenyataan barusan. Hal tersulit yang harus ia hadapi sepanjang hidupnya. Ia telah mencari sang putri selama bertahun-tahun dan bertekat akan membahagiakannya sa
“Selesai kasus ini, kita honeymoon,” ucap Ustaz Hamdan sembari mencium pipi Dinda.Namun, ternyata ada yang salah dengan laju kendaraan beroda empat tersebut. Pasutri ini merasakan keganjilan. Jalan yang dilalui mobil ini tampak semakin redup. Mobil yang mereka tumpangi seperti melewati sebuah terowongan panjang.“Allahu Akbar! Perbanyak zikir, Jamila,” pinta Ustaz Hamdan sembari memegang tangan sang istri.“Emang ada apa?” tanya Dinda yang terkejut lalu seketika mengarahkan pandangan keluar melalui kaca depan.Tampak kabut tebal menghadang perjalanan mereka. Kendaraan roda empat terhenti tiba-tiba. Ustaz Hamdan melafazkan doa, sementara Dinda mengamati sopir yang geming di belakang kemudi.“Pak, kenapa berhenti?” tanya Dinda sembari melihat sopir dari kaca spion di atas dashboard.Pria di belakang kemudi tak bersuara, tetapi dari mulutnya terdengar zikir. Dinda mengamati tanpa berkedip. Ustaz Hamdan yang telah usai berdoa lalu menoleh ke arah sang istri.“Jamila!” panggil sang ustaz
“Abi kok kenal?”Ustaz Hamdan hanya tersenyum ke arah Dinda. Sang istri yang semakin tak sabaran, segera melotot ke arah suaminya.“Sebenarnya, sopir taksi barusan adalah bapaknya Mustafa,”ucap Ustaz Hamdan jeda sebentar sembari meminum kopi.“Bapaknya Mustafa? Sengaja ngintili kita?” tanya Dinda dengan sedikit emosi.Wanita ini merasa ada niat tak baik dari jin tua tersebut. Selama ini Mustafa selalu mengganggunya dan sang bapak muncul kedua kalinya untukmencari kesempatan.Mustafa dikurung demi menepati janji lalu sekarang muncul untuk mendekati mereka sengaja cari kelengahan suaminya.“Memang ngikuti kita karena dia tau kalo Mustafa tak mungkin akan menyerah begitu aja buat membiarkan kita bahagia. Dia tau betul watak Mustafa,” jawab Ustaz Hamdan.“Alhamdulillah. Jadi kabut gelap yang kulihat itu kerjaan Mustafa?” tanya Dinda dengan tersenyum penuh arti. “Iya. Sengaja biar mobil taksi terjebak dalam dunia mereka dan Mustafa tak tau bahwa sopir taksi itu bapaknya.”“Anehnya, kok bi
“Benar-benar pria yang selama ini aku dambakan. Aku harus bisa mendapatkannya.”Sepasang mata dengan bulu mata lentik mengintip dari balikjendela dengan senyum genit. Kedua bibir seksinya dikulum setiap kali melihat dada berbulu lebat turun sang pria turun naik mengambil napas.“Selamat siang, Suster. Maaf, pasien hanya menginginkan perawatan oleh nakes pria saja,” tegur seorang petugas jaga di depan ruang perawatan.“Kok bisa gitu? Kebetulan ruangan ini giliran saya untuk melakukan pemeriksaan,” jelas suster dengan nada bicara setengah berteriak.“Pasien dalam pengawasan psikiater dan demi kestabilan emosinya,” jelas pria berseragam cokelat ini.“Yaudah kalo gitu. Saya periksa pasien lain. Permisi.”“Silakan, Suster. Selamat siang,” balas sang petugas yang ditanggapi oleh suster tersebut dengan ekspresi tak mengenakkan.Wanita berseragam putih tersebut melangkah ke kantin rumah sakit lalu bertemu seorang pria. Mereka berbincang serius, sampai akhirnya ada seorang suster menghampiri w
Sementara itu, tak jauh dari kantin ada sepasang mata berbulu lentik sedang mengawasi mereka dengan senyum sinis.“Ganteng juga dokter muda itu. Astuti, kamu harus fokus ke Pak Wardoyo. Setelah misi berhasil, terserah kamu,” ucap lirih sosok berbaju putih berbulu mata lentik sembari menutup kedua mata dengan telapak tangan.Sempat terjadi pergulatan, antara hati dengan tubuh. Secara di dalam tubuh Suster Astuti berdiam roh lain. Kaki bersepatu pantofel memaksa pergi ke arah ruang perawatan Pak Wardoyo. Sesampai di ruang perawatan, Suster Astuti mendekati salah satu petugas.“Selamat siang, Pak. Maaf, pasien sudah ditemani psikiater?”“Selamat siang, Sus. Psikiater belum ada. Pengacara pasien punya rekomen sendiri.”“Yaudah kalo, gitu. Saya hanya merasa kasian dengan kasus yang dialami pasien. Permisi, Pak.”“Silakan, Sus.”Setelah Suster Astuti melangkah pergi, kedua petugas saling melempar senyum. Mereka sudah dapat info mengenai wanita tersebut dari suster yang lain. Dari arah berla
Tubuh Mustafa terkulai lemas dan hanya tetesan air matamenyembul dari kedua pelupuk mata merahnya.“Bapak, bunuh aku saja!” teriaknya terdengar putus asa.Baru kali ini jin ini merasakan patah hati karena memang baru dengan Dinda—wanita bangsa manusia—yang mampu membuatnya mabuk kepayang.Sesaat setelah mandi dan berpakaian rapi, pasangan pengantin baru bergantian ambil wudu lalu segera berangkat ke masjid untuk salat berjamaah. Kedua insan berjalan beriringan sembari melempar senyum. Ada sepasang mata berbulu lentik sedang mengawasi gerak-gerik mereka.“Tuan, bisa mendengarku?” tanya di mata berbulu lentik yang tak lain adalah Suster Astutik.Wanita ini masih menunggu jawaban dari Mustafa sembari berdiri dari balik pohon mangga yang terletak di pertengahan antara rumah utama dengan masjid.“Tuan Mustafa? Saya harus gimana?”Pertanyaan lewat telepati ini akhirnya dapat balasan dari pangeran jin.“Kamu ke sini ada yang tau gak?” tanya Mustafa dari dalam botol sembari berusaha menajamka
Pak Wardoyo yang emosi, akhirnya napasnya menjadi tersengal-sengal. Suster Astutik tak menghiraukannya. Tampak alat bantu pernapasan sang pria tak stabil, tanda kondisi tubuhnya dalam keadaan darurat. Tangan Pak Wardoyo menggapai tombol darurat. Sedangkan Wanita berseragam putih ini, segera berlalu keluar ruangan dengan sikap tak bersalah.“Ampuh juga teh racikanku. Saatnya memberitahu Tuan Mustafa dan menagih hadiah,” ucap lirih wanita ini sembari berlalu meninggalkan dua petugas jaga yang tertidur pulas di depan pintu ruang perawatan.Hanya beberapa menit saja setelah kepergian sang suster, datang beberapa langkah kaki berlari ke arah ruang perawatan. Mereka yang datang terdiri dari seorang koas dan tiga suster merasa keheranan dengan keadaan para penjaga.Salah satu dari mereka mengoleskan cairan aroma terapi di ujung hidung kedua petugas jaga. Tak lama kemudian, para petugas terbangun dan tentu saja mereka terkejut dengan kondisi mereka yang tertidur. Dari dalam ruang perawatan te