Udara malam yang dingin menusuk kulit Danu saat dia melangkah keluar dari rumah sederhana Pak Tarman, pikirannya bergolak karena rahasia gelap desa yang baru saja diungkap. Beban yang dia tanggung terasa berat, tetapi tekadnya untuk mengungkap kebenaran dan membantu penduduk Desa Tumbal semakin kuat.
Ketika dia berjalan melalui jalan-jalan yang gelap, Danu tidak bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman bahwa para penduduk desa mengawasinya dari balik bayangan, dengan tatapan yang penuh ketakutan dan ketidakpercayaan. Kesunyian yang mengisi udara hanya meningkatkan indranya, dan dia berjalan dengan kewaspadaan tinggi, matanya terus mengamati sekeliling.
Langkah Danu membawanya ke alun-alun desa, di mana cahaya lampu-lampu lentera memancarkan cahaya hangat yang berkerlip di bangunan-bangunan yang sudah tua. Dia berhenti, pandangannya tertuju pada seorang wanita muda yang berdiri di pinggir, matanya tertuju pada garis pohon di kejauhan. Ada ekspresi yang terpancar dari wajahnya, campuran antara ketakutan dan tekad, yang membuat Danu penasaran.
Mengumpulkan keberaniannya, dia mendekati wanita itu, suaranya memecah keheningan. "Permisi, mbak. Saya Danu, seorang jurnalis yang sedang menyelidiki hilangnya beberapa penduduk di desa Anda. Apakah Anda bisa membantu saya?"
Wanita muda itu berbalik menghadapnya, dan Danu terkejut oleh intensitas tatapannya. Matanya yang gelap dan tajam seolah menembus jiwanya, dan dia tidak bisa menahan rasa empati melihat kesedihan yang ada di sana.
"Saya Sari," jawabnya, suaranya lembut namun tegas. "Saya tahu kenapa kamu di sini, Danu, dan saya bersedia membantu, jika saya bisa."
Danu merasakan kelegaan saat mendengar kesediaannya untuk membantu, tetapi dia juga bisa merasakan beban pribadi Sari dalam masalah ini. "Saya sangat berterima kasih atas bantuanmu, Sari. Saya masih mencoba memahami apa yang Pak Tarman katakan tentang perjanjian desa dengan roh hutan. Ini semua sangat berat untuk dipahami."
Sari mengangguk, ekspresinya menggelap. "Ya, ini beban berat yang harus dipikul oleh masyarakat kami selama berabad-abad. Hilangnya penduduk saat bulan purnama... itu adalah bagian dari ritual untuk menenangkan tuntutan roh."
Danu merasakan dingin merayap di punggungnya, kenyataan dari situasi itu mulai meresap. "Dan saudaramu sendiri," dia mulai, suaranya rendah dan penuh simpati, "mereka diambil sebagai korban, bukan?"
Mata Sari berkilauan dengan air mata yang tertahan, tetapi tatapannya tetap tegar. "Ya, mereka diambil. Saya... Saya sudah mencoba mencari cara untuk memutus kutukan ini sejak saat itu, untuk mengakhiri tragedi yang tidak masuk akal ini. Itulah sebabnya saya bersedia membantu kamu, Danu. Jika ada peluang untuk mengungkap kebenaran dan menemukan cara untuk membebaskan desa kami dari beban ini, saya harus mencobanya."
Danu meraih, menaruh tangan yang menghibur di bahunya. "Saya turut berduka cita atas kehilanganmu, Sari. Saya tidak bisa membayangkan rasa sakit yang kamu alami. Tapi saya berjanji, saya akan melakukan segala daya saya untuk membantu kamu dan penduduk Desa Tumbal."
Sari memberikan senyum kecil yang penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Danu. Saya tahu jalan di depan akan sulit, tetapi saya siap menghadapinya, apapun yang terjadi."
Mereka berdiri dalam diam sejenak, beban tujuan bersama mereka menggantung di udara di antara mereka. Danu bisa merasakan ketegangan dan ketidaknyamanan yang menyelimuti desa, dan dia tahu bahwa waktu sangat penting jika mereka ingin mengungkap kebenaran sebelum lebih banyak nyawa hilang.
"Sari," katanya, memecah keheningan, "apakah ada orang lain di desa yang mungkin bisa membantu kita? Seseorang yang tahu tentang sejarah dan tradisi desa ini?"
Kening Sari berkerut memikirkan hal itu. "Ada satu orang yang mungkin bisa memberikan lebih banyak wawasan – ibu saya, Bu Lestari. Dia dikenal karena kebijaksanaannya dan pemahamannya yang mendalam tentang adat istiadat dan kepercayaan desa kami."
Danu mengangguk, harapan muncul di dalam dirinya. "Kalau begitu, mari kita mulai dari sana. Tunjukkan jalan, Sari. Saya siap mempelajari apapun yang bisa diceritakan oleh ibumu."
Sari berbalik dan mulai berjalan, langkahnya mantap dan penuh tujuan. Danu mengikuti dari dekat, matanya terus mengamati bayangan saat mereka berjalan melalui jalan-jalan yang berliku. Semakin jauh mereka dari alun-alun desa, semakin besar rasa tidak nyaman yang dirasakannya, dan Danu tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka sedang diawasi.
Saat mereka mendekati sebuah rumah sederhana yang terawat baik, Sari berhenti, tangannya menyentuh pintu kayu. "Ini rumah ibu saya. Bersiaplah, Danu – kebenaran yang akan diungkapkan mungkin lebih dari yang bisa kita tanggung."
Danu menarik napas dalam-dalam, menenangkan sarafnya. "Saya siap, Sari. Mari kita temukan jawaban yang kita butuhkan."
Sari mengangguk dan mendorong pintu terbuka, melangkah masuk. Danu mengikuti dari dekat, indranya semakin tajam saat dia menghirup aroma tanah yang hangat dan melihat cahaya lembut dari lampu minyak yang menerangi perabotan sederhana namun elegan.
Suara lembut dan merdu terdengar dari belakang rumah, dan Danu melihat seorang wanita tua muncul, wajahnya yang ramah dihiasi dengan kerudung berwarna cerah.
"Sari, anakku," katanya, memeluk putrinya dengan hangat. "Saya sudah merasa kamu akan datang menemui saya malam ini."
Sari membalas pelukan itu, matanya bersinar dengan campuran kelegaan dan kecemasan. "Ibu, ini Danu, jurnalis yang saya ceritakan. Dia datang untuk menyelidiki hilangnya penduduk, dan saya pikir... saya pikir ibu mungkin bisa membantu kami."
Pandangan Bu Lestari beralih ke Danu, ekspresinya tidak bisa dibaca. "Jadi, kamulah yang telah mengusik sarang lebah, ya?" Dia berhenti, matanya menyipit sedikit. "Baiklah, mari masuk, kalian berdua. Duduk, dan saya akan menceritakan apa yang saya ketahui."
Danu dan Sari mengikuti wanita tua itu ke area duduk yang nyaman, di mana mereka duduk di atas bantal yang empuk. Bu Lestari duduk di seberang mereka, tangannya terlipat di pangkuannya.
"Anak-anakku," dia memulai, suaranya rendah dan serius, "cerita yang akan saya bagikan kepada kalian adalah cerita yang telah diwariskan turun-temurun di desa kami. Ini adalah kisah tentang perjanjian kuno yang dibuat oleh leluhur kami untuk memastikan perlindungan dan kesejahteraan Desa Tumbal, tetapi ini juga merupakan kutukan yang telah menghantui kami sejak saat itu."
Danu bersandar ke depan, penanya siap di atas buku catatannya, jantungnya berdetak kencang dengan campuran rasa takut dan antisipasi. "Tolong, Bu Lestari, ceritakan semua yang ibu ketahui."
Wanita tua itu menatapnya dengan ekspresi penuh rasa hormat. "Baiklah, Danu. Bersiaplah, karena kebenaran yang kamu cari mungkin lebih dari yang kamu perkirakan."
Wajah Bu Lestari yang keriput penuh dengan kesedihan mendalam saat dia bertemu pandangan penuh harap dari Danu dan Sari. Cahaya lampu minyak yang berkelap-kelip menciptakan bayangan lembut di seluruh ruangan, semakin menambah kesan berat yang menyelimuti suasana."Banyak generasi yang lalu," Bu Lestari mulai, suaranya rendah dan terukur, "leluhur kita membuat keputusan yang menentukan dan sejak saat itu menghantui orang-orang di Desa Tumbal. Mereka membuat perjanjian dengan roh hutan yang kuat dan pendendam, yang menuntut harga yang mengerikan untuk melindungi dan memakmurkan desa kita."Danu menggenggam penanya erat-erat, buku jarinya memutih. "Perjanjian dengan roh hutan? Apa sebenarnya isi perjanjian itu?"Bu Lestari menghela napas berat, matanya menerawang jauh. "Roh itu, yang marah karena leluhur kita telah masuk ke wilayah sakralnya, membuat tuntutan yang mengerikan. Sebagai gantinya untuk menjaga desa kita tetap aman dan lestari, roh itu meminta pengorbanan rutin – nyawa manusi
Hutan lebat dan menakutkan yang mengelilingi Desa Tumbal tampak menjulang di depan Danu, Sari, dan Ujang saat mereka menyusuri jalan berliku. Kanopi pohon-pohon tinggi menghalangi sinar matahari, membuat hutan tampak remang-remang seperti senja, yang membuat bulu kuduk Danu meremang.Sari memimpin jalan dengan langkah pasti dan penuh tujuan, seolah-olah dia telah berkali-kali melewati jalur ini. Ujang, teman masa kecilnya, mengikuti di belakangnya, matanya terus-menerus mengawasi bayangan mencari tanda bahaya.Danu, dengan buku catatannya yang tersimpan rapi di jaketnya, berusaha mengingat setiap detail dari lingkungan mereka. Udara terasa tebal dengan aroma tanah lembap dan bisikan-bisikan mengerikan dari pepohonan, seolah-olah hutan itu sendiri hidup dan mengawasi setiap gerakan mereka."Kamu yakin ini jalannya, Sari?" tanya Danu, suaranya hampir berbisik, seolah berbicara terlalu keras bisa menarik perhatian makhluk tak terlihat.Sari menoleh ke belakang, ekspresinya penuh keyakina
Danu, Sari, dan Ujang keluar dari hutan lebat, pakaian mereka robek dan wajah mereka kotor penuh dengan tanah. Berat dari teks kuno yang mereka temukan di kuil terlarang terasa menekan pundak mereka, menjadi bukti betapa mengerikannya penemuan mereka.Ketika mereka melangkah ke jalan-jalan Desa Tumbal yang familiar, ketiganya merasakan perubahan suasana. Penduduk desa yang biasanya tenang dan pendiam tampak lebih gelisah, gerakan mereka sembunyi-sembunyi dan pandangan mereka menghindar. Danu merasa tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka sedang diawasi, seolah-olah dinding desa itu sendiri berkonspirasi melawan mereka.Sari memimpin jalan, langkahnya penuh tekad dan ekspresinya mantap. Danu dan Ujang mengikuti dengan cermat, indra mereka semakin tajam, siap untuk menghadapi konfrontasi yang tak terelakkan.Mereka menuju rumah sederhana Pak Tarman, kepala desa, dan Sari berhenti di depan pintu, tangannya menyentuh kayu yang sudah lapuk. "Kalian berdua siap?" tanyanya, suaranya r
Dalam beberapa hari berikutnya, suasana Desa Tumbal yang biasanya tenang menjadi sangat sibuk dan penuh semangat. Danu, Sari, Pak Tarman, dan warga desa lainnya bekerja keras, wajah mereka menunjukkan campuran tekad dan ketakutan saat mereka mempersiapkan ritual yang akan menentukan nasib desa mereka.Danu sibuk membaca teks kuno yang mereka temukan di kuil terlarang, alisnya berkerut karena konsentrasi saat ia mempelajari detail-detail ritual dan artefak yang diperlukan untuk menenangkan roh hutan. Sari dan Ujang berkeliling desa, mengumpulkan relik dan barang-barang suci yang diperlukan, gerakan mereka cepat dan penuh tujuan.Pak Tarman, dengan wajahnya yang sudah tua dan lelah, mengkoordinasikan usaha para warga desa, memastikan setiap detail diperhatikan dengan teliti. Penduduk desa yang dulunya ragu-ragu kini bekerja dengan semangat baru, mata mereka bersinar dengan harapan yang sudah lama hilang.Seiring dengan berjalannya persiapan, Danu tidak bisa tidak merasa kagum dengan per
Sosok tinggi besar dengan tanduk dari roh hutan berdiri mengancam di atas desa, membuat Danu merasa sulit bernapas. Dia merasakan genggaman Sari di tangannya semakin erat saat mereka berdiri terpaku, mata mereka tertuju pada makhluk yang menakutkan itu.Penduduk desa sudah mundur ke pinggir alun-alun, tubuh mereka gemetar karena campuran rasa takut dan hormat. Pak Tarman melangkah maju, wajahnya serius saat dia mengangkat tangan sebagai tanda permohonan."Roh agung," panggilnya, suaranya menggema dalam keheningan yang mengejutkan, "kami datang untuk memberikan persembahan kami, untuk menenangkan lapar Anda dan menjaga perlindungan desa kami."Mata roh itu, menyala dengan kekuatan kuno dan liar, menatap kepala desa, tatapannya menembus dirinya. Suara gemuruh rendah terdengar di alun-alun, membuat Danu merinding.Di sampingnya, Sari bergerak gelisah, suaranya hampir tidak terdengar. "Danu, menurutmu persembahan ini cukup? Bagaimana kalau roh itu menginginkan lebih?"Danu menelan ludah,
Bentuk besar roh hutan menjulang di atas Danu, Sari, dan para penduduk desa, tatapannya yang membara tertuju pada mereka dengan kemarahan kuno yang tak kenal ampun. Danu merasakan jantungnya berdegup kencang saat dia menatap makhluk itu dengan tekad putus asa untuk menemukan cara mematahkan kutukan yang telah menghantui Desa Tumbal selama beberapa generasi."Baiklah, manusia," geram roh itu, suaranya seperti geraman dalam yang menggema. "Aku akan memberi kalian satu kesempatan terakhir untuk membuktikan nilai kalian dan memuaskan kelaparanku. Berhasil, dan aku akan mengangkat kutukan ini. Gagal, dan darah rakyatmu akan menjadi harga yang harus kalian bayar."Danu menelan ludah dengan susah payah, tenggorokannya mendadak kering. "Sebutin syarat-syaratmu, roh," katanya, suaranya tetap tenang meskipun rasa takut mengancam akan menguasainya. "Apapun yang kamu minta, kami akan melakukannya."Bibir roh itu melengkung menjadi seringai jahat, matanya berkilauan dengan sorot predator. "Artefak
Hutan kuno menjulang di depan Danu dan Sari, pohon-pohon tinggi itu melemparkan bayangan panjang yang menyeramkan yang menari-nari dalam cahaya gemerlap obor mereka. Udara penuh dengan aroma tanah lembab dan bisikan angin yang samar, sebuah pengingat konstan akan perjalanan berbahaya yang menanti di depan.Sari menggenggam tali ranselnya, jari-jarinya putih tegang. "Apakah kamu yakin akan ini, Danu? Kuil Para Leluhur dikatakan dijaga oleh perisai dan pesona yang kuat. Bagaimana jika kita tidak cukup kuat untuk mengalahkannya?"Danu meraih dan meremas tangan Sari dengan penuh keyakinan, wajahnya teguh. "Kita harus mencoba, Sari. Nasib orangmu berada di pundak kita, dan aku tidak akan mengecewakan mereka. Tidak setelah semua yang kita alami."Sari mengangguk, bibirnya dipadatkan. "Aku tahu, tapi tuntutan roh... mereka tak terbayangkan. Bagaimana jika kita tidak bisa menemukan liontin itu? Bagaimana jika kita gagal?"Pandangan Danu menjadi keras, rahangnya bertekad. "Kita tidak bisa berp
Danu dan Sari keluar dari Kuil Leluhur yang kuno, Amulet Sangkuriang digenggam erat di tangan Danu. Pakaian mereka robek dan wajah mereka berlumuran tanah, tetapi ekspresi mereka penuh dengan tekad baru dan harapan.Saat mereka bergegas melewati hutan yang lebat, suara gemuruh makhluk yang mengejar mereka terdengar di kejauhan, mengingatkan mereka akan tugas berbahaya yang menunggu di depan. Danu bisa merasakan kekuatan amulet itu berdenyut di telapak tangannya, energinya yang kuno bergetar dengan rasa tujuan."Kita berhasil, Sari," katanya, suaranya hampir tak terdengar. "Kita sudah menemukan amulet itu, seperti yang diminta roh. Sekarang kita harus kembali ke desa dan menghadapinya, sekali dan untuk selamanya."Sari mengangguk, ekspresinya teguh. "Aku tahu, Danu. Tapi setelah semua yang kita alami, aku tidak bisa menghilangkan rasa tidak nyaman ini. Tuntutan roh itu sangat berat, dan konsekuensi kegagalan sangat serius. Bagaimana jika kita tidak cukup kuat untuk memuaskannya?"Danu