Share

ARTI SEBUAH KEPERCAYAAN

"Oh Ibu sedang ikut senam PKK di Kecamatan paling bareng sama teman gengnya itu lo Mas! Mbak Dinda tolong buatin telur goreng dong, Ifah capek banget abis endors," ujar Ifah satai.

"Aduh mengapa Ifah tak tanggap pada kodenya," gumam Dinda lirih.

Sayang sekali Ifah tak menyadari deheman Dinda yang memiliki arti tadi. Sekarang Dinda hanya bisa berdoa semoga mertuanya tak ngamuk saat pulang senam nanti.

"Mbakmu kan sedang mencuci piring, ketimbang goreng telur masak harus menyuruh Mbak Dinda, kau kan anak perempuan belajarlah memasak untuk suamimu nanti," tegur Hasan.

"Halah Ifah masih SMA Mas, masih pengen kuliah! Lagian Ifah tuh capek Mas! Endors dari pagi, lanjut sekolah belum lagi ngajar les, untuk tambahan uang saku! Mbak Dinda lo nganggur di rumah jadi wajar dong kalau Ifah minta tolong, ya kan Mbak?" rengek Ifah dengan suara manja pada Dinda.

"Sudahlah Mas, cuma menggoreng telur saja bukan hal yang sulit, istirahatlah Fah! nanti Mbak panggil, sana pergi dari pada Masmu marah!" perintah Dinda.

Munafik jika Dinda mengatakan dia baik- baik saja dengan semua ucapan adik iparnya. Tapi dia berusaha untuk tak mengambil hati ucapan Ifah dan menganggap itu keluar dari mulut seorang bocah yang belum mengerti.

"Ibu belum juga pulang, Dek?" tanya Hasan melihat Dinda yang sedang menyiram tanaman di luar rumah.

Dinda menggelengkan kepala, melanjutkan kegiatan menyiram tanaman milik mertuanya. Ifah sudah pergi lagi selesai makan tadi jadi suasana rumah sangat sepi. Suara motor terdengar masuk halaman.

"Assalamualaikum," ucap ibu Nafis.

"Waalaikumsalam," jawab semua orang.

"Dari mana, Bu? Jam segini baru pulang?" tanya Hasan.

"Eh kau Le, sudah pulang? Ibu pikir rapat RT-nya lama," jawab bu Nafis sambil melepas helmnya.

Dinda segera menyelesaikan menyiram tanaman dan pergi masuk rumah. Dia tak ingin terlibat dalam masalah yang akan terjadi.

"Ibu dari mana?" tanya Hasan sekali lagi.

"Ada acara penting tadi," ujar bu Nafis singkat.

"Jangan bohong, Bu!" bentak Hasan.

"Apa kau menganggap Ibumu pembohong Nak? Kau tak percaya?" tanya bu Nafis.

"Bukannya dari senam dan kumpul- kumpul bersama teman arisan yang tak jelas itu?" sanggah Hasan.

"Apa istrimu yang mengadu?" bu Nafis mencari keberadaan Dinda.

"Sekarang tak penting Hasan mengetahuinya dari siapa! Bukankah sudah Hasan jelaskan kalau Ibu masih masa iddah, jika keluar ajak Dinda atau Ifah! Untuk menghindari fitnah, menjaga nama baik Abah!" terang Hasan dengan nada tegas.

"Maafkan Ibu, Nak," jawab bu Nafis dengan suara bergetar.

Suaranya bergetar bukan sebab menangis karena merasa bersalah atas kelakuannya, tetapi dia menahan emosi pada Dinda.

"Jangan di ulang lagi ya Bu, ini semua demi kebaikan Ibu,” kata Hasan.

Dia merangkul pundak ibunya.

“Sudah mari kita masuk dulu, sebentar lagi magrib, maaf ya Bu membentak tadi," ujar Hasan sambil mencium tangan ibunya.

Setelah sholat mereka makan malam bersama, ini sudah rutinitas keluarga.

"Dek temani Ibu di rumah ya, Mas mau keluar sebentar, kasihan jika Ibu di rumah sendiri," kata Hasan.

Dinda mengangguk patuh sambil membereskan bekas makan. Hasan segera pergi menemui temannya.

"Heh Dinda! Menantu yang tak bisa diajak kerjasama! Bukankah aku sudah bilang jangan mengatakan pada Hasan! Senang kau bisa melihat Hasan marah padaku?" hardik bu Nafis.

"Astagfirulloh, bukan Dinda yang mengatakan tapi Ifah,"

Belum selesai Dinda menjelaskan bu Nafis memotong perkataannya.

"Sekarang kau fitnah Ifah! Keterlaluan! Tak berguna jadi menantu! Tak bekerja! Tidak bisa hamil juga! Mandul!" olok bu Nafis.

"Astaghfirullah Bu, jangan keterlaluan! kami menikah baru dua bulan! Dinda datang tidak dengan tangan kosong! Mobil yang di kendarai Mas Hasan itu milik Dinda," jawab Dinda tak kalah sengit.

Dia merasa di rendahkan harga dirinya sehingga harus membela diri sendiri.

"Oh jadi kau mulai hitungan dengan suamimu sendiri? Hanya mobil buntut saja kau ungkit- ungkit!" bu Nafis langsung berkacak pinggang sambil menunjuk muka Dinda.

"Dasar istri tak tahu diri! Untung-untungan Hasan tak menceraikan kamu karena mandul," ujar bu Nafis lagi.

"Bu, aku tak mandul! Anak itu hak pemberian Tuhan, mutlak!" teriak Dinda.

Bu Nafis pergi meninggalkan Dinda di ruang makan tanpa peduli perasaan menantunya. Dinda menangis, dia bisa terima jika hanya di katakan istri durhaka, tetapi hatinya sakit saat mertuanya menuduh mandul. Dinda membersihkan sisa makan malam, lalu menangis di kamar.

"Dek, kamu kenapa? Tumben sekali tak menyambut Mas di depan pintu," tanya Hasan.

Hasan mendekati Dinda istrinya yang terbaring di ranjang.

"Kenapa matamu sembab, Dek?" tanya Hasan lagi.

Dinda segera bangun dan menggenggam tangan Hasan.

"Mas mari kita mengekos jika belum ada uang untuk menyewa kontrakkan, kita bisa pakai tabunganku dulu, kalau memang Mas belum ada uang, yang penting kita hidup berdua Mas, tak masalah bagi Dinda walaupun makan hanya dengan nasi dan garam," kata Dinda.

"Kau bertengkar lagi dengan Ibu?" tanya Hasan langsung.

Dinda menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada satupun bekas luka dihatiku yang berasal dari musuh, semua luka yang aku dapatkan berasal dari orang-orang yang mengatakan bahwa mereka mencintaiku Mas," kata Dinda.

"Apa maksudmu Dek?" tanya Hasan tak mengerti.

"Ibumu menuduhku mandul Mas," ucap Dinda.

"Astagfirulloh, jangan mengada- ada Dek, aku tahu kau tak begitu suka dengan Ibu, tetapi jangan asal menuduh tanpa bukti,” kata Hasan tersinggung.

Hasan berdiri melepaskan genggaman tangan istrinya. Dinda meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya kini menuduhnya berbohong? Dinda menatap dalam mata Hasan suaminya.

“Apa kau tak percaya pada Istrimu sendiri Mas?” tanya Dinda.

“Aku... aku...”

BERSAMBUNG

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Murniey Uniey
Mertua nyaaaa
goodnovel comment avatar
Ete Watutamata
mertua zaman dulu
goodnovel comment avatar
Ete Watutamata
mertua yang kejam
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status