Sedang hari pertama pun tiba, aku dan pak dosen yang mendampingi Surya. Jadwal hari ini adalah pembacaan tuntutan jaksa penuntut umum. Dalam dakwaannya jaksa mengatakan kalau saja Surya sudah merencanakan pembunuhan terhadap ayahnya. Surya masih bisa mengatakan sesuai yang kukatakan, dia tidak mau menjawab pertanyaan jaksa jika menyangkut harta warisan."Maaf, Pak, harta warisan adalah urusan keluargaku bukan urusan jaksa, " begitu jawaban Surya saat ditanya tentang warisan.Aku tersenyum karena itu adalah ajaranku. Akan tetapi jaksa terus mencecernya dengan berbagai pertanyaan. Pertanyaan jaksa ujung-ujungnya selalu masalah warisan. Akan tetapi Surya ini sesuai arahanku. Dia hanya bicara tentang minuman dan waktu berdebat dengan ayahnya. Dia tidak mau bicara soal warisan.Padahal, tuntutan jaksa berhubungan dengan warisan juga, tapi Surya bersikeras tidak mau bicara tentang warisan. Jawabannya selalu itu warisan adalah urusan keluarganya. "Kalau memang kalian menuduh saya membunuh
Kasus ini menyisakan banyak pro dan kontra di masyarakat ibukota kabupaten kami. Mereka kebanyakan mengatakan keputusan hakim itu mengada-ngada. Masa dihukum karena lalai, seharusnya dihukum karena memang membunuh orang tuanya. Akan tetapi jaksa dan juga Hakim tidak juga menemukan bukti yang tepat. Tidak ada zat lain selain kopi yang diminum korban. Tidak mungkin orang dihukum karena menambah air panas pada kopinya. Sementara korban yang minta tambah air panas. Masyarakat justru mengatakan jaksa dan hakim lemah. Sementara itu kantor pengacara kami jadi dapat nama dari kasus tersebut. Pak dosen jadi narasumber acara televisi swasta. Pagi itu hari Minggu, aku tidak ada kegiatan, tadinya mau nyuci pakaian yang sudah dua minggu tak pernah nyuci. Akan tetapi rasa malas itu datang karena hujan gerimis. Akhirnya aku antar semua pakaian itu ke laundry. Saat aku kembali ke rumah kos aku terkejut melihat Wulan, perutnya sudah besar sekali. Wajahnya tampak sedih."Wulan, apa kabar?"sapaku s
Tadinya aku mau lanjut tidur, akan tetapi baru saja mata terpejam, aku teringat pekerjaan yang menumpuk. Tugas dari pak dosen menunggu. Belum lagi aku ada rencana mau bertemu Surya di rumah tahanan. Rasa Penasaran ini makin kuat saja, Apakah dia benar membunuh ayahnya?Aku berdiri dan langsung ke kamar mandi. Setelah mandi lalu salat Dhuhur. Kami salat berjamaah bersama ayah dan ibu kost."Katanya tadi mau tidur?" Tanya Ayah."Banyak kali pekerjaanku, Yah," "Kamu itu terlalu banyak bekerja, Butet, santai saja kamu masih kuliah," kata Ayah."Membiasakan diri, Yah, aku kan mau jadi wanita karir," kataku kemudian.Aku lalu mengajak Ayah ke rumah tahanan, setelah negosiasi dengan penjaga tahanan akhirnya kami bisa bertemu dengan Surya. "Ada apa lagi, ya?" Tanya Surya begitu kami bertemu."Kenalkan ini ayahku," kataku kemudian.Ayah pun menyalami Surya, untuk beberapa soal lamanya, ayah menatap mata pria tersebut."Kenapa kamu pindah agama?' tanya ayah kemudian."Karena calon istriku t
Setelah menghubungi Pak Dosen, akhirnya aku menerima kasus tersebut. Sepertinya ini akan menjadi kasus yang panjang. Karena menuntut cerai pada suami yang tidak mau menceraikan. Juga menuntut pembagian harta gono gini.Aku dapat cerita, ibu ini bernama Mala, dia sudah menikah 10 tahun, akan tetapi tidak juga punya momongan. Dan mertuanya menyerankan supaya anaknya menikah lagi biar bisa punya keturunan. Sudah 1 tahun belakangan ibunya menyuruh anaknya untuk menikah lagi, bahkan calonnya pun dicari. Karena terus didesak dan kasihan melihat ibunya, suami Bu Mala itu bersedia. Akan tetapi Mala tidak mau dimadu. Dan suaminya tidak mau menceraikan. "Rumit juga masalah yang kau tangani ya, Butet?" tanya Ayah."Iya Yah begitulah, macam-macam masalah orang,""Padahal masalah yang begini tidak perlu sampai ke pengadilan segala,""Bagaimana tidak sampai pengadilan, si suami mau poligami," kataku kemudian."Masalahnya anak, tidak punya anak, itu pangkal masalahnya, seharusnya itu yang diseles
Aku gagal dapat pekerjaan hari itu, kembali ke rumah aku tak bawa duit, akhirnya aku putuskan pergi ke rumah kontrakanku. Siapa tahu mereka sudah mau membayar uang kost. Memang rata-rata yang kos di situ adalah dari luar daerah, kadang kiriman orang tuanya terlambat datang. Terpaksa terlambat bayar uang kost.Bukan uang kos yang kudapat saat sampai di tempat tersebut, akan tetapi laporan."Bang Ucok, WC-nya gak bisa jalan," ucap seorang anak kost."Iya, tidak bisa buang air, aku sampai numpang buang air ke SPBU," kata yang lain."Mesti disedot dulu itu, Cok," "Iya," jawabku lesu."Jangan lama-lama, Cok, sakit kali yang gak bisa berak ini," kata seorang pemuda asal Medan."Iya, besok," jawabku."Jadi, nanti kalau mau buang air kami tengah malam bagaimana?" kata yang satu lagi."Ya udah, sini uang kost sekalian," kataku kemudian."Belum ada, tanggal tujuh baru ada," jawab yang satu."Aku tinggal sepuluh, Cok," jawab yang lain.Sungguh aku tidak punya uang lagi, di kartu ATM-ku pun
Mahar yang diberikan pada istri adalah mutlak milik istri, jika kita memakainya itu harus izin istri, jika meminjam harus dikembalikan. Memang dulu ada 50 gram emas, ternyata sampai sekarang masih disimpan oleh istriku. Sebagaimana susahnya pun keadaan, Aku tidak akan pernah minta. Akan tetapi kali ini justru istri yang menawarkan. "WC itu darurat, Bang, termasuk kebutuhan penting," kata istri setelah dia keluar dari kamar."Iya, Dek," "Ayo, Bang," kata istri lagi dia sudah bersiap seadanya.Aku pun menghidupkan motor Supra jadulku. Istri naik ke boncengan dan kami pun meluncur ke pasar terdekat. "Berapa kau bawa, Dek?" tanyaku saat kami dalam perjalanan."Satu cincin, Bang, ini 5 gram ini," "Cukuplah itu," "Sebenarnya aku ingin menjualnya semua dan buka usaha, Bang?""Usaha apa, Dek" "yang jual sarapan lontong Medan, laku gak kira-kira di Jakarta ini, itu yang paling susah aku cari di kota ini," kata istri."Memangnya pende kau masaknya, Dek?""Pande lah, Bang, bouku kan jua
Apa yang aneh melihat istriku, biasanya perempuan akan panik jika ada kejadian seperti ini. Akan tetapi Tania terlihat tetap tenang, mulutnya yang justru komat-kamit. Kulihat istri, kugenggam tangannya, aku sungguh khawatir dia apa-apa.Kemudian aku berdiri, belum ada orang yang berani mendekat, toko yang sebelah kiri dan kanan justru menutup tokonya. Sementara dua orang masih terkapar, uang dan emas berserakan di lantai. Karyawan toko emas itu justru ikut-ikutan pingsan, mungkin dia shok ditodong pistol.Beberapa saat kemudian orang-orang mulai ramai untuk melihat, akan tetapi tidak ada yang berani mendekat. Pemilik toko emas pun datang, yang pertama diselamatkan adalah emasnya yang berserakan di lantai. Juga uangnya, setelah itu baru dia menyadarkan karyawannya. "Kalian tidak apa-apa," katanya kemudian."Kami baik-baik saja Pak," jawabku.Pria berambut putih tersebut lalu sibuk dengan HP -nya, sepertinya menelepon polisi. Masyarakat pun mulai ramai, masing-masing dengan kamera HP-
"Sabar dulu, Bu, bukan begitu maksud kami, bapak-bapak ini dari asosiasi pedagang emas Jakarta," kata pria berambut putih tersebut seraya menunjukkan Pria yang datang bersamanya."Iya, Bu, kami datang ke mari setelah melihat video rekaman dan mendengar penjelasan dari polisi, kami mau berterima kasih, para perampok itu sudah seringkali beraksi, baru kali ini tertangkap. Empat temannya juga sudah ditangkap polisi," kata salah satu pria tersebut."Benar, Bu, jadi kamu dari asosiasi pedagang emas sepakat, emas mahar ibu itu tidak bisa kami terima," katanya lagi."Lo, jadi kami tidak bisa jual emas?""Iya, Bu, sebagai gantinya, kami dari asosiasi pedagang Emas akan memberikan hadiah kepada bapak dan ibu, hadiahnya adalah setara harga emas yang hendak ibu jual, kami sangat berterima kasih sekali, kami terharu juga niat ibu menjual Emas tersebut, membantu suami mencari nafkah," katanya lagi.Aku dan Tania berpandangan, lalu untuk beberapa saat lamanya kami masih terdiam, aku seakan tak perc