Ustadz itu terdiam, sampai tiba di kampus dia tak bicara lagi. Aku juga sudah kesal karena dia sepertinya keenakan menikmati kekayaan mertuanya, padahal dia bisa di sini karena usulanku. Dia bisa menikah juga karena usulku.Menjelang sore hari aku pulang dari kampus dengan menumpang ojek online, ini gara-gara Ustadz Rizal, padahal aku punya kendaraan biarpun motor Supra. Sampai di rumah sudah ada Bang Bambang menunggu di depan rumah. Pria ini teman pertamaku di kota ini, kini dia sudah punya usaha dan rumah sendiri."Bang, sehat!" Sapaku seraya menyalami Bang Bambang."Alhamdulillah sehat," jawab Bang Bambang."Ada apa ini, Bang, mana kakak itu," tanyaku kemudian."Di rumah, aku datang mau minta tolong, Cok," kata Bang Bambang."Minta tolong apa, Bang?""Ini, Cok, aku punya adik ipar, kejiwaannya terganggu, kan kamu punya kepandaian, pandai ngaji, bisa minta tolong, rukiah dulu adik ipar ku itu, kasihan dia, padahal dulunya dia pintar sekolah, selalu juara satu, tiba-tiba dia jadi
Dilema....Selama ini aku selalu menolong tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balasan, belajar dari ayah yang sudah banyak menolong orang tanpa mengharapkan balasan. Aku sudah melihat banyak kebaikan ayah. Sejak akur masih kecil, sudah terbiasa melihat kebaikan tanpa batas.Akan tetapi bagaimana kalau itu nazar orang? Aku tahu nazar itu wajib ditunaikan, yang aku tidak tahu bolehkah menolak nazar orang? Ah, benar-benar dilema. Jika aku terima, apakah prinsip hidupku yang selama ini kupegang teguh akan berubah? "Aku terima juga karena nazar, Cok," kata Ustadz Rizal. Aku sudah salah paham, kukira selama ini ustadz itu memanfaatkan keluarga dosen, ternyata dia terima karena Nazar."Maaf, Pak, maaf, Anna, aku berpikir dulu," kataku kemudian."Itulah yang membuat saya salut dengan kalian, di luaran sana banyak orang mengemis, menjilat demi dapatlah hadiah, kalian diberikan pun masih berpikir, saya paham, ustadz ini pun butuh waktu dua Minggu baru mau dia terima, silakan berpikir dulu,"
Video provokasi itu terus saja bermunculan, coba tak kupedulikan tapi makin hari makin bertambah. Terakhir aku sudah tak sabar, karena sampai bawa-bawa orang tua. "Inilah hasil didikan mantan wakil bupati," begitu caption dari video yang menampilkan diriku lagi. Ini sudah tak bisa dibiarkan. Aku coba telepon Sandy."Sandy, lihat dulu ada yang coba menjelekkanku, tolong cari tahu siapa?" kataku lewan pesan, seraya kukirim foto screenshot -nya."Maaf , Cok, aku sudah berhenti, maaf, aku trauma, kini fokus latihan mau ikut seleksi penerimaan anggota polri," kata Sandy."Oh,""Iya, Cok, maaf ya, aku untuk sementara tak pegang peralatan, ini hikmah dari peristiwa itu juga, dulu satu jam saja tak lihat laptop sudah uring-uringan, kini Alhamdulillah bisa, setelah tiga hari di Bukit merah," kata Sandy lagi."Iya, aku mengerti," kataku kemudian.Aku mulai merasa yang dikatakan Butet itu ada benarnya, begini cara penguasa membungkam pengkritik, tak mampu dipukul ya dirangkul. Hasilnya Sandy
"Maaf, Ustadz, jika perkataanku waktu itu membuatmu berubah pikiran," kataku kemudian."Gak apa-apa, Cok, aku justru senang, ada yang mengingatkan, itulah gunanya sahabat saling mengingatkan jika salah jalan, jujur, Cok, aku juga manusia biasa, Anna itu anak tunggal, hartanya banyak, tentu dia pewarisnya, imanku sempat tergoda, Cok, tapi kembali' ke mist awal, hanya untuk mengobati Anna," kataku Ustadz Rizal."Iya, Ustadz, aku permisi dulu kalau gitu," kataku kemudian.Aku pulang dengan perasaan campur aduk, antara rasa bersalah dan takjub pada ustadz ini, Anna gadis muda dan cantik, anak tunggal dosen yang sekaligus pengusaha. Tapi ustadz ini tak tergoda sama sekali, bahkan tak menyentuhnya. Akan tetapi apakah itu berdosa, adalah istri yang halal tapi tak disentuh? Atau mungkin ... Ah, pikiranku jadi ke mana-mana. Sehabis shalat Isa, aku coba hubungi Mama lagi, lewat panggilan video, ternyata Butet ada di sana, mungkin dia baru sampai."Bang, si Cantik kangen," kata Butet seraya men
PoV NiaDalam satu Minggu belakangan, dua kali Ucok minta pendapat, dua kali juga akhirnya Butet yang kasih pendapat betul. Padahal jika dipikir-pikir pendapat Butet itu bukan sesuatu hal yang besar. Seandainya memang diizinkan dosen tersebut, tak akan sampai dilema seperti ini. Dosen itu pasti tidak akan mau berpisah dengan anak tunggalnya. "Dek, Abang masih kepikiran sungai itu," kata Bang Parlin di suatu hari. Saat itu kami lagi di kebun memantau orang yang lagi panen sawit."Iya, Bang, siapa kira-kira yang racuni sungai ya?" "Entahlah, Dek, bilang dulu sama kepala desa, buat larangan mengambil ikan pakai racun," kata Bang Parlin."Iya, Bang,"Sebenarnya peraturan itu sudah ada sejak dulu, cuma peraturan tak tertulis, kini memang harus dibuat aturan serta hukumannya."Kapan bisa normal itu ikannya, Bang, pengen jugalah makan ikan sungai," kataku kemudian."Banjir dulu, Dek, jika sungai banjir besar, baru ikannya normal lagi,""Oh, entah kapan banjir besar,"Panen kali ini agak b
Ibunya Sandy makin menjerit-jerit, ketua ormas itu memukul Sandy yang sudah dipegangi anggotanya . Bang Parlin akhirnya bertindak, aku justru jadi khawatir, usia Bang Parlin sudah lebih setengah abat, melawan empat pemuda mungkin tak bisa lagi. Suamiku itu lalu mendekati ketua ormas tersebut, dia tarik kerah lehernya, Bang Parlin sepertinya menggunakan ilmunya lagi. Sekali tonjok, pemuda itu terjatuh dan tak sadarkan diri. Bang Parlin memang punya ilmu yang bisa memukul orang sekali pukul pingsan, ilmunya itu sudah dia turunkan ke Torkis dan juga Ucok, Ucok bahkan sempat menggunakan ilmu itu untuk bertarung di MMA, yang berakhir dirinya patah kaki. Semenjak kenal Bang Parlin baru dua kali ini kulihat dia gunakan itu. Tiga pemuda itu jadi sibuk mengurus ketuanya yang sudah pingsan. Mereka mengangkatnya ke mobil."Awas ya!" mereka masih sempat mengancam sebelum pergi.Ibunya Sandy lalu memeluk Sandy, dari hidung anak tersebut keluar darah. Warga mulai ramai. Akhirnya hari itu kami me
Segera kubangunkan Cantik, terus memandikannya dan ganti baju."Kita naik bum-bum, Mah?" tanya Cantik ketika aku memakaikan jaket. Dia sudah paham ternyata, jika pakai jaket akan naik mobil. Ada kebiasaan Bang Parlin yang aku ngikutin, dia tidak suka pakai AC mobil, dia lebih suka buka kaca dan angin bertiup. Kadang sampai ke kota pun tetap seperti itu, jadilah Cantik kupakai kan jaket jika bepergian."Iya, Inang," jawabku."Papah itut?""Ikutlah, Nang, cepat pake sepatunya ini,""Nanti belantam lagi,"Waduh, Anakku yang baru dua setengah tahun sudah ngerti ayahnya berantam."Papah berantam karena orang jahat, Nang,"Kugendong Cantik menuju mobil, dan langsung masuk mobil dan duduk di jok depan, Cantik tetap kupangku dalam mobil."Pa, papah, ada olang jahat, papa belantam," kata Cantik.Bang Parlin hanya tersenyum dan mengelus tambut anaknya, aku tahu suamiku itu tak tahu harusnya bilang apa, kami memang sudah berusaha supaya Cantik tak melihat kekerasan, akan tetapi gagal. Cantik t
"Kita pergi makan malam, Gak?" tanya Bang Parlin lagi."Ayo," jawabku kemudian.Kami keluar kamar dan turun ke lantai satu, seorang karyawan hotel kemudian menunjukkan jalan ke restoran yang dimaksud."Emang di mana restorannya? " tanya Bang Parlin."Itu, Pak, yang restoran sea food,""Restoran siput? Makanannya siput gitu?" tanya Bang Parlin lagi."Iya, Pak, ini sudah sampai, bapak menunggu di dalam," kata karyawan hotel tersebut."Dek, kurasa ada kesalah pahaman ini, masa kita mau makan siput, kan haram itu, termasuk hewan yang menjijikkan," kata Bang Parlin."Hahaha, sea food, Bang, bukan siput, artinya makanan laut," kataku sambil tertawa, sudah jaman segini, Bang Parlin masih menyisakan kejadulannya."Oh, itu," jawab Parlin seraya menunjuk Restoran tersebut. Kami masuk ke dalam, pria berkulit putih itu sudah menunggu di meja paling sudut."Silakan, Pak, Bu, ini menunya, silakan pilih," kata Johan seraya memberikan daftar menu pada kami."Ini yang paling gak kusuka dari Indonesia