Tiga hari sudah Dayyan ditahan. Tak lama lagi hukuman akan dijatuhkan untuknya. Lelaki itu hanya bisa mempersiapkan diri saja. Selain karena mental hancur disebabkan kesalahan diri sendiri. Ia pun tak tahu berapa banyak lecutan di punggung yang bisa ia tahan. Selama ini umumnya, rakyat biasa sanggup bertahan paling hebat 40 kali. Itu pun sudah tak sadarkan diri dan dirawat di rumah sakit. Lalu untuknya melampaui batas. 130 kali, apa Dayyan sanggup sadarkan diri?Tiga hari menjadi dua hari, lalu hari penerimaan hukuman pun tiba. Dayyan dikeluarkan dari penjara. Di sana ada beberapa tentara yang bertugas. Hakim yang menjatuhkan hukuman, Maira, juga Feme, Gu menolak datang karena tak tega melihat anaknya mendapat siksaan. Walau karena kesalahan sendiri. “Nuwa, apa dia tidak datang?” tanya Feme pada Maira. “Dia menolak hadir. Katanya segala sesuatu yang terjadi pada Dayyan bukan lagi urusannya. Dia hanya mendoakan …” Maira tak jadi meneruskan ucapannya. “Mendoakan apa?” Feme penasaran
Feme berjalan ke dapur. Ia muntah karena memang karena penyakitnya. Air dari perut yang berwarna kuning dan pahit memenuhi tempat cuci piring. Mata-mata itu menepuk pundak Feme agar napasnya lebih lega. Kemudian dari balik lengan baju yang dilapisi sarung tangan, ia mengeluarkan sebuah jarum besi tipis dan beracun.“Nyonya, setelah ini kau akan tidur dengan tenang selama-lamanya. Selamat tinggal,” ujar mata-mata itu. Feme yang memang lemah dari dulu tidak bisa melawan ketika jarum tersebut menancap di lehernya. Lalu mata-mata itu memakai khimar juga cadar. Ia meninggalkan Feme yang terkulai lemas di dapur. Perlahan-lahan mata indah itu tertutup dan Feme tidak mengembuskan napas lagi. *** Maira membawa jasad Feme ke kantor polisi untuk diotopsi lebih lanjut dan dicari apa penyebab kematiannya. Albhani dan Sabhira akan tinggal sampai ayahnya sembuh di rumah Gulaisha. Tentu Maira akan menjenguk mereka juga. “Ya Allah, seakan-akan masalah tidak ada habisnya.” Maira menarik napas panja
Hampir empat hari lamanya, Nuwa berjalan ke sana kemari mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya. Namun, ia tidak diterima. Sebab Nuwa mendatangi restaurant atau tempat pelayanan publik di mana semua pegawainya laki-laki. Hingga wanita Suku Mui itu diberi tahu jikalau perempuan umumnya bekerja sebagai guru, dokter, perawat, pegawai pemerintahan, polisi, tentara. Sedangkan untuk pekerjaan kasar tidak ada. Nuwa mengembuskan napas panjang. Ia tidak memiliki satu pun kemampuan itu. Dirinya hanya tamat sekolah dasar saja. Uang pemberian Maira masih ada, bahkan nanti kalau habis ia akan diberi santunan. Namun, Nuwa bukanlah orang yang suka mengemis bahkan menjual cerita sedihnya pada orang lain. Semua derita ia pendam sendirian. “Kalau begitu mengapa kau tidak mendaftar sekolah saja lagi. Nanti kau akan diuji lalu ditempatkan sesuai minat dan bakatmu,” ucap ibu asrama ketika melihat Nuwa duduk seperti tanpa tujuan. Negeri Syam memang aman untuk wanita. Akan tetapi, janda Kai yang sud
“Hmm, ke mana kaki ini akhirnya terdampar.” Nuwa menoleh ke kiri dan ke kanan. Ada satu tempat yang membuatnya tersenyum. Toko laptop yang seperti dikatakan oleh Maira. Janda Kai itu masuk dan disambut oleh pegawai laki-laki yang to the point menyapanya. “Yang paling murah bisa untuk memutar video, yang mana?” Sebab Nuwa buta pengetahuan tentang laptop, komputer, televisi, juga tidak bisa mengendarai mobil serta motor. Pegawai lelaki itu menunjukkan note book berukuran mini lengkap disebutkan spesifikasi termasuk harganya. Yang mana Nuwa lagi-lagi bingung. Ia keluarkan saja sisa uangnya di dalam kantung gamis.“Apa ini cukup?” tanya Nuwa. Pegawai lelaki itu mulai menghitung dan masih banyak kurangnya. “Kalau kau mau, aku bisa menahan benda ini selama dua minggu, tanpa bayaran di muka sama sekali. Jika dalam dua minggu kau tidak datang, akan aku jual pada orang lain, bagaimana?” Solusi yang ditawarkan atas asas kepercayaan saja. “Oh, begitu, boleh. Semoga uangnya bisa terkumpul du
“Hei, Nona, sepertinya kau masih sangat muda. Keluar dari arena ini. Pulang, belajar masak, menjahit, merangkai bunga,” ucap Khalid yang melihat Nuwa menantang dirinya. Wanita itu kurus, jelas perbedaan bagaikan bumi dan langit. “Bunga apa? Pasir semua kanan kiri depan belakang,” sahut Nuwa. Ia memasang kuda-kuda bertarung yang cukup kuat. Ya, semua orang masih meremehkan dirinya yang terlihat tak sepadan dengan Khalid. “Ya kerjakan yang lain, Nona, belajar dengan baik, jadi istri soleha yang melayani suami dan mendidik anak-anak. Tempat ini keras, tidak cocok untukmu.” Maksud Khalid baik.“Suamiku sudah tidak ada, anak juga sudah meninggal. Apa yang harus aku kerjakan. Aku butuh uang untuk hidup.” Nuwa tak sabaran mendengar Khalid terus saja ceramah. “Kalau kau butuh uang, maukah kau menjadi istriku yang keempat. Aku bisa menafkahimu dengan baik.” Tawaran yang membuat semua lelaki di sana tepuk tangan. Dinilai sangat jantan sekali. Nuwa langsung melemaskan kuda-kuda bertarungnya.
“Ronde terakhir, kalau Khalid masih berdiri artinya kau kalah.” Wasit mengingatkan. “Aku tak akan kalah.” Nuwa menguatkan kakinya. Wanita Suku Mui itu putar-putar tali itu untuk memastikan melilit tubuh Khalid sangat kuat. Sang juara bertahan tidak paham apa yang dilakukan oleh lawannya. Hingga beberapa detik kemudian semua penonton terdiam. Tali yang dilemparkan oleh Nuwa mengikat tubuh Khalid dan tersisa beberapa meter saja. Pada saat sang juara bertahan sedang membuka lilitan tali itulah Nuwa melompat dan menendang di bagian dada. Lalu Khalid roboh dan bergeser dar tempatnya berdiri. Wasit terkejut, penonton apalagi, mereka saling melihat satu sama lain. Tidak masuk akal, sama sekali sulit dipercaya. Wanita sekurus Nuwa menjatuhkan sang juara bertahan dengan bobot tubuh yang empat kali lipat daripada Nuwa. Wanita Suku Mui itu memandang sangat tajam pada wasit. Lekas saja lelaki tersebut membunyikan lonceng dan mengumuman kalau Nuwa pemenangnya. Khalid sendiri masih berusaha me
Nuwe menonton video rekaman dirinya dan Kai ketika masih berada di Xin Hua. Kenangan selama bertahun-tahun lamanya yang dirangkum dalam beberapa menit. Kemudian pada adegan terakhir, ia tak sanggup melihatnya. Adegan ketika Kai digantung dan dirinya menyeret-nyeret tubuh di tanah. “Semua kita lalui bersama, Kai, susah, senang, dalam keadaan panen, atau pun kelaparan. Ternyata hanya lima tahun kita berjodoh di dunia ini. Tapi, aku akan pastikan kalau kita akan bersama lagi suatu hari nanti.” Nuwa mematikan dan menutup laptonya. Ia berkata demikian seolah-olah mampu menggenggam dunia dan takdir dengan tangan kecilnya. Memang tangan itu cepat dan kuat, tapi manusia tetaplah memiliki keterbatasan. Pagi harinya, atas saran ibu asrama, Nuwa pergi ke kantor pemerintahan untuk mendapatkan kartu identitas diri yang baru. Saran dari ibu asrama agar dia memakai taksi. Namun, karena ada keperluan lain ia pun memilih jalan kaki. Tempat mana yang dituju janda Kai pertama kali? Yaitu salon kecant
Nuwa membuka pintu kamarnya. Dari dulu ia sudah biasa kalau bangun pagi sebelum Shubuh maka akan latihan dahulu bersama Kai. Bertahun-tahun lamanya ia jalani rutinitas itu hingga terbentuklah sebuah tubuh yang tangkas, cekatan, juga kuat. Namun, kini Nuwa bingung. Ia ingin latihan tapi terlalu banyak orang di luar, serta tidak ada boneka kayu. Lompat ke sana kemari nanti pasti akan jadi pusat perhatian khalayak ramai. “Terlalu lama tidak latihan, bisa-bisa hilang semua ilmu yang diberikan oleh Kai. Hanya itu sajalah kenangan darinya yang aku miliki.” Nuwa mengunci pintu kamarnya. Ia berjalan kaki membawa uang saja tanpa ponsel. Sebab tiga hari benda itu tidak ada yang menghubungi. Kontak di ponselnya hanya ada Maira saja. Terus saja ia jalan kaki setelah turun dari kereta cepat yang membawanya ke dekat pinggiran kota. Di sana ia jalan-jalan. Tempat pertama yang Nuwa tuju yaitu toko buku. Dulu dia pernah belajar tentang titik-titik vital tubuh manusia bersama Kai. Ada sebuah kitab k