"Makasih, Nda, Win. Kalian sudah bantu aku di acara syukuran ini," ucap Bram.
"Santai saja, Bram," balas Windy.Acara syukuran malam ini berjalan dengan lancar. Para tamu undangan juga sudah pulang meninggalkan rumah Bram.Tertinggal hanya Manda dan Windy yang membantu Bram merapikan rumah terlebih dulu."Rumah sudah beres. Sekarang kami pulang ya, Bram," pamit Windy."Ini belum terlalu malam. Apa kalian mau minum teh atau kopi dulu?" ajak Bram."Gak usah, Mas. Sebaiknya kami pulang," tolak halus Manda."Ayolah, Nda, Win. Ini malam pertamaku di rumah baru sendirian. Aku masih berusaha adaptasi. Sebentar saja kalian temani aku. Mau ya?" pinta Bram memelas.Manda dan Windy saling bertatapan sejenak."Hanya sebentar saja, oke?" ujar Windy."Oke. Manda, kamu mau kan?""... iya, baiklah," sahut Manda sedikit ragu."Oke. Kalau begitu, kalian duduk saja dulu di teras belakang. Nanti"Di mana Manda?" tanya Papa Hendra pada istrinya."Mama gak tahu, Pa. Mungkin di kamarnya,""Biasanya dia sudah turun untuk sarapan," Papa Hendra melihat ke arah jam tangannya."Mungkin dia gak pingin sarapan, Pa," jawab Mama Andien dengan sikap cuek."Maaf, Tuan. Semalam Bibi lihat Non Manda pulang dengan mata sembab. Bibi gak berani tanya. Non Manda langsung naik ke atas," ucap Bibi Sari sambil meletakkan cangkir teh di depan Papa Hendra."Dia pulang dari mana?""Bibi kurang tahu, Tuan,""Ma, coba lihat Manda. Mungkin dia sakit," pinta Papa Hendra cemas."Kenapa Mama? Manda itu sudah dewasa, Pa. Dia bisa mengurus dirinya sendiri," tolak Mama Andien.Papa Hendra beranjak bangun dari duduknya."Papa, mau ke mana?""Melihat putri kita," jawab Papa Hendra sambil berlalu.***Tok, tok, tok. Suara pintu kamar Manda diketuk oleh Papa Hendra."Manda, kamu di dalam?
Bram membuka pintu rumahnya setelah mendengar suara bel berbunyi.Bram menghela nafas ketika melihat dua orang tamu yang datang."Ada apa kemari?" tanya Bram dengan dingin.Ayu dan Windy tidak menjawab pertanyaan Bram.Ayu menyingkirkan badan Bram yang menghalangi pintu, lalu memaksa masuk ke dalam rumah."Hei, Yu!" tegur Bram.Ayu dan Windy tidak mengindahkan teguran Bram."Kita perlu bicara," Ayu melipat kedua tangannya di dada."Gak ada yang perlu dibicarakan. Jangan ikut campur urusanku dengan Manda," tegas Bram.PLAAAKK! Ayu menampar keras pipi Bram."Itu untuk semalam. Dasar mesum!" geram Ayu.Bram mengelus pipinya yang terkena tamparan Ayu."Jangan memancing kemarahanku, Yu," ucap Bram dengan sikap tenang."Atau apa? Mas Bram mau berbuat kasar padaku? Jangan pikir, aku takut sama Mas Bram," tantang Ayu mendekati Bram."Yu," Windy berusaha menenangkan A
Manda baru saja pulang dari cafe, tempat pertemuannya dengan Windy.Dia hendak naik ke atas, saat suara Mama Andien terdengar lantang memanggilnya dari ruang tengah.Manda menoleh ke arah ibu mertuanya, yang sedang berdiri dengan bertolak pinggang. Tatapan matanya tajam dan ekspresi wajahnya terlihat marah."Ke sini kamu!" perintah Mama Andien.Manda bingung dengan amarah yang ditunjukkan oleh ibu mertuanya itu.Apa mungkin Mama Andien tahu soal dirinya dan Bram, pikir Manda.Seketika pikiran buruk itu membuat Manda menjadi ketakutan. Dia berdiri mematung dengan kedua kaki gemetar."Apa kamu t*li?! Mama memanggilmu ke sini!" bentak Mama Andien.Dengan langkah pelan, Manda menghampiri Mama Andien. Keringat dingin mulai bercucuran di wajah Manda. Dia berjalan sambil menundukkan kepalanya."Kenapa jalanmu lamban sekali!" Mama Andien yang tidak sabar, segera menarik tangan Manda dan membawanya ke ruang teng
"Manda merasa gak enak hati sama Mas Arman. Tanpa sadar, Manda melampiaskan kemarahan Manda padanya," sesal Manda sembari duduk dengan kepala bersandar di kursi."Itu karena pikiranmu sedang kalut saja," hibur Ayu."Apa yang harus Manda lakukan, Yu? Pusing rasanya kepala ini," keluh Manda seraya menelengkupkan kepalanya di antara kedua tangannya di atas meja."Kan sudah kubilang dari awal. Jauhi Mas Bram. Tapi kamu gak mau dengar," gerutu Ayu."Yu ...," suara Manda lirih hampir menangis."Ya, ya, ya, yang sudah berlalu biarlah berlalu. Nasi juga udah jadi bubur,"Ayu mencondongkan badannya ke tepi meja."Manda, kalau soal Sarah itu bukan urusanmu. Jika Arman mau menceraikannya, biarkan saja. Itu lebih baik kan. Kabar gembira untukmu. Tapi kalau soal Mas Bram, mau gak mau kamu harus cerita sama Arman. Apapun resikonya nanti, kamu harus siap menghadapinya,""Itu yang membuat Manda takut, Yu," Manda mengangkat kepa
POV MANDAKami makan siang berdua di sebuah restoran di dekat pantai.Setelah sekian lama kami berjauhan, hari ini kami bisa berkumpul lagi seperti dulu.Mas Arman tidak menunjukkan wajah letih, walaupun dia baru saja melakukan perjalanan jauh dari Hongkong. Wajahnya berseri bahagia seolah tidak ada beban di hatinya.Aku tidak pernah melihat ekspresi wajah seperti itu dari Mas Arman."Kenapa melihatku seperti itu?" Mas Arman menyadari tatapanku."Eh, gak apa-apa. Mas Arman gak capek ya? Seharusnya istirahat dulu di rumah. Ketemu Papa Mama," aku mengalihkan pembicaraan."Nanti saja pulangnya. Mas mau jalan-jalan dulu sama kamu," jawab Mas Arman sambil menikmati makanannya."Ikannya enak. Kamu cobain deh," Mas Arman menyuapkannya padaku.Aku mencicipinya."Iya, enak," jawabku."Kamu gak mau menyuapiku?" pinta Mas Arman dengan manja."Makananku pedas. Mas Arman kan gak suka pedas
Semalam Arman dan Manda menginap di hotel. Arman sengaja tidak pulang ke rumah karena ingin menghabiskan waktu berdua bersama Manda lebih lama.Pagi itu, Manda duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan Arman yang sedang merapikan diri.Dalam pikirannya saat ini sedang mencari cara untuk memberitahu Arman soal masalahnya dengan Bram.Manda tidak bercerita soal Bram pada Arman kemarin. Dia merasa gak enak hati jika harus merusak momen kebahagiaan mereka.Melihat Manda yang sedang memperhatikannya, Arman tersenyum padanya. Manda membalasnya dengan tersenyum tipis.Arman merasa heran dengan sikap aneh Manda. Perlahan Arman mendekatinya, lalu duduk di samping Manda."Manda, kamu sakit?" tanya Arman sambil memegang tangan Manda."Gak, Mas,""Dari kemarin Mas perhatikan kamu sering melamun. Sedang memikirkan apa?""Gak ada, Mas," sanggah Manda dengan gugup."Kamu sedih karena kita harus pulang ke rum
"Jadi bagaimana, Nda? Apa reaksi Arman?" Ayu menyusul Manda ke ruang kerjanya."Manda ... belum cerita, Yu," jawab Manda sambil meletakkan tasnya di atas meja."Kok bisa kamu belum cerita, Nda?" ujar Ayu kecewa."Masalahnya kemarin itu Mas Arman terlihat bahagia. Manda belum pernah melihat Mas Arman sebahagia itu sebelumnya. Manda gak tega kalau harus merusak suasana hatinya,""Terus kapan kamu mau bilang? Jangan menundanya lagi, Nda. Posisimu sekarang ini sedang bahaya," desak Ayu."Hari ini Manda akan ceritakan semuanya pada Mas Arman,"***Sementara itu di ruang kerjanya, Arman sedang fokus membaca beberapa laporan perusahaan.Kemudian sekretarisnya ijin masuk ke dalam ruangannya."Pak Arman, ada kiriman paket buat Bapak," dia memberikan amplop coklat besar pada Arman."Dari siapa?" Arman menerimanya."Kurang tahu, Pak. Tidak ada nama pengirimnya,""Makasih, Bel,"
Daniel baru saja sampai di depan rumah Bram. Dia memarkirkan mobilnya di belakang mobil Arman.Suasana lingkungan perumahan tempat tinggal Bram terlihat sepi saat itu.Daniel berjalan masuk ke halaman depan rumah Bram.Dia segera mempercepat langkahnya ketika mendengar suara teriakan Arman dari dalam rumah.Daniel berhenti sejenak di ruang tengah rumah Bram. Dia terkejut melihat Arman yang sedang menduduki Bram seraya meni*ju wajah Bram berkali-kali."Arman!" Daniel segera menghentikannya.Dia memeluk adik bungsunya itu dari belakang, dan menjauhkannya dari Bram."Arman, hentikan!" perintahnya."Lepaskan aku, Kak! Biar ku hab*si ba*inga ini!!" berontak Arman.Bram berusaha duduk sambil menahan rasa sakit akibat serangan Arman."Berhenti, Arman!! Ini bukan caranya menyelesaikan masalah!!!" seru Daniel.Dengan segenap tenaga, Daniel menarik Arman keluar dari rumah Bram.Suasana