Menikmati cuaca sejuk yang semakin dingin oleh rasaku. Segelas teh, ku genggam erat, berharap bisa membuat hatiku jadi hangat.
Tapi tidak, bahkan Mas Bayu yang duduk menempel di sisi kiriku tak bisa membuat hatiku menghangat.
Di depannya, secangkir kopi yang berhasil kubuat dengan gemetar, masih mengepulkan asap. Tatapnya terbagi antara aku dan secangkir kopi.
"Aku merindukan aroma kopi buatanmu, Ndhis. Aku menikmati setiap gerakanmu saat mengaduk kopi," ungkapnya tadi. Mencoba mengalihkan suasana yang menjadi entah.
"Kopi buatan Bibik, bahkan cafe tak bisa membuatku berpaling. Kopi racikanmu yang terbaik." Tangannya meraih tatakan cangkir.
Aku menunduk. In
"Kenapa, Ndhis?" Suara Mas Bayu membuatku segera menutup pintu.Aku berbalik, dan melihat Mas Bayu berbaring santai di atas ranjang.Hhhh, lagi-lagi aku menghembuskan nafas kasar. Lelaki itu, apa tidak ada niat untuk tidur di kamar lain? Aku sedikit risih berada dalam satu ruangan dengannya.Mas Bayu menepuk tempat kosong di sebelahnya. Memberi isyarat padaku untuk duduk.Ragu aku melangkah.Kali ini kami kembali duduk berdampingan, namun tidak sedekat tadi di kedai kopi. Aku membiarkan jarak membentang tak hanya di hati.Tangan Mas Bayu meraih jemariku, menggenggam seperti ingin menyalurkan rasa h
Mas Bayu menatapku. Tatapan hangat yang akhir-akhir ini kudapatkan darinya."Kalau saja pernikahan kita tidak serumit ini," gumaman lelaki itu memaksaku menentang matanya.Tersadar dari hanyutan gelombang rasa.Kembali layangan bogem seperti menimpa hati. Ya, pernikahan ini terjadi tanpa masing-masing dari kami menginginkannya.Mungkin ini saatnya. Dia, yang tanpa ku pungkiri pernah masuk dan menghuni ruang hati, harus pergi.Kami kembali seperti dulu, saling diam. Aku yang terbiasa membaca gerak tubuhnya, memilih abai.Jika memang harus pergi, pergi saja. Jangan pernah meninggalkan kenangan manis
Dari awal aku menapaki tangga yang rapuh. Walau berjuta keindahan melambai di tingkat teratas, aku seakan tak cukup mampu untuk terus merangkak naik.Sikap mas Bayu terlalu sering berubah-ubah beberapa hari terakhir. Aku tak nyaman. Dia ingin aku menempati posisi. Tapi saat aku berusaha menempatkan diri, dengan kasar menolak. Tanpa sadar dia berusaha menjatuhkan aku.Aku berusaha bangkit, dia berusaha menjauh. Tak berhenti bahkan untuk melihat, apa aku bisa berdiri tegak, atau aku semakin lumpuh.Dia bilang, aku akan menyakiti anak Inara. Pikiran kotor itu bahkan tak pernah terbersit sedikitpun. Sedikitpun.Bahkan aku merasakan ada rasa lembut di hatiku untuk bayi Inara. Rasa membuncah, meletup pelan dan tidak bisa
Tanganku gemetar, banyak tanya menumpuk di pikiranku. Bagaimana bisa bapak menyimpan foto Dilara? Apa hubungan bapak dengan ibu Inara?Siapa saudara kembar Dilara? Apa dia … ibu?Mereka sangat mirip. Hanya rambut dan tawa mereka yang berbeda. Mana Dilara, dan mana ibuku?Aku terus terpaku pada wajah yang selalu tertawa. Mencoba menautkan sebentuk rasa yang hanya bisa diketahui hati.Sekuat tenaga aku mencoba mengingat raut wajah ibu. Namun sia-sia. Aku hanya bisa mengingat suara tawanya yang selalu berderai, juga halus lembut tangannya. Inikah ibu?Siapa nama ibuku? Mungkinkah saudara kembar Dilara ibu kandungku?
Aku berusaha meraup oksigen. Air mata meleleh begitu saja. Haruskah berakhir seperti ini, di tangan lelaki yang seharusnya melindungiku?Saat-saat terakhir ku rasakan tangan Mas Bayu mengendur. Aku terbatuk keras saat dia benar-benar melepas cengkramannya. Sekuat tenaga aku menepuk dada, berharap bisa mengenyahkan sesak yang tak jelas berasal dari mana.Mata tajamnya sekejap meredup. Kelibat rasa bersalah seperti hilang dan timbul bergantian.Belum lengkap kesadaranku, dia kembali berulah. Dengan kasar dijepitnya pipiku dengan dua jari. Kemudian tanpa permisi memasukkan sebutir pil ke dalam mulutku. Aku meronta. Namun tak berdaya untuk melawan. Pil kecil itu berhasil meluncur ke dalam perutku.Setelahnya aku merasakan pelukan erat disertai kecupan lembut di atas kepala. Manusia macam apa yang ada di depanku ini?La
Pak Dirman mengemudi mobil dengan tenang. Namun aku merasa dia menyembunyikan kegugupan.Aku memilih tak mengusiknya. Beruntung bagiku mendapat tumpangan sampai ke pasar. Apalagi darinya aku juga mendapat sedikit titik terang tentang nama ibuku. Selanjutnya aku tinggal mengoreknya pada Pak Mahmud. Sopir keluarga mertuaku."Mau diantar sampai terminal, Ndhis?" tanya Pak Dirman."Ttidak usah, Pak. Sampai pasar saja," sahutku sambil tersenyum.Dari jauh mulai terlihat hiruk pikuk pasar sayur. Sepagi ini banyak pedagang mencari mobil bermuatan sayur. Mendekati kerumunan, Pak Dirman melambatkan laju mobil. Beberapa orang dewasa terlihat naik ke atas bak dengan terburu."Kenapa mereka naik?" ujarku sedikit ketakutan."Tenang, mereka mencari sayur. Kalau ada sayur incaran mereka di mobil ini. Setelah sebelumnya menandai sayur di mobil bapak. Dengan begitu sayur yang dipilih tidak akan diambil pedagang lain." Pak Dirman menje
Tak tahu berapa lama aku tertidur, yang jelas rasa lapar membuatku terbangun. Dengan gerakan lesu aku beranjak turun dari dipan.Saat membuka pintu kamar, aku tak menemukan siapapun di rumah ini. Pasti Pak Mahmud sudah berangkat kerja. Lagi-lagi hanya aku dan sunyi.Mataku tertuju ke arah meja makan, berharap ada sesuatu untuk meredakan lapar. Beruntunh aku menemukan sebuah bungkusan di sana. Semoga ini memang untukku.Tanpa berpikir panjang aku segera membuka bungkusan itu. Nasi putih beserta sayur yang terlihat menggoda. Tak butuh waktu lama, nasi beserta teman-temannya segera berpindah ke dalam perutku.Setelahnya aku berjalan menuju dapur. Disana ada sebuah pintu menuju halaman belakang. Aku mengintip keluar. Aman.Tak ada celah yang akan membuatku terlihat dari rumah seberang. Ya, rumah seberang tembok, rumah Mas Bayu.Sinar matahari yang sedikit terik membuatku menyerngit. Mataku mengamati lahan kosong yang cuku
'Jangan sekarang, Nak,' batinku nyeri sambil tanganku mengusap perut yang mulai sedikit terlihat menonjol.Aku merasa kedutan hebat di rahimku. Apa dia merasakan kehadiran ayahnya?Saat rasa mual semakin menyiksa, aku menyobek sebungkus permen rasa asam. Sedikit membantu. Tapi perutku masih bergejolak. Si mungil yang bahkan baru sebesar biji kacang seperti berjumpalitan di dalam sana.Aku kembali mendengar langkah kaki, kemudian seperti hantaman pada tembok tepat di belakangku. Hal itu membuatku berjengit pelan. Rasa takut membuatku memeluk diri lebih kuat.Bukan, lebih tepatnya aku memeluk perutku, mencoba untuk membuatnya tenang."Tidak ada Gendhis di sini," suara Rizap sayup kudengar."Lalu siapa perempuan yang dari kemarin keluar masuk di halaman belakang? Kamu pikir aku bodoh?" Suara tajam Mas Bayu terdengar menahan geram."Itu Diana, perempuan yang dibayar Pak Mahmud untuk bersih-bersih," elak Rizal.