"Menikahlah denganku maka semua akan baik-baik saja, Serena," ucap Julien, pria berusia empat puluh lima tahun yang memiliki seorang putra yang bahkan lebih tua dari Serena itu tiba-tiba saja melamarnya.
"Apa?" lirih Serena terbelalak.
"Ti ... tidak semudah itu, Tuan," balas Serena dengan gugup sambil menekan keterkejutannya.
"Tentu saja mudah. Kau hanya perlu menandatangani ini." Julien menyerahkan selembar berkas padanya dengan tenang.
Julien yang merupakan ayah dari kenalannya yang bernama Aiden dan pria yang telah ia rawat beberapa bulan itu tiba-tiba saja memintanya untuk menikah dengannya setelah seminggu sebelumnya ia mendapat sebuah telepon yang membuatnya gelisah.
"Bukan pernikahan sungguhan, tetapi pernikahan yang saling menguntungkan. Kau bisa membantuku dengan pernikahan ini, begitu juga sebaliknya."
"Setelah aku tahu tentang kondisi keluargamu dari Aiden, putraku, untuk itulah aku memutuskan untuk menawarkan ini padamu. Bacalah terlebih dahulu dan pikirkanlah."
Selembar berkas lain Julien ulurkan pada Serena yang kini sedang duduk berhadapan dengannya. Walau sedikit ragu, Serena kemudian memutuskan untuk meraih berkas tersebut dan membacanya.
Pikirannya yang bimbang mulai membawanya kembali pada kondisinya yang terasa menyedihkan dan menyesakkannya selama ini. Serena mulai memejamkan matanya dan mengingat lagi pertengkarannya dengan kedua orangtuanya beberapa bulan lalu sebelum ia bekerja di kediaman Julien berkat rekomendasi dari Aiden, putra pria itu.
"Bagaimana? Apakah kau sudah menerima gaji terakhirmu? Mana, berikan," ucap Franky Renault, sang ayah padanya yang baru saja pulang dari pekerjaan paruh waktunya kala itu.
Serena mendesah lelah. "Please, Dad, aku bahkan baru saja pulang. Tuan Riley sudah berjanji akan memberikan itu lusa besok."
"Dan kau percaya itu? Dengar Serena, tagihan biaya rumah sakit Helena sudah keluar. Gaji ayahmu bahkan tak mampu melunasi itu semua. Jika pria tua itu tak juga membayarmu besok, aku akan mendatanginya!" Anie, ibu Serena yang kemudian muncul dari dalam kamarnya turut menimpali.
"Mom, please!" seru Serena. "Aku sudah keluar dari sana dan mendapatkan pekerjaan baru. Aku tak ingin kau membuat Tuan Riley marah hingga ia mempersulitku. Untuk tambahan tagihan itu, biar aku mencari jalan keluarnya. Aku besok akan berbicara dengan bos baruku dan meminta pembayaran di awal."
"Kau pikir bisa semudah itu? Kau masih karyawan baru di kafe itu. Aku akan mendatangi Riley saja dan meminta gaji terakhirmu yang masih tertahan. Jika kau tak mau mendesak pria itu, biar aku yang melakukannya. Apa kau akan membiarkan Helena menderita tak berdaya karena tak mendapat perawatan yang layak hingga ia mati nanti?!"
"Mom!" seru Serena kesal.
Matanya berkaca-kaca karena ia sudah tak dapat membendung lagi emosinya. Dalam benak ibunya hanya Helena, saudara kembarnyalah yang selalu dipikirkannya, seolah hanya ia putri satu-satunya baginya yang paling penting dan berharga.
"Hentikanlah. Kau sudah tahu bagaimana Tuan Riley memperlakukanku, bukan? Tolong jangan menambah masalah lagi dengan mendatanginya. Sejujurnya, aku sendiri bahkan sudah tak berharap banyak ia akan membayar gajiku," lanjut Serena dengan nada memohon.
Anie terbelalak menatap putrinya. "Apa? Jadi kau tak peduli jika kita tak mendapatkan uang itu? Apa kau masih mempermasalahkan tentang bagaimana pria tua itu sedikit menyentuhmu yang kau anggap adalah sebuah pelecehan itu? Sebelumnya, kalau bukan dari dia, dari mana lagi kita akan mendapatkan uang untuk makan dan tambahan biaya perawatan Helena?!"
"Ck! Di sini kaulah yang sudah menyebabkan masalah! Memang kenapa jika ia menyentuhmu sedikit saja? Ia toh tak melakukan hal lainnya. Harusnya kau tetap bersikap baik padanya sampai ia membayar gajimu! Tahanlah sedikit lagi setelah ia mengeluarkan uangnya. Bukan dengan cara berhenti tiba-tiba dan melawan pria itu terang-terangan hingga memukulnya sampai jatuh. Sudah beruntung ia tak menuntut dan melaporkanmu, dasar anak tidak berguna!"
Serena membeku dan mengerjap tak percaya dengan apa yang sudah dikatakan ibunya padanya. Walau ibunya memang sering memarahinya dan mengatainya dengan ketus serta kasar, namun terkadang ia masih begitu terkejut dan tak ingin percaya.
"Mom, please," isak Serena kembali memohon dengan air mata yang tak dapat ia bendung lagi karena mentalnya telah kelelahan. "Kau tahu bahwa ia tak sekadar ingin menyentuhku saja, bukan? Ia ingin melecehkanku, Mom! Haruskah aku diam saja? Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu padaku seolah itu bukan suatu masalah yang penting? Aku ini juga putrimu. Bisakah kau sedikit peduli padaku?!"
Ia kemudian hanya bisa berlalu dari kedua orang tuanya dan masuk ke dalam kamarnya sendiri untuk menangis tersedu-sedu. Ia sudah terlalu lelah dan sakit hati. Baik secara fisik maupun mental karena perlakuan kedua orang tuanya selama ini. Terlebih, setelah Helena mengalami kecelakaan, mereka seolah semakin menekannya dan menuntutnya untuk membantu menyediakan biaya perawatan rumah sakit.
Ya, sudah delapan bulan ini kehidupan keluarga Serena mengalami kesulitan setelah saudara kembarnya yang bernama Helena mengalami kecelakaan dan terbaring koma. Serena yang sedang berkuliah di tahun terakhirnya terpaksa harus mengambil cuti untuk mencari pendapatan tambahan agar dapat membantu kedua orang tuanya.
"Serena, bagaimana?" suara Julien mengembalikannya ke kesadarannya lagi.
Berkas yang bertuliskan tentang 'Kontrak Perjanjian Pernikahan' yang masih dipegangnya erat itu membuat jantung Serena berdegup kencang. Ia sadar, jika bukan karena bantuan Aiden yang memberikan pekerjaan ini padanya tiga bulan lalu, mungkin ia masih akan sering berdebat dengan kedua orang tuanya mengenai biaya perawatan Helena dengan pertengkaran-pertengkaran sengit yang melelahkannya.
Walau belum mampu menutup semua hutang biaya perawatan itu, namun tiga bulan terakhir dengan gaji yang Julien berikan padanya, sudah cukup dapat menutup sebagian kekurangan biaya rumah sakit yang sempat menunggak beberapa kali. Itu saja sudah membuat Serena merasa sangat bersyukur.
Kini, ia bahkan dihadapkan pada penawaran lainnya yang malah lebih baik lagi. Siapa yang tak tergoda dengan penawaran menggiurkan yang sangat menguntungkan baginya ini? Mengingat keadaan keluarganya sekarang memang sedang terpuruk, Serena berpikir keras hingga tanpa sadar mengerutkan alisnya.
"Pikirkanlah dengan perlahan saja. Jika kau memerlukan waktu karena belum dapat memutuskan, maka aku akan memberikannya," ucap Julien lembut tanpa penekanan pada Serena yang sedang bimbang.
Julien sendiri tahu, pasti sangat sulit bagi seorang gadis muda seperti Serena untuk membuat keputusan pada sesuatu yang tiba-tiba disodorkan padanya, seperti perjanjian dan pernikahan dengan pria tua seperti dirinya. Terlebih, jika itu merubah statusnya menjadi seorang istri dalam sekejap.
"Ah, Tu ... Tuan, saya ..." Sebelum Serena sempat menjawab, ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia hanya perlu melirik sekilas layar ponsel yang ia ambil dari kantongnya itu saat sebuah notifikasi muncul dengan tertera nomor ayahnya. Tak perlu lagi baginya untuk membuka pesan itu, karena Serena sudah tahu betul apa isinya.
Ayah dan ibunya selama delapan bulan ini hanya menghubunginya jika itu menyangkut tentang uang dan uang. Selalu uang dan biaya perawatan Helena yang mereka ributkan padanya. Ia sesungguhnya sudah lelah dan muak dengan perlakuan dan tekanan mereka padanya yang seolah tak pernah merasa cukup dengan semua pengorbanannya untuk keluarganya selama ini.
Merasa sudah lelah dengan semuanya, Serena kemudian mengembuskan napasnya dan memantapkan hatinya sebelum akhirnya berani menjawab, "Baiklah, Tuan, saya menerima penawaran kontrak perjanjian ini," tegasnya kemudian.
____****____
"Apa? Apa benar kau menikah dengannya? Dengan gadis cilik ini? Apa kau ingin aku memercayai semua lelucon ini, Julien? Kau pasti berpura-pura saja, kan!"Suara keras dari seorang wanita cantik berumur kisaran empat puluh tahun itu memenuhi kamar Julien, duda satu anak yang berumur empat puluh lima tahun karena ia baru saja menerima berita yang tak masuk akal."Tak perlu berteriak, Lucia, bukankah kau sudah jelas mengetahui itu setelah kau membaca berkas pernikahanku? Untuk itulah kau terburu-buru datang kemari, bukan?" balas Julien tenang."Bagaimana aku tak berteriak setelah mendengar lelucon murahanmu itu! Kau apa? Kau mengatakan bahwa kau menikah dengan jal*ng cilik itu? Kau kira aku akan percaya begitu saja, Julien?!""Lucia, jaga mulutmu!" Kali ini Julien berseru dengan suara menggelegar karena hinaan wanita itu yang ditujukan pada istrinya.Walau begitu, wanita berpotongan rambut bob berwarna merah itu tampak tak terlalu terkejut. Ia malah tersenyum sinis dan mendekat dengan ges
"Aiden Clark Johansen, bisakah kau tak mempermalukan Serena dan ayahmu dengan kelakuanmu tadi di depan para pelayan?" ucap Julien setelah mereka masuk ke dalam ruang kerjanya untuk melanjutkan pembicaraan.Setelah tadi Julien memerintahkan Aiden untuk mengikutinya ke dalam ruang kerjanya, Serena dengan sigap mendorong kursi roda milik Julien dengan patuh dan makan malam mereka pun otomatis berakhir.Aiden menghempaskan dirinya di atas sofa besar di dalam ruang kerja sang ayah sambil mendesah. "Aku begitu lelah dengan shift dobel yang ditimpakan seniorku padaku sejak kemarin aku bertugas di bangsal UGD. Aku bahkan belum beristirahat dengan benar dan hanya makan satu kali sejak itu. Jadi tolong, Dad, jelaskan saja dengan singkat agar tak banyak perdebatan yang membuang energiku karena aku masih membutuhkan istirahat.""Kau tahu berita itu dari siapa?" tanya Julien tanpa berbasa-basi."Dari mantan istrimu, siapa lagi? Hanya ia yang masih gigih mengusikku karena berharap kau akan memperha
Serena hanya mampu menatap pintu berkaca yang memisahkan kamar Helena dengan koridor saat Anie ibunya, menahannya ketika ia ingin masuk ke dalam kamar saudara kembarnya itu."Helena sedang tertidur, jangan kau ganggu dirinya. Ia belum tahu jika aku telah memberitahumu tentang kondisinya. Ia berkata tak ingin bertemu denganmu sebelum ia merasa kuat dan sepenuhnya pulih. Jadi, untuk sementara kita rahasiakan ini darinya dan tunggu saja hingga ia mau menemuimu, mengerti?""Tak bisakah aku menemuinya sebentar saja, Mom? Aku hanya ingin melihat keadaannya," balas Serena.Anie menatap Serena dengan kesal. "Lalu, apa yang akan kau lakukan? Apa kau ingin membuatnya kesal dengan memamerkan tubuh sehatmu dan berdiri di hadapannya yang masih terlihat menyedihkan? Apa itu yang kau inginkan? Apa kau akan menyombongkan kesehatanmu bahkan mungkin juga pernikahanmu sekarang? Kau ingin membuatnya terluka dengan semua yang kau miliki itu, begitu?""Mom? Mengapa kau berpikir seperti itu?" ucap Serena ta
Esoknya ...."Di sini kau rupanya, jal*ng kecil!" Ucapan sinis keluar dari mulut Lucia begitu ia masuk ke dalam ruang perpustakaan milik Julien yang tergolong besar itu saat Serena mengerjakan tugas kuliahnya.Siang itu Lucia yang mengenakan rok mini berwarna hitam dan berjalan cepat ke arahnya, menatapnya dengan berapi-api. Heels miliknya yang beradu dengan lantai terdengar begitu berisik karena ketergesaannya."Apakah karena mengincar deposito itu maka kau merayu Julien hingga ia menikahimu? Jal*ng kotor!" umpatnya kasar. "Sudah kukatakan jangan macam-macam denganku tapi kau berani tak mendengarkannya? Kemasi barangmu sekarang juga sebelum aku membuatmu menyesal karena telah mendekati apa yang tak seharusnya kau dekati, jal*ng kecil!"Gebrakan pada meja karena pelampiasan amarah Lucia membuat Serena tersentak. Serena lalu mengembuskan napasnya agar tak terpancing emosi setelah mendengar makian wanita itu."Nyonya, apa suamiku tahu Anda datang berkunjung ke mari?" tanyanya tenang."M
Malam itu di ruang bacanya, Julien mendesah kesal setelah ia selesai melihat lagi rekaman kamera pengawas yang terpasang di rumahnya yang menyorot dengan jelas kejadian siang tadi ketika Lucia menganiaya Serena sementara dirinya tak ada di tempat.Ia yang begitu geram, rasanya ingin menghubungi pihak berwajib saat itu juga agar wanita penyihir itu ditangkap ketika ia mendapatkan laporan mengejutkan tersebut. Tapi, ia lagi-lagi harus menahan dirinya sendiri karena ia masih memikirkan Lidya, putri Lucia satu-satunya.Bagi Lidya, Lucia adalah orang tua terbaik karena selama ini wanita itu telah berjuang seorang diri sebagai ibu tunggal yang menjaganya setelah ayah mereka meninggalkan mereka sejak kecil. Bahkan perceraian yang terjadi setahun yang lalu itu pun, Lidya tak benar-benar tahu alasan yang sebenarnya.Lagi-lagi, karena mempertimbangkan perasaan gadis itu, Julien memutuskan untuk tak memberitahu alasan yang sebenarnya padanya. Ia bahkan rela memberikan harta sesuai kemauan Lucia
"Aku adalah pria terbaik Serena yang selalu ada untuknya. Kau siapa?" balas Calvin tak gentar.Aiden tertawa kecil karena sikap arogan yang Calvin tunjukkan padanya yang seolah-olah ia berhak bertindak apa pun pada Serena karena ia adalah kenalannya."Hah, pria terbaik, ya? Apa kau yakin? Bagaimana jika kukatakan Serena adalah wanitaku?" balas Aiden tak mau kalah.Serena dan Calvin sama-sama membelalakkan kedua bola matanya karena terkejut mendengar ucapan Aiden."Apa?" Calvin menatap Serena seolah ingin meminta penjelasan pada gadis itu atas ucapan yang mengejutkannya itu."Benarkah itu, Seren?" tanyanya kemudian. Ada raut kekecewaan dalam wajahnya."Begini, Calvin, aku bisa menjelaskannya," ucap Serena gugup."Mengapa kau harus menjelaskan sesuatu pada pria yang bukan kekasihmu ini, Serena?" timpal Aiden sambil menatap Calvin yang melihatnya tak suka."Kau bukan kekasihnya, kan? Jika benar kau adalah prianya, aku tak mungkin tak tahu akan hal itu. Apa kau tak tahu apa hubunganku den
Malam itu Julien diam-diam masih mengamati Serena yang terlihat sering melamun setelah ia pulang dari kampusnya semenjak siang tadi. Bahkan sampai malam selesai, Serena terlihat tampak tidak fokus dengan apa pun yang sedang dikerjakannya. Hanya dengan melihat raut wajahnya, Julien sudah dapat menebak bahwa telah terjadi sesuatu lagi pada gadis itu.Seperti saat ini, gadis itu bahkan tampak banyak melamun walau sedang menghadap laptopnya. Ruang baca yang hanya diisi mereka berdua tampak lebih hening dari biasanya."Apa ia masih begitu sibuk hingga tak sempat membalas pesan-pesanku, ya?" gumam Julien sambil menatap ponselnya. Ia sendiri tak fokus pada berkas-berkas yang seharusnya ia periksa.Julien yang sejak siang sudah merasakan keanehan pada Serena, segera mengirim pesan pada Aiden dan bertanya apa mungkin telah terjadi sesuatu pada gadis itu saat ia mengantarkan barang untuk putranya, sesaat setelah Serena kembali ke rumah dengan wajah sedikit lesu. Namun hingga malam menjelang, ia
Julien masih mencoba berkonsentrasi dengan pekerjaannya sesaat setelah ia berteleponan dengan Aiden tadi. Walau raut wajahnya terlihat serius, namun sesungguhnya ia tak dapat sepenuhnya fokus pada pekerjaannya."Maaf jika aku menyela, tapi adakah yang Anda inginkan, Tuan?" tanya Serena pada Julien yang masih tampak fokus dengan berkas tebal yang sedang dibacanya.Julien melepas kacamata baca miliknya dan menatap Serena yang telah merapikan buku-bukunya. Gadis itu kini telah mencepol rambutnya dan terlihat sedikit lelah saat ia melipat kacamatanya sendiri."Kau sudah selesai?" tanya Julien."Ya." Serena mengangguk. "Jika Anda belum selesai, aku bisa membawakan kudapan atau minuman hangat selagi Anda menyelesaikan memeriksa naskah tersebut."Julien sedikit terkejut ketika ia melihat jam tangannya. "Sudah jam sebelas rupanya. Apa kau sengaja menungguku?" tanyanya."Tidak. Aku juga baru menyelesaikan tugasku."Julien tersenyum kecil karena ia yakin Serena tak mengatakan yang sebenarnya. "