Serena kini sedang berada di sebuah rumah peristirahatan yang terletak di pedesaan indah dan terlihat nyaman di daerah pinggiran perbatasan kota yang sibuk setelah Julien menjemputnya.Mereka berkendara sekitar satu jam dari kampusnya untuk mencapai Hampstead, tempat di mana rumah peristirahatan milik klien Julien berada. Hampstead merupakan salah satu desa di sudut London yang banyak memiliki bangunan-bangunan indah.Dan benar saja, sesuai dengan perkiraannya, klien Julien memiliki rumah yang bergaya klasik dengan halaman indah yang dihiasi oleh berbagai macam tanaman dan bunga-bungaan. Serena merasa takjub melihat rumah indah beserta pemandangan di sekitarnya saat mereka dibawa ke area makan yang berdampingan dengan taman belakang."Oh, Julien, senang kau bisa langsung mengunjungiku. Mari kita nikmati makan siang kita."Seorang pria lanjut usia berambut putih dengan kerutan di mana-mana masuk ke area ruang makan dengan duduk di atas kursi rodanya. Ia membawa tongkat bantu jalan dan
Georgio memasukkan ponselnya ke dalam saku setelah ia mengirimkan sebuah pesan. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu sejak Serena dan Julien pulang dari kediaman rumah peristirahatan kakeknya, namun ia masih saja duduk tak bergeming di sofa di ruang tamu.Pikirannya melayang lagi saat ia bertemu dengan Serena tadi. Ia tak menyangka jika Serena adalah istri Julien. Terlebih, pria itu adalah pemilik perusahaan penerbitan yang diminta kakeknya untuk membuat biografi mereka sebelum ia menutup usia.Walau awalnya enggan, tapi akhirnya Gio menyetujui ide tersebut untuk mewujudkan keinginan sang kakek."Dunia ternyata begitu sempit. Tak kusangka aku akan bertemu denganmu lagi dengan cara seperti ini, Serena," gumam Georgio sambil mengerutkan alisnya karena ia berpikir begitu keras."Aku tak menyangka kau adalah istri Julien. Kebetulan yang sungguh menggangguku. Untuk itu, bukankah lebih baik jika aku memastikan lagi rasa penasaranku ini, bukan?" ucapnya lagi.Tatapannya penuh arti dan taja
Serena merintih perlahan. Ia mengerjapkan kedua matanya dan memperhatikan sekelilingnya. Tak lama ia menyadari bahwa dirinya telah terbaring di atas kamar yang asing."Kau sudah siuman?" Suara Gio yang pertama kali ia dengar membuatnya tersentak.Ia mendapati pria itu menatapnya dengan prihatin dan berjalan mendekat ke sisi ranjang. "Apa yang kau rasakan?" tanyanya lagi."Apa yang terjadi?" tanya Serena."Kau pingsan. Aku telah memanggil dokter untuk memeriksamu tadi. Ia mengatakan kau hanya kelelahan dan shock. Selama kau mengonsumsi vitamin dan makan dengan baik maka kau dan bayimu akan baik-baik saja."Serena refleks meraba perutnya. Ia memejamkan matanya sejenak. Air mata kembali mengalir di wajahnya. "Bagaimana dengan ...."Ucapannya terhenti karena ia tak sanggup meneruskannya."Maksudmu suamimu? Maaf, tapi ia tak kembali," ucap Gio dengan nada menyesal.Serena mengusap air matanya dan menggeleng. "Aku mengerti. Baiklah, terima kasih atas bantuanmu, tapi aku rasa aku harus pergi
Siang itu, tampak seorang pria sedang berjalan tergesa-gesa ke dalam sebuah ruangan yang digunakan untuk para dokter magang beristirahat dengan napas memburu. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan itu dan menemukan sosok yang sedari tadi dicarinya. Tanpa pikir panjang, ia masuk ke dalam ruangan tersebut dan mendekat ke arah pria berjas putih itu."Di manakah Serena berada?" tanyanya tanpa berbasa-basi hingga membuat dokter muda yang setengah terlelap itu terbangun karena terkejut."Kau Aiden, putra Julien Morgan Black, bukan?" todongnya lagi sebelum pria itu sepenuhnya sadar."Siapa kau?" tanya Aiden sambil mengerjapkan matanya tanda masih lelah."Ma ... maaf dokter Aiden, aku sudah mencoba menghalaunya tapi tuan ini tetap menerobos," ucap seorang perawat yang tampak tergopoh-gopoh di belakang pria itu."Tak apa, aku bisa mengatasinya," balas Aiden. Lalu perawat itu undur diri.Karena ruang istirahat sedang sepi dan hanya dirinya yang berada di sana, maka Aiden membiarkan
"Dad!" Aiden langsung menyerbu ruang kerja ayahnya begitu ia sampai di kediamannya.Karena tak menemukan ayahnya, ia berhambur ke berbagai ruangan di sekitarnya. Simon kemudian menghampirinya yang tampak gelisah."Tuan sedang tak ada di rumah, Tuan muda," ucap Simon."Lalu, di mana Serena?" tanya Aiden."Nyo ... nyonya juga tak ada.""Apa kau tahu ke mana ia pergi? Tidakkah kalian melihat kepergiannya?"Simon menggeleng pelan. "Sepertinya Tuan sedang mencari Nyonya."Aiden mendesah frustasi. "Dasar, Dad, apa yang telah ia lakukan pada Serena!" gumamnya kesal.Aiden kemudian memutuskan untuk keluar. Dan ketika ia sampai di halaman ia melihat mobil ayahnya masuk. Tak ingin menunggu lama, ia segera menghampiri mobil hitam yang semakin mendekat itu."Dad, apa yang terjadi? Di mana Serena? Apa benar telah terjadi sesuatu dengan kalian?" todong Aiden langsung ketika sang ayah keluar dari mobilnya.Julien yang berwajah muram tak segera menjawab pertanyaan putranya. Ia segera masuk ke dalam r
"Gio?" Serena membelalakan kedua matanya yang masih berair. Wajahnya yang sembab menunjukkan raut yang begitu terkejut."Apa yang kau lakukan di sini seperti orang bodoh? Tak tahukah kau beberapa hari ini kau benar-benar telah membuatku frustasi. Mengapa kau tak menjawab panggilan telepon dan pesan-pesan itu?" balas Gio masih sambil mengatur napasnya."Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?" tanya Serena lagi mengulang pertanyaannya.Tak langsung menjawab, Gio malah memperhatikan wajah manis wanita di hadapannya itu. Wajah yang sembab dengan mata yang berair. Semburat kemerahan yang menghiasi kedua pipi dan hidungnya sejenak membuat Gio bergetar. Manis. Sungguh pemandangan yang tampak manis baginya.Rambut Serena yang sedikit berantakan dengan kunciran ala ponytail nya itu, dan pakaian kasual yang dikenakan wanita itu, serta wajah polos tanpa makeup miliknya, entah mengapa membuatnya terlihat jauh lebih segar.Gio berdehem sebentar untuk mengalihkan fokusnya. Dalam hatinya ia merasa
Julien mengerang dan merintih kecil dalam tidurnya. Dalam kamar yang kosong yang hanya ada dirinya sendiri, ia lagi-lagi bermimpi buruk. Keringat menetes deras dari tubuhnya. Dalam mimpinya, ia melihat sesuatu yang sangat menyeramkan.Ia melihat genangan darah dan sesosok wanita yang tergeletak sambil melotot menatapnya. Di pergelangan tangannya mengalir darah segar yang tak kunjung berhenti akibat luka sayatan yang dalam yang memutus nadinya. Wajah wanita itu bersimbah darah. Dan dalam wujudnya yang mengerikan itu, mulutnya mulai bergerak. Ia berkata lirih."Julien ... ini anakmu ... percayalah padaku, Julien," rintihnya dengan suara menakutkan.Julien menggeleng keras. "Ti ... tidak, tes itu tak mengatakan seperti itu!" Ia merasa ngeri melihat sosok wajah wanita tersebut."Julien ... ini anakmu ... Julien. Apa kau tak ingin melihatnya? Ini anakmu!""Ti ... tidak, hentikan ... jangan menggangguku. Pergilah kau, pergi!" seru Julien."Julieen ... percayalah. Ini anakmu ... Julieen." La
Helena tersenyum kecil ketika memandang rumah besar Julien setelah ia turun dari sebuah taksi. Pagi itu, ia sengaja bangun lebih awal dan memaksa ibunya untuk membuatkan sup hangat yang biasa disajikan ketika ia sakit untuk mengunjungi Julien dan diberikan kepadanya."Ck, ini sedikit menyesakkan," gumam Helena sambil melepas lagi satu kancing blouse teratasnya.Ia sebenarnya tak terlalu suka dengan pakaian yang sedang dikenakannya sekarang. Tapi setelah melihat-lihat berbagai macam jenis pakaian yang Serena miliki di kediaman Julien tempo lalu, ia terpaksa menyamakan gaya yang disukai pria itu untuk setidaknya mendapat perhatian dari Julien.Gaya yang sopan, bersih, dan terkesan anggun sebenarnya jauh dari seleranya karena ia lebih menyukai sesuatu yang terbuka dan terlihat seksi. Tapi, sebelum keinginannya terwujud sampai mendapatkan Julien, ia harus menyesuaikan diri dan mencoba semua cara, bukan?"Silakan Nona, Tuan sedang berada di ruang kerjanya."Simon, pelayan Julien mempersila