Astaga!Jaka terperanjak karena matanya jelas melihat sebuah paku berukuran besar yang tertancap di sebuah bilah kayu menembus badan ban mobilnya. Dengan cepat dia menariknya dan....Apa ini?Bowo semakin kaget saat tangan Jaka malah berlumuran darah setelah menarik kuat bilah kayu itu. Kernet muda itu kemudian menatap mata Jaka dalam untuk memahami apa sebenarnya yang sedang mereka alami siang ini. "Ini darah," lirih Bowo dengan mata yang terbelalak karena rasa takut seketika memenuhi kepalanya."Ba---gaimana bisa ada darah di..." Jaka memutar bilah kayu itu untuk melihat apa gerangan yang sempat tertancap di bilah kayu ini hingga mengucur deras darah segera dari ujung paku yang mustahil tiba-tiba berdarah."Apa mungkin..." Bowo menelan anak katanya sebelum memutar kepalanya ke arah ban yang kempes karena paku besar ini. "Tidak mungkin," jawabnya sendiri."Apanya yang tidak mungkin?" tanya Jaka yang masih belum paham tentang kejadian ini.Bowo lalu mangkit dari tempatnya jongkok meme
Jaka masih menatap wajah Bowo yang begitu kaget dengan kabar yang baru saja dia terima. Supir tampan itu terus saja mengamati wajah itu meski tidak kunjung mendapatkan jawaban.Bowo sebenarnya ingin sekali menjelaskan kepada Jaka apa yang terjadi jika pemilik rumah duka meninggal seperti cerita yang selama ini dia percaya, tapi dia takut cerita ini malah jadi kenyataan dan tentunya itu akan berdampak pada pengiriman peti ke kota ini.Setelah lama terdiam, Jaka akhirnya mengikuti petugas rumah duka untuk menyelesaikan tugasnya yaitu mendapatkan tanda terima dari kantor, bukti dia telah mengirim peti dalam keadaan baik selama perjalanan.Seorang pegawai wanita kemudian membubuhkan stempel di surat jalan yang dibawa Jaka lalu mem-fotocopy 2x kali sebagai arsib bagi rumah duka."Jadi ini sudah selesai?" tanya Jaka setelah surat jalannya dikembalikan pegawai bagian administrasi rumah duka.Wanita itu kemudian berdiri lalu dengan ramah berkata. "Sudah, Mas. Tapi makan siang dulu, ya,"Ahay!
"Aku nggak mau tau, Mas! Pokoknya hari ini kamu harus dapet kerja!"Petak rumah persegi yang cukup sempit itu tidak pernah sepi. Gema suara Roro terus mengalun hingga sang suami frustasi sendiri. Barangkali para tetangga pun tidak berhenti mendengar pembicaraan mereka.Pasalnya, Jaka—suami Roro belum mendapatkan pekerjaan semenjak jatuh miskin. Waktu pria itu habis hanya untuk tidur, menonton televisi, dan main catur bersama para tetangga di warung.Jaka masih mencoba mengusap punggung Roro, meminta wanita itu untuk tenang. Dia malu kalau seisi kompleks perumahan kecilnya itu mendengar bentakan Roro setiap hari."Sabar, Neng. Aku juga masih berusaha nyari kerjaan. Kamu doain aku dong. Jangan malah dibentak-bentak kayak gini."Jaka beralih mengusap perut buncit Roro dan mencoba memeluknya. Akan tetapi, wanita itu malah menepis. Tatapan tajamnya sungguh sadis. Hingga di detik itu Jaka menciut dan memilih mundur sedikit jauh dari wanita itu."Sabar-sabar! Dari dulu tetep aja disuruh saba
“Kau mau lamar kerja?” tanya seorang petugas keamanan saat melihat pria 28 tahun itu melangkah penuh semangat.“Iya, saya mau lamar kerja! Apa perlu bikin surat lamaran?”“Eh! Tidak usah!” petugas itu lalu menyodorkan selembar kertas formulir untuk diisi. “Ini bolpoinnya. Isi aja, nanti aku yang antar ke HRD!”“Segampang itu?” Jaka tak menyangka akan mendapatkan kemudahan di awal. Biasanya untuk melamar kerja dia harus membawa selembar surat dengan tulisan tangan yang rapi dan beberapa kelengkapan lain, tapi disini semua terbalik.Ini!Jaka menyodorkan formulir itu dan diterima dengan senyuman oleh petugas keamanan.“Baik! Sambil nunggu hasil kamu boleh ambil rokok sepuasmu!” tunjuk pria paruh baya itu ke arah meja yang terdapat rokok berbagai merek.“Enak amat!” celetuk Jaka lalu tersenyum.“Kerja di sini itu enak, cuma sayang jarang banget orang yang mau ngisi posisi di sini!”“Oh, ya!”“Sudah, sambil nunggu silahkan ngerokok dulu. Ada kopi juga di meja itu!”Jaka hanya mengangguk l
Tangis sesegukan terdengar semakin kencang. Telinga Jaka seperti bergetar, ingin menolak suara itu merasuki otaknya. Dia kembali memejamkan mata, sedangkan suara klakson semakin ramai menegurnya.Jaka menarik napas dalam-dalam. Bayangan tentang Roro yang akan marah besar bila ayam potong dan beras itu tidak dapat dibelikan menggerayangi otaknya. Di samping itu, dia memikirkan tentang keadaan anaknya. Kalau sampai pada titik Roro harus bersalin dan dia belum mendapat uang sama sekali, Jaka tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Dia akan menjadi pria paling gagal dalam memperjuangkan keluarganya.Jaka memungut kembali serpihan-serpihan keberanian yang tercecer dan kembali menyalakan mesin mobil. Dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat tujuan. Terlepas dari rasa takut yang menyerangnya dan keinginan mendapatkan uang lebih cepat, ada amanah dari Danu yang harus dirampungkan.“Sedikit lagi Jaka! Sedikit lagi!” bisiknya menyemangati diri.Jaka mempercepat laju mobil begitu sampai di
“Kenapa, Mas?” tanya Bowo sambil terkekeh. “Ah! Nggak!” jawab Jaka sok berani. Dia sebenarnya takut bukan main tapi bukan Jaka anaknya Pak Gunawan kalau dia harus terlihat penakut di depan teman kerjanya.“Kalau gak ada apa-apa kita sarapan dulu aja!” lanjut Bowo.Roti basah yang dibekalkan Roro dari rumah ludes sudah. Jaka langsung membuang bungkusnya dan segera menandaskan secangkir kopi yang disiapkan Danu. Bowo juga ikut menghabiskan kopi jatahnya lantas memeriksa mobil."Saya Jaka. Pekerja baru yang katanya bakal nganter peti mati bareng Bowo."Bowo mengangguk. "Wah, kamu masih keliatan muda banget. Salam kenal, saya Bowo yang bakalan jadi kernet kamu hari ini," jawabnya sembari tersenyum.Keduanya sudah siap untuk berangkat. Usai memasuki mobil, mereka langsung mengenakan sabuk pengaman. Gas ditarik pelan dan mobil berhasil memotong jalan, menyusul kendaraan lain yang lewat.Perjalanan pagi ini masih cukup lancar. Belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Matahari pun belum m
Seketika Jaka menelan salivanya. Pikiran buruk kembali hadir. Nama-nama saudara Ayah dan pada karyawan itu berbaur dengan sekian banyaknya keluarga Ibu. Kembali Jaka ingin kenangan tentang satu per satu keluarga Ibu. Termasuk Rani.Kalau bukan keluarga Ayah yang berbuat jahat, tidak ada opsi selain keluarga Ibu. Kini pertanyaan Jaka menjadi sangat kompleks.'Apakah keluarga Ibu yang membunuh Ayah dan merampas semua harta Ayah?'Jaka bergegas mengantarkan peti mati tersebut dengan kecamuk pikiran buruknya. Dia terus mencari korelasi yang tepat tentang peran penting keluarga Ibu di tengah kebangkrutan perusahaan Ayah.'Apakah kematian Ibu dua tahun yang lalu membuat mereka merasa bebas dan semakin semena-mena dengan keluargaku?'Jaka berceloteh dalam hati, menafsirkan apa pun yang sekiranya bisa memecah kebisingan dalam benak.Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke alamat tujuan. Jaka langsung tahu di mana persisnya rumah yang dimaksud Danu.Jaka langsung memberhentikan mobil
"Ngomong apa kamu, Ka? Aneh! Kamu pikir aku nggak bisa marah sama kamu karena tuduhan ini?" kesal Irwan pada Jaka yang begitu berani di hadapannya. "Apa karena kamu jatuh miskin kamu jadi minim ahlak?" Jaka menatap nanar ke arah Irwan yang begitu marah di depannya. Dia sadar saat ini dia tidak punya dasar untuk melanjutkan perdebatan yang pasti akan jadi panjang kalau dia lanjutkan."Sudah, kalau kamu tidak mau ribut sama aku, pergi aja sana. Kita hidup masing-masing, jangan saling ganggu toh perkataanmu itu nggak mungkin ada buktinya," Irwan berbisik penuh penekanan sambil menatap tajam ke mata Jaka yang memang dia yakini berbicara tanpa dasar.Irwan lalu menunjuk ke arah pintu keluar dengan senyuman licik seakan mengusir putra yang kini sudah tidak berharta. "Aku akan kembali," bisik Jaka dengan tatapan perlahan meredup. "Aku akan cari bukti untuk seret kamu dari sini,""Ok, cari saja. Kalau kamu bisa dapat, aku akan pergi dari sini dan mengembalikan semua harta yang kamu tuduhkan