Share

Menyusun rencana

"Penjagaan di selatan lebih ketat ... aku tidak mungkin ke sana. Tapi jalan yang kulewati kemarin lalu bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi ... penjagaannya pasti ditambah." Mulutnya bergerak, bersahutan dengan pikirannya.

".... Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi membutuhkan waktu lebih lama. Dan tentu penjagaannya pasti ditambah juga."

Shaw menegakkan diri; melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Pandangannya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan; secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.

Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik dengan cepat, namun belum bisa dikatakan sembuh 50%.

"Aha!" Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlintas dalam benak.

"Kurasa aku bisa menggunakan cara itu. Yah, meski akan memakan waktu lebih lama. Tapi setidaknya itu yang paling aman untuk dicurigai."

Kepalanya mengangguk-angguk.

"Tapi ... bagaimana jika penjaga tidak mengizinkan? Dan, bagaimana jika Kakek dan Nenek juga tidak mengizinkan? Atau yang paling parah, bagaimana jika diizinkan tapi dengan syarat tidak boleh sendiri?"

Shaw mengerutkan dahi, memajukan tubuh dan menopang dagu.

"Oh!"

Lagi, ia menegakkan tubuh dan mengangkat jari telunjuk tangan kanan.

"Aku bisa meminta Bold untuk menemani. Mereka pasti akan mengizinkan, termasuk Kakek dan Nenek."

Dan sekali lagi, kepalanya mengangguk-angguk.

"Otakku memang baik dan perhatian!"

Senyuman lebar menyerupai seringai terlukis di wajahnya yang sudah terlihat lebih segar dibandingkan beberapa hari kemarin. Shaw menaik-turunkan alisnya, lalu mengedip-ngedipkan matanya jenaka.

Meja dan ranjang ia rapikan. Kemudian disambung dengan membersihkan rumah. Barang perabotan yang tak seberapa mewah itu dilap. Lemari, meja, kursi, tak luput dari jangkauan tangannya. Arkian, ia beranjak mengambil sapu. Lalu kain pel. Menjamah setiap sudut rumah.

"Kakek dan Nenek pasti akan senang! Atau mereka justru akan marah? Tapi ini bagus untuk meregangkan tubuhku. Haaahh ...." Kedua sudut bibir Shaw mengembang. Tangannya terlentang, menghirup oksigen dalam-dalam seraya memejamkan mata.

Indah pemandangan halaman rumah yang bersih dengan rumpun tanaman pancarona. Segar ambu terhirup penciuman. Dipejamkan mata; menikmati semilir sejuk sarayu menyentuh kulit yang belum kering benar seusai membersihkan diri.

Daksa sudah cukup ia manjakan. Sedikit memaksa berdamai dengan air akan membuatnya terbiasa. Meski itu artinya merelakan air mata meluruh berderai, berbaur dengan air.

Sejuk sungguh dersiknya, menggugah batin Shaw akan rindu pada bukit batu timur; sudah beberapa hari ini ia tidak ke sana. Lantas teringat pula pada Bailey, yang tak terlihat lagi setelah makan malam tempo hari. Edvard datang sendirian sejak malam itu. Bagaimana keadaannya? Apakah sesuatu terjadi padanya? Pikiran Shaw melanglang.

"Biar kutanyakan pada Dokter Ed sore nanti," tukasnya. Menatap lurus hamparan payoda sewarna asap.

Tungkai berbalik, laju mengarah ke dalam. Pintu ditutup pelan, lalu suara berisik perabotan dapur memenuhi ruangan setelahnya.

"Shaw ....??" Panggilan terdengar dari ruang tamu. Suara kakek. Shaw menghentikan aksi cuci mencuci perabotan dan bergegas ke depan.

"Shaaw ...." Itu nenek. Mengedarkan pandangan menatap heran pada sekitar, seakan tengah berada di tempat asing. "Kau ... yang melakukannya? Ini bersih dan rapi ... dan wangi! Di luar juga!" ujarnya. Senang dan takjub terpancar dari wajah dan suara, begitu juga kakek. Namun detik berikutnya berubah menjadi suasana mencekam.

"Kau, kan, seharusnya istirahat!?" Kakek menatap horor seperti hendak menguliti Shaw. Sementara nenek sudah melipat tangannya seraya memicingkan mata melihat Shaw cengir-cengir.

"Tubuhku terasa kaku karena beristirahat terus menerus ...." Shaw membela diri dengan nada memelas yang dibuat seputus asa yang ia bisa.

"Karena itu ... aku membersihkan rumah dan halaman. Lihat!" ujarnya. Meregangkan tubuh; melakukan beberapa gerakan pemanasan. Mengayunkan tangan, berjalan bolak-balik, lari di tempat dan melompat-lompat kecil. ".... Tubuhku terasa jauh lebih baik sekarang," imbuhnya. Melempar senyum cerah.

"Tetap saja kau harus beristirahat ... kau belum boleh terlalu lelah," sanggah Kakek. Sorot matanya melunak. Menggeleng-gelengkan kepala pelan.

"Ehehehe ... aku tidak terlalu lelah, kok. Sekarang ayo makan!" Shaw berjalan ke tengah kakek dan nenek; menarik tangan keduanya ke dapur.

Begitu sampai di dapur, kakek dan nenek terdiam sesaat; terkesima dengan hidangan yang sudah ditata rapi dan tampak menggugah selera di atas meja makan. Keduanya serentak menoleh pada Shaw yang sudah menggeser kursi ke belakang.

"Ayo makan!" ucapnya bersemangat. Kakek dan nenek bergabung seusai mencuci tangan dan kaki.

"Katakan yang kau inginkan ... kau pasti menginginkan sesuatu, 'kan?" tanya kakek. Melirik Shaw di sela-sela makannya.

"A- ... ehehehe ...." Deretan gigi rapi dan putih terpampang saat Shaw menunjukkan senyum lebar. Ketahuan sudah maksud terselubung darinya.

"Aku ingin keluar desa untuk mencari panasea," jawab Shaw pelan. Kakek dan nenek seketika menghentikan makannya dan menatap Shaw. Menyadari itu, Shaw buru-buru menambahkan, "A-aku akan meminta Bold untuk menemaniku! Aku tidak akan pergi sendiri ... Kakek dan Nenek tenang saja." Senyuman cerah dengan mata memohon ditampilkan sebagai pelengkap.

"Kau tahu panasea itu tidak pasti tempatnya, 'kan?" Kakek bertanya. Melanjutkan makannya.

Shaw mengangguk.

"Ya sudah ... Kakek izinkan kalau Bold bersedia menemani," ucap kakek yang membuat air muka Shaw semakin cerah.

Panasea, memang, terdapat cukup banyak di Zanwan ... namun tempatnya tidak tentu. Selain karena ukuran yang biasanya tidak begitu besar sehingga harus jeli melihat, pun karena penduduk lain biasa mencarinya juga. Mayoritas penduduk Zanwan masih menggunakan obat herbal.

"Biasanya Dokter Ed akan datang di waktu-waktu ini," gumam Shaw. Duduk di pelataran rumah. "Nah, itu dia! Oh, ada Bailey juga!"

Edvard datang dengan kuda hitamnya seperti biasa. Namun kali ini Bailey ikut serta bersamanya setelah beberapa hari absen.

"Selamat datang," sambut Shaw. Berdiri dan membuka pintu.

Bailey berdehem, melempar tatap selidik.

"Tumben sekali."

"Apa?" Shaw bertanya dengan ekspresi jutek. "Ayo, masuklah ... kebetulan sekali kau ikut," ujarnya kemudian. Sedang Bailey hanya merespon dengan tatapan bingung. Seakan mengatakan, 'huh?'

"Jadi ... aku berencana untuk mengajak Bold. Memintanya untuk menemaniku dalam perjalanan nanti. Menurutmu Bold akan setuju?" Shaw mengutarakan niatnya.

"Bold? Perjalanan? Ke mana kau akan pergi? Tujuannya?" Rentetan pertanyaan diajukan Bailey sekaligus.

Edvard mendengarkan sembari mengobati punggung Shaw. Keningnya berkerut mendengar penuturan anak itu, namun ia memilih mendengarkan keseluruhan terlebih dahulu dan menunggu waktu yang pas untuk menimpali.

Keadaan lebih hening karena kakek dan nenek langsung pergi lagi setelah makan siang tadi; ke ladang.

"Ya, Bold. Aku berencana pergi ke luar desa ... untuk mencari panasea," jelas Shaw.

Bailey membulatkan mata dengan mulut terbuka, dan mengatupkannya lagi.

"Bold bukan orang yang mudah diajak pergi. Bahkan untuk diajak berbincang santai pun susah ... itu yang kudengar. Tapi masalahnya adalah ... kau yakin? Kau belum sembuh benar, loh ...."

"Hum, aku yakin. Lagipula persediaan panasea di rumah sudah hampir habis. Jadi, memang, sudah waktunya untuk mencari lagi."

"Bagaimana menurut Dokter?" Bailey memiringkan kepala sedikit, melirik Edvard di belakang Bailey.

"Beberapa bilurnya sudah mulai mengering, tapi tidak dengan lainnya. Kemungkinan akan melembab dan berkeringat, menimbulkan bakteri jika tertutup pakaian terlalu lama ... tapi juga bisa terinfeksi jika terbuka dan terlalu banyak terkena udara bebas." Edvard memperhatikan lebih seksama, dan menyadari kalau luka Shaw membaik lebih cepat dari perkiraannya.

"Kau dengar itu?" Bailey kembali menatap Shaw.

"Tidak apa-apa ... aku bisa mengatasinya." Shaw tidak ingin menyerah.

Jika ditunda lebih lama, kemungkinan untuk orang lain menemukan tas Daniel akan lebih besar. Bisa juga turun hujan yang membuat tas dan seisinya basah ... bahkan rusak. Shaw merasa tidak boleh membiarkan semua kemungkinan itu terjadi.

Bailey menghela napas kasar. Mendebat Shaw tidak akan membuahkan hasil yang berarti.

"Baiklah, nanti besok kutemani menemui Bold. Mumpung sekolah libur," ujarnya. Dibalas anggukan Shaw.

'Bold. Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.' Batin Edvard. Terpikirkan nama Bold yang terus terngiang di kepalanya. 'Sudahlah, nanti juga aku akan mengetahuinya.' Batin Edvard lagi. Melepaskan tali kekang kuda dan menungganginya. Bailey menyusul naik di belakang.

"Hati-hati di jalan!" Shaw berucap semangat. Melambaikan tangan sampai kuda menjauh.

"Bold, ya. Pertemananmu luas juga," gumam seseorang berpakaian tertutup jubah hitam dengan tudung yang menyembunyikan wajahnya, disertai sebuah topeng berwarna hitam polos. Ia turun dari dahan salah satu pohon di depan samping rumah Spencer setelah Shaw menutup pintu, lalu bergerak cepat ke samping rumah; kamar Shaw.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status