Tanpa nurani, pria itu mengempaskan kantong plastik transparan berisi dua kotak styrofoam ke lantai. Rahangnya mengeras.
Sejak melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Afi ditampar, rona wajahnya berubah menjadi merah padam. Matanya menatap nyalang ke arah si pelaku.
“Kesalahan apa yang dia perbuat sampai kamu merasa berhak menampar dia?” tanyanya sambil melangkah lebar-lebar.
Situasi ini jelas tidak menguntungkan bagi Tiara. Dengan statusnya sebagai mantan, apa pun yang akan dia katakan, Egi pasti akan membela wanitanya yang sekarang. Terlebih lagi dia memang salah.
Tiara cukup merasa lega untuk sementara waktu karena ternyata Egi berhenti dan memeriksa pipi Afi. Ya, meskipun iri, tetap saja dia sedikit bersyukur. Setidaknya dia punya waktu untuk memikirkan alasan yang bagus terkait tamparan barusan.
“Aish! Sialan!” Egi mendesis kesal mendapati merah di pipi Afi. Dia tidak perlu berbasa-basa, seperti menanyakan apaka
Punggung tangan nan putih tengah mengapung di udara. Urat-uratnya yang hijau menyembul seperti akar pohon tua. Tulang dan buku jarinya sedikit menunjukkan eksistensi karena minimnya daging dan lemak.Tidak lama berselang, tangan itu disambut tangan lain yang warnanya sangat kontras. Tangan itu terlihat jauh lebih kokoh dari tangan yang dijabat.“Semoga awet, ya, Mas,” kata si pemilik tangan kurus dan putih yang tidak lain adalah Afi. Bibirnya tengah tersenyum sosial kepada lawan bicara.“Kalau enggak awet boleh saya balikin?” tanya pria berkacamata yang balas tersenyum padanya. Tentu saja hanya bercanda.“Jangan, dong, Mas! Kalau Mas balikin, harganya saya kurangi separo, loh,” ancam Afi yang juga dalam mode bercanda.Keduanya baru saja menyelesaikan transaksi jual-beli mobil di parkiran rumah sakit. Afi menerima transferan sebesar puluhan juta sebagai pengganti kunci dan mobilnya yang kini berpindah tuan.
Afi menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Tangannya menggenggam handle pintu kamar, tapi ragu untuk menurunkannya.Lima menit yang lalu, Afi baru sampai di rumah Egi. Dia berpapasan dengan Ani dan Yati yang hendak pulang. Wajah keduanya tampak kusut seperti orang yang tertekan.“Kenapa baru pulang, Bu?” tanya Afi sambil menatap keduanya bergantian.Setahu Afi, jam kerja keduanya hanya sampai jam lima sore. Sementara ketika itu, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.“Kita dipecat, Mbak,” jawab Yati dengan wajah murung.“Dipecat?”Tentu saja Afi terkejut. Alasan apa yang membuat Egi memecat asisten rumah tangga yang sudah bekerja dengan selama bertahun-tahun? Bukankah sewaktu dia di Kalimantan, mereka tetap bekerja di rumah ini meskipun hanya untuk bersih-bersih dua kali sehari?“Katanya Mas Egi mau pindah ke luar negeri. Rumah ini mau dijual,” terang Ani yang wa
“Saya enggak butuh ini semua, Om.”“Egi. Mulai sekarang saya melarang kamu memanggil saya Om. Panggil saya dengan nama. ‘Sayang’ juga boleh.”Egi merogoh saku celana dan mengeluarkan dua gelang hitam. Dia meletakkan salah satunya di laci. Kemudian meraih pergelangan kiri Afi.“Perhiasan yang itu boleh kamu pakai dan lepas kapan aja. Tapi, kalau yang ini ...,” Egi memberi jeda sebentar ketika fokus mengunci gelang, “enggak boleh dilepas.”Dia tersenyum memandangi gelang yang warnanya sangat kontras dengan kulit pergelangan Afi. “Kalau kamu tanya kenapa,” dia berhenti sebentar untuk mengecup bagian dalam pergelangan tangan yang putih dan mulus itu, “karena saya juga pakai gelang yang sama.”Kemudian Egi mengambil gelang yang satu lagi, lalu memberikannya kepada Afi. “Help me!” pintanya sambil mengulurkan pergelangan tangan kiri dalam keadaan terbalik.
Afi menuruni tangga rumah sambil memeriksa chat. Matanya hanya terpaku pada layar gawai. Bukan pada undakan yang bisa saja membuatnya terguling jika salah memijak.Dua jam yang lalu--tepatnya sebelum pulang kantor--dia mendapatkan chat dari Egi. Katanya, pria itu sudah sampai di bandara dan on the way menuju rumah.Tentu saja Afi antusias. Dia bergegas pulang. Bahkan ikut memasak bersama Yati dan Ani untuk menyambut kepulangan pria itu.Anehnya, sejak setengah jam yang lalu, chat pertanyaan tentang sudah sampai di mana Egi sekarang masih centang dua. Belum biru. Entah sudah dibaca melalui pop bar, tapi tidak dibuka di aplikasi atau pria itu memang belum menyadari balasannya.Afi merasa eneh. Pasalnya, jarak antara rumah dan bandara tidak lebih dari 8 kilometer. Satu setengah jam seharusnya sudah cukup untuk Egi sampai ke rumah ini. Namun, kenyataannya pria itu belum juga tiba.Awalnya, Afi berniat menelepon. Tidak enak rasanya memendam kekhawatiran
“Are you okay?” tanya Egi. Mukanya pucat pasi. Tangannya gemetaran saat mengusap kepala Afi yang masih berada dalam dekapannya.Alih-alih menjawab, Afi malah menangis keras. Dia sampai meremas dada yang terasa sangat sakit.Egi memahami bahwa Afi belum bisa diajak bicara. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah mendekap erat tubuh yang menggetar itu sambil mengecup puncak kepalanya. Dengan penuh rasa sesal, dia merapalkan permohonan maaf dalam bentuk bisikan.“Kamu ngapain, Gi? Ngapain?” tanya Afi yang masih menangis.Rasa kesal yang menyesakkan dadanya membuat Afi refleks menganyunkan kepalan tangan, memukuli dada Egi. Bukan jenis pukulan keras. Bahkan bagi Egi, pukulan itu tidak terasa sama sekali.“Kamu tau, ‘kan, saya butuh orang untuk melampiaskan sesuatu dalam diri saya?” Egi menjawab dengan pertanyaan retoris. “Saya enggak bisa melakukan itu ke kamu, jadi ....”
Egi dan Afi sampai di lantai dua ruko. Berbeda dengan lantai dasar, di ruangan ini sangatlah sepi. Hanya ada suara dialog sinetron dan kucing anggora putih yang tidur di depan pagar tangga.Ruangan itu lega tanpa sekat. Terdapat TV LED yang menempel di dinding, sofa L yang menghadap TV, meja kaca berkaki pendek, kulkas di sudut ruangan, dispenser, lemari kecil, dan ranjang hitam seperti di tempat pijat atau spa.Pada salah satu sofa, duduklah seorang pria yang langsung menangkap kedatangan mereka. Pria itu tersenyum lebar, lalu beranjak mendatangi keduanya.“Halo, Mas!”Egi mengulurkan tangan kepada pria yang tubuhnya dipenuhi seni warna-warni. Pria itu balas menjabat tangan Egi dengan penuh antusias. Mereka juga membenturkan dada, pelukan ala pria.“Lama banget enggak main ke sini. Dengar-dengar kesasar di Kalimantan, ya?” Pria berkepala licin itu menepuk-nepuk lengan Egi yang berotot.“Iya, Mas. Kemarin belum
Ketegangan yang dialami Afi rupanya dirasakan oleh Egi. Tentu saja. Tangan mereka masih berpagut. Perubahan kecil saja dapat Egi rasakan. Apalagi ketegangan yang sampai membekukan tangan itu.Tidak ingin Afi mencerna pemahaman yang salah, Egi pun buru-buru menjelaskan. “Sama kayak saya, Mas Bara ini langganannya Maddam Jane. Kamu ingat sama Maddam Jane, ‘kan?”Tidak menunggu Afi merespons, Egi lanjut menerangkan. “Yang namanya pelanggan dalam urusan begituan, otomatis kami udah ngerasain banyak perempuan. Mulai dari yang udah bersuami, tapi nekat cari uang tambahan dan kepuasan, sampai anak putus sekolah yang enggak tau bisa kerja apa, tapi mau dapat duit banyak.”“Tapi, seperti yang sudah pernah saya bilang, saya cuma berhubungan sama perempuan yang sama berengseknya dengan saya. Soal anakdi bawah umur, saya enggak pernah tertarik. Mas Bara doang yang doyan sama begituan,” tambahnya yang ditanggapi Bara dengan taw
Goresan tinta hitam saling terangkai, tersambung membentuk dua objek gambar; rumah dan kunci yang terpatri bersebelahan. Di atas keduanya terdapat akronim menarik dan menggelitik. Jodi Ruman.Tiga objek hitam itu terlukis kekal di kanvas berotot. Kanvas yang akan terus dibawa ke mana-mana. Kanvas yang menjadi pelindung organ penting dalam tubuh manusia, yakni hati.“Keren enggak, sih?” tanya si pemilik kanvas yang kini bertelanjang dada. Merangkak di atas ranjang. Mendatangi wanita yang duduk bersila sambil mengasuh bantal dan menopang dagunya.“No comment.”Meskipun menolak menjawab, senyum yang terlukis di wajah wanita itu sudah cukup bagi Egi. Dia merangkul Afi dan memberikan satu kecupan tipis di pelipis.“Saya boleh tanya beberapa hal?” tanya Afi. Dia tidak mempermasalahkan kecupan colongan yang Egi berikan. Ada beberapa hal yang mendominasi pikirannya sehingga masalah kecupan itu berlalu begitu saja.