Senyuman manis tak henti terukir di wajah Olive tiap memandang Nico yang kini berada di sampingnya, yang sedang menyetir mobil Jeep besarnya dengan tatapan serius. Gadis itu merasa senang karena Nico selalu menemaninya di rumah sakit hingga kini mereka di perjalanan menuju apartemen Olive. Rasanya, ia masih seperti kekasih Nico walau Nico kini sudah memiliki istri sekali pun. Olive begitu mengenal Nico, ia tahu bahwa semua sikap dan perhatian yang Nico berikan padanya itu semua spontanitas yang berasal dari perasaan Nico. Semua yang terjadi selama di rumah sakit membuktikan bahwa ia masih menjadi prioritas bagi Nico.
Kini mereka sampai di parkiran gedung apartemen tempat tinggal Olive. Nico membuka pintu mobilnya lalu berlari mengelilingi depan mobilnya untuk segera membukakan Olive pintu. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu Olive turun dari mobil besarnya.
“Hati-hati!” ucap Nico sembari merangkul Olive lalu mereka jalan menuju lift.
Kini m
Raihan kini memasuki suatu cafe, kacamata coklat bergradasi coklat tampak menutup mata indahnya yang tajam dan dingin. Diedarkan pandangannya ke seluruh penjuru cafe, di ujung tampak seorang pria berwajah tampan nan lembut walau kini jenggotnya menghiasi rahangnya yang tegas.Raihan langsung menghampirinya dan duduk tepat di depannya sembari melemparkan tatapan tajamnya dibalik kacamata.“Kupikir kau tidak mau datang …” ujar pria yang ternyata adalah Bily.“Aku tidak akan datang kalau bukan menyangkut suamiku … “ terang Raihan, “cepat katakan! Ada apa dengan suamiku?”Bily malah menyerahkan amplop besar berwarna coklat. Raihan menerima amplop coklat itu dengan tatapan bingung, entah apa isi dalam amplop itu hingga Bily menghubunginya dengan nomor handphone yang baru oleh karena Raihan sudah mem-blokir nomor Bily.Raihan membuka amplop coklat berukuran besar yang isinya ternyata beberapa lem
Dengan langkah yang lebar dan cepat Nico menghampiri istrinya, direbutnya gelas kaca dari tangan Raihan lalu meletakkannya di atas meja. Nico memandang istrinya dengan pandnagan kekhawatiran. “Raihan, ada apa? Kau baik-baik saja, kan?”Raihan menoleh ke arah Nico sambil memajukan sedikit badannya, mata tajamnya menatap mata wajah Nico. Satu tangannya bergerak menangkup rahang tegas milik Nico. “Kau … sudah pulang, ya?” lalu terdengar suara cegukan keluar dari mulutnya.Nico bisa mencium bau alkohol yang tajam dari mulut Raihan. “Raihan, kau tidak apa-apa, kan?”Raihan tampak keheranan dengan pertanyaan suaminya. “Apa aku kelihatan tidak baik-baik saja? Aku baik-baik saja ….” “Aku belum pernah melihatmu minum seperti ini…”Manik indah milik Raihan bergerak ke arah bucket bunga. “Cantik sekali bunganya ….”“Oh, ini? I
“Kali ini kamu makan ya, Liv … kasian kamu belum makan dari semalam … aku sudah masakkan bubur dan sup sapi biar perutmu tidak kaget.Olive yang kini duduk menyandar di kepala ranjang, sedikit menengadahkan wajahnya memandang Ellen yang kini berdiri di samping ranjangnya sambil membawa makanan dengan meja kecil. Bawah matanya tampak cekung dan gelap, kelopak matanya sembab karena tak henti-hentinya ia menangis semalam.Ellen lalu meletakkan meja kecil di depan Olive. “Kamu harus makan karena kamu masih harus minum obat biar bekas operasinya tidak sakit dan cepat kering …”Olive mencoba melahap makanannya perlahan, berusaha menikmatinya tapi terasa tidak enak. Ia tak bisa merasakan kenikmatan apa pun termasuk makan sejak Nico meninggalkannya kemarin. Rasanya ia ingin menangis namun sudah terlalu banyak air mata yang ia keluarkan semalam. Berkali-kali ia merutuki dirinya sendiri yang telah mengambil keputusan untuk bert
Nico tidak bisa menyembunyikan betapa terkejutnya dia saat mendengar ‘tunangan Olive’. Perasaan Nico seketika menjadi tidak enak. Yang benar saja! Pria itu sekarang ada di rumahnya dan bersama istrinya dan mau apa pria itu datang ke rumahnya? Yang Nico lebih khawatirkan lagi jika pria itu mengatakan sesuatu yang tidak-tidak pada Raihan.“Dia bilang kalau dia tunangannya Olive, kenapa kau terkejut begitu?”“Tidak ada apa-apa,” sahut Nico berusaha tenang, “baiklah aku segera pulang …”“Oke ….”“Um … Raihan …”“Ya?”“Apa pun yang pria itu katakan, tolong percayalah padaku …”Sejenak Raihan diam sebelum ia menyahut. “Oke…”Begitu mematikan telponnya, Nico langsung berdiri.“Ada apa? Sepertinya serius betul …” tanya Jeremy yang mendapati raut panik Nico.
Begitu mendengar pintu kamarnya terbuka, Raihan buru-buru menutup matanya, seolah-olah sudah tertidur. Dirasakannya suara langkah seseorang yang mendekati ranjangnya dan bunyi ranjangnya sedikit berderit saat seseorang menaikinya yang tak lain adalah suaminya.Nico yang kini duduk di ranjang memandang punggung Raihan yang kini berbaring membelaknginya. Ia mendekatnya dirinya untuk melihat wajah istrinya yang sepertinya sudah tertidur di sana. Nico menghela napas, ia bisa mengira bahwa istrinya pasti sudah mendengar pergumulan dia dengan Justin, terbukti wanita itu tidak mengajaknya bicara bahkan seperti tidak ingin menatap matanya.Nico lalu berbaring tepat di belakang Raihan, tangannya bergerak mengungkung tubuh istrinya, tangannya memegang tangan Raihan dan menautkan jari-jarinya dengan jari-jari lentik Raihan. Raihan yang berpura-pura tertidur merasa bingung dengan tingkah suaminya. Bisa-bisanya pria itu sedang berebut seorang gadis dengan pria lain lalu memeluk ist
“Beberapa dokumen yang harus segera ditandatangi, Pak,” kata Stefani lalu ia meletakkan dokumen-dokumen itu di atas meja, tepat di hadapan Nico.Nico menatap dokumen yang disodorkan oleh sekretarisnya itu sebelum ia membuka sekilas dokumennya. Ternyata lumayan banyak dan semuanya harus ditandangani.“Aku harus membacanya dulu ….”“Baik, Pak.”“Apa ada lagi?” tanya Nico ke sekretarisnya.“Tidak ada, Pak,” jawab Stefani.“Oh, ya … bukannya hari ini ada meeting dengan clien ya? Jam berapa itu?”“Maaf, Pak,” sahut Stefani sambil sedikit membungkukkan kepalanya, “kemarin Pak Jeremy berpesan kalau hari ini biar beliau yang meeting dengan clien.”“Oh …” sejenak Nico tampak merenung, “ya sudah, kau kembalilah!”“Baik, Pak.” Kemudian Stefani be
Baik Nico maupun Raihan, mereka terdiam saling berpandangan. Lagi-lagi Nico begitu takjub melihat istrinya yang sudah siap dengan dress bermotif kembang selutut dengan warna dasar putih, rambut gelap yang telah memanjang sepunggung dan biasa tampak lurus kini menjadi bergelombang, begitu cantik di mata Nico.Nico berdehem sekali. “Apa … kau sudah siap?” tanyanya canggung.Sejenak Raihan diam memandang datar suaminya, kemudian dia berbalik pelan dan menarik rambut indahnya ke samping. “Bisakah kau membantuku mengikatnya?”Nico menelan liurnya saat punggung mulus Raihan terpampang nyata tepat di hadapannya, lelukannya begitu indah hingga membuat darah Nico berdesir. Nico terdiam menatap punggung indah itu, entah sudah berapa lama ia tak menjamahnya.Raihan sedikit menoleh karena Nico tak kunjung mengikatkan tali belakang dress-nya. “Nic?”Nico tersentak. “Ah, iya ….” Deng
Akhirnya yang Raihan tunggu-tunggu tiba juga, suaminya kini mau bicara serius dengannya. Ia segera melepaskan antingnya dan menaruhnya ke dalam kotak perhiasannya lalu dia mengubah posisi duduknya, menghadap ke arah Nico.“Ya, bicaralah Nico … aku sudah menunggunya ….” “Kau … pasti sudah tahu tentang Olive ….”Raihan hanya diam memandang Nico dan suaminya itu kini mengambil posisi bertekuk satu lutut di depannya.“Kami dulu pacaran dan aku berencana melamarnya tapi …,” Nico diam memberi jedah, “tiba-tiba dia memutusku dan bertunangan dengan laki-laki lain.”“Lalu?”“Tidak lama kemudian, ayahku menyuruhku menikahimu. Kau tahu sendiri kan pernikahan kita sangat tiba-tiba?”“Apa … kau masih mencintainya?”Nico menatap mata Raihan begitu lekat. “Saat kita menikah, aku memang masih mencinta