Share

2. Sudah Dilamar

"... Mas selalu ingin menyentuhmu."

"Mas ...?" Anye, speechless.

"Ehm eghm ...!" Lukman Bagaskara berdeham, menyadari dirinya bagai nyamuk di antara kedua cucu kesayangannya. "Mungkin sebaiknya kalian bicara dari hati ke hati dulu berdua saja ...."

"No Opa!" Anjas mencegah kakeknya pergi. "Anjas gak mau berduaan saja sama Anye! Iman ini sangatlah tipis, itu juga alasan kenapa aku memilih untuk tinggal di luar mansion, aku sadar betul dengan kelemahanku ini." Anjas menatap Anye yang tampak salah tingkah. Begitu juga dengan dirinya sendiri.

"Opa akan tetap memberi ruang pada kalian untuk bicara berdua, pintu itu akan Opa biarkan terbuka. Masa iya kamu berani macem-macemin Anye dalam keadaan pintu terbuka begitu?" Lelaki tua itu memamerkan smirk-nya sembari meninggalkan perpustakaan yang ia jadikan ruang pertemuan dengan kedua cucunya itu.

Sepeninggal Lukman, Anjas memfokuskan perhatian pada entitas yang selama ini telah berkali-kali memenangkan hatinya.

"Nye, beneran kamu sekarang sudah punya kekasih?" tanya Anjas memastikan.

Anye mengangguk pelan. Ia memilih untuk membuang tatapan ke luar jendela. Sungguh gadis itu tak sanggup untuk beradu tatap dengan pemuda yang pernah begitu merajai hatinya.

"Pacar lama kamu?" Anjas kembali bertanya.

Anye menggeleng. Tentu bukan Andromeda ataupun Benji, dua pria yang pernah begitu getol mengetuk pintu hatinya di masa sekolahnya dulu.

"Apa dia jauh lebih baik dari aku?"

Anye menghela napasnya. Sampai kapan pun gadis itu meyakini Anjas adalah sosok yang paling mampu memporakporandakan hatinya sekaligus menjelma oase di padang pasir di satu waktu yang bersamaan.

"Jawab, Nye! Katakan, Mas harus bagaimana agar bisa memenangkan hati kamu?" Lembut Anjas membujuk

Seraya merapikan helaian rambut, sang gadis menyelipkannya di balik telinga berhias anting mungil bertahta permata. "Jangan memaksa Mas, kamu sendiri yang memilih untuk menjauhiku. Aku cukup tahu diri kok, kalau aku gak termasuk dalam kriteria gadis idaman kamu itu.

Aku gak ada apa-apanya dibandingkan Mbak Yasmin yang selalu setia berada di sisimu sejak kalian masih mengenakan putih abu-abu."

"Kok, jadi ngomongin Yasmin?" Anjas tidak terima. Di saat ia tengah berbicara tentang dirinya dan Anye, malah dialihkan dengan bahasan tentang orang lain.

"Sudah ya, Mas. Cukup jelas alasanku menolak perjodohan kita. Itu karena aku gak mau Mas menderita hidup bersamaku sementara hatimu tertawan ntah di mana ...."

"Astaghfirullah Anye, satu-satunya alasan Mas menjauhi kamu, itu karena kamu belum halal bagi Mas. Sementara Mas sendiri gak yakin dapat mengendalikan diri kalau berada di dekatmu.

Kamu itu seperti magnet bagi Mas. Kamu pikir saat ini Mas tidak tersiksa karena kedua tangan ini begitu ingin merengkuh tubuhmu seperti dulu ...? "

"Lalu kenapa Mas gak memelukku seperti dulu lagi? Kenapa Mas juga seolah gak ngizinin aku menyentuh Mas? Aku juga tersiksa, Mas.

Aku juga rindu masa-masa kamu begitu manis menggendongku, membelai rambutku dalam pangkuanmu, memijat kepala hingga ujung kakiku, bahkan ngeramasi rambut hingga menggosok punggungku."

Anjas tergamang mendengar penuturan Anye.

"Mas, aku juga kangen banget! Kangen saat terlelap dalam hangat pelukmu. Kangen tenggelam dalam tatapan matamu. Kamu ngerasa gak sih, sudah tega banget sama aku??"

Anjas menautkan kedua alisnya bingung. 'Tega? Maksudnya?'

"Kamu buat aku bertahun-tahun merasa dicampakkan begitu aja. Aku kayak gak ada arti lagi, seolah gak pernah ada kenangan indah di antara kita. Aku sakit hati, Mas!" Anyelir menatap nanar ke arah Anjasmara dengan deraian air mata membasahi pipinya.

Anjas bergeming.

Hanya Tuhan yang tahu betapa ia sangat ingin memeluk tubuh harum Anye yang memapar penciumannya dengan sangat intens.

Jarak yang kian terkikis seolah menggerus kewarasan Anjas untuk merengkuh tubuh indah berbalut floral dress putih yang kini bersandar pasrah pada sudut sofa menanti ledakan kerinduan dibayar tuntas.

Namun, di detik berikutnya Anjas segera menarik diri, menjauh sebelum bibirnya mendarat di permukaan bibir Anye yang merekah sensual nyaris meruntuhkan pertahanan dirinya.

"Astagfirullah ...," lirihnya berujar sembari membuang tatapan dan memijat pelipis dengan frustrasi.

Anye menatap aneh ke arah Anjas. Mengapa pria itu tiba-tiba beristighfar?

"Nye, izinkan Mas menghalalkanmu lebih dulu." Anjas memohon.

Masih dengan deraian air mata gadis itu menggeleng lemah. Ia menyusut basah di wajah cantiknya dengan kasar.

"Maaf Mas, Kekasihku telah lebih dulu memintaku ...." Anye terisak kembali, gadis itu tak kuasa menyelesaikan kalimatnya.

Anjas mengepalkan jari jemarinya hingga buku-bukunya memutih.

"Jadi dia sudah melamar kamu, Nye? Apa Papi kamu sudah mengetahuinya? Sudah berapa lama kamu menjalin hubungan dengannya hingga seyakin itu kamu menerima lamaran darinya?" cecar Anjas dengan perasaan kesal.

Gadis itu membuang tatapannya, mengelak dari sorot tajam yang kini tengah mengintimidasi sarat emosi jiwanya yang nyata lelah.

"Tentu papi tahu karena hanya dia yang setia menemani selama Mas mengabaikan aku," sahut Anye. "Tadi malam Mas Denis melamar di hadapan papi yang juga telah memberikan restunya," papar Anyelir yang menampar Anjas pada sebuah kenyataan pahit.

"Denis Sukma?" Anjas menguatkan hati dan bagai terhempas jatuh dari ketinggian menyaksikan jelita di hadapannya mengangguk membenarkan.

Anjas menghela napasnya dengan kasar. Dia mengenal Denis dengan baik, mereka sahabat sejak kecil. Ayahnya, Haris Sukma adalah tangan kanan Arya Bagaskara—papi Anye.

Flashback on

"Pak Arya, izinkan saya melamar Anyelir untuk menjadi istri saya.

Hati saya sudah mantap dengan keputusan itu, saya mohon restu dari Anda," pinta Denis yang telah mempersiapkan sebuah cincin untuk mengikat Anyelir sebelum memasuki gerbang pernikahan yang tinggal selangkah saja lagi.

"Saya menyerahkan keputusan ini pada putri saya. Anye, putuskanlah karena ke depannya kalian yang akan menjalaninya," tutur Arya menanggapi lamaran dari putra asisten pribadinya.

Sejujurnya hati Anye galau. Dia memang sangat ingin dilamar oleh seseorang.

Akan tetapi ....

"Bisa beri Anye waktu, Mas Den? Maaf, Anye gak bisa putuskan saat ini juga." Anye memohon pengertian.

Sungguh ia tak ingin menyesal di belakang hari untuk sebuah keputusan yang diambil tanpa pertimbangan yang matang.

"Kita saling mencintai, Nye!" Tegas Denis yang membaca kebimbangan dari sorot mata kekasihnya.

Anye melayangkan tatapan ke ayahnya. Cinta pertama Anye itu membuka lebar kedua belah telapak tangannya, pertanda ia akan mendukung apa pun keputusan yang akan Anye katakan.

"Mas Den, terima kasih untuk selalu sabar berada di sisi Anye beberapa tahun terakhir ini.

Papi, terima kasih telah mendekatkan Anye pada lelaki baik yang begitu hangat memanjakan hingga hanya kebahagiaan yang Anye rasakan kala berada di sisi Mas Den. Tapi, untuk mengambil keputusan besar ini, Anye merasa butuh waktu.

Mas Anjas pernah menyebut tentang shalat istikharah, izinkan Anye melakukannya terlebih dahulu." Anye menundukkan pandangannya, menghindari tatapan Denis yang mengintimidasi.

"Anjasmara Prasetya, sepupu kamu? Dia teman dekat sepupuku sejak SMA—Adinda Yasmin Anindya."

Anye menganggukkan kepalanya, mengarahkan tatapan pada manik mata sang kekasih.

"Apa mereka sedekat itu?"

"Yang kutahu mereka selalu kemana-mana bersama. Bahkan dinas keluar kota pun nyaris tak pernah Yasmin absen mendampinginya." Denis mengatakan apa adanya yang ia ketahui.

Mata Anyelir perlahan berkaca-kaca.

Perih.

Ada luka yang tak berdarah menganga di hati Anye.

"Kamu butuh waktu berapa lama untuk menjawab lamaran dariku, Anye?"

Pemuda itu kembali bertanya dengan suara yang ditekan serendah mungkin. Tatapan teduhnya meluluhkan Anye yang sesaat lalu sempat digelayuti mendung keresahan .

"Anye putuskan malam ini saja, Mas Den. Sekarang atau nanti, toh jawabannya akan sama ... Anye bersedia menjadi istri Mas Den."

Flashback off

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status