Share

5. Bukan Gadis Penggoda

"Kamu sadar tidak sih, betapa menggodanya dirimu?"

Anyelir tergugu, ia tidak bermaksud menggoda siapa-siapa.

Bahkan kepada Denis pun awalnya ia hanya menawarkan pertemanan. Tak ada sedikit pun keinginan menarik perhatian pria itu untuk ia jadikan kekasih.

Namun Denis memang sebaik itu. Pria itu paket komplit yang pesonanya sangat sulit dinafikan oleh para wanita termasuk dirinya yang nyata membutuhkan 'seseorang'.

"Aku gak pernah bermaksud menggoda siapa pun, Mas

Kamu tahu sejak dulu beginilah aku. Aku bahkan nyaris gak pernah pake parfum dan lebih suka memakai minyak telon.

Kalau soal pakaian ya memang dari dulu aku seperti ini terkecuali jika keluar, aku selalu berpakaian sopan kok meski belum berhijab seperti gadis yang selalu membersamai kamu itu.

Aku memang suka tidur dengan gaun begini, aku mencontoh bunda Mita yang di mataku anggun mengenakan dress sehari-hari.

Bunda Mita yang pertama kali menghadiahiku gaun tidur yang nyaman dikenakan ini, selanjutnya aku memang jadi ketagihan mengenakan pakaian seperti ini saat berada di kamarku sendiri.

Mas, coba ingat-ingat lagi ... kapan kamu pernah melihat aku berkeliaran dengan gaun setipis ini? Kalau pun kamu mendapatiku mengenakannya, itu pasti saat aku berada di dalam kamar.

Aku cukup mengerti kok. Bunda pernah mengingatkanku karena di dalam rumah ini juga ada maid laki-laki, jadi aku harus bijak dalam berbusana di mana pun aku berada.

Itu semua demi kebaikanku sendiri.

Jadi kamu jangan berpikir yang tidak-tidak terhadapku ya

Aku tadi gak ngira ada kamu di ruang tengah, biasanya gak ada lagi yang masih terjaga di malam selarut ini.

Jadi kumohon mengertilah ..."

Anye memberanikan diri menatap lurus ke manik mata lelaki yang sangat ia rindukan itu

Sejak meninggalkan mansion, bisa dihitung dengan jari Anjas datang mengunjungi kediaman megah opanya. Kalau bukan karena undangan resmi dari opa biasanya Anjas lebih memilih bertemu sang bunda di luaran atau sekadar menelpon sang oma menanyakan kabarnya, tapi tidak untuk sekadar menyapa Anyelir.

Anjas tak pernah terang-terangan menghubungi gadis itu meski mengaku selalu update terkait informasi gadis jelita yang telah menawan hatinya sejak mereka masih tinggal bersama dahulu.

"Katakan, sudah sejauh mana hubungan kalian?" Anjas membuang tatapannya.

"Maksud Mas? Kan Anye udah bilang kalo Mas Den sudah melamar Anye," jawab sang jelita sambil memanyunkan bibirnya hingga tampak menggemaskan.

"Sudah ngapain aja sama dia?"

"Mas, aku ... " Anye menatap nyalang Anjas yang kekeuh menanti jawaban dari gadis itu dengan melipat kedua tangannya di dada.

"Yang pasti kami tidak pernah berduaan di ruang tertutup.

Kami selalu bertemu di ruang publik.

Tidak ada kontak fisik yang berlebihan. Meski kuakui kami pernah bergandengan tangan dan seringnya dia mencium pipiku saat kami berjumpa dan atau akan berpisah.

Mas sendiri sudah ngapain aja sama Mbak Yasmin? Katanya kalian sering dinas keluar kota bareng ya?

Sweet banget!" Anye melempar bola panas ke arah lawan bicaranya.

"Kami tidak ada hubungan spesial, Nye

Kita hanya rekan kerja. Lagipula bukan aku yang mengatur personil yang ditugaskan untuk dinas ke luar kota.

Ayah kekasihmu atau bahkan kekasihmu sepertinya lebih mengerti terkait penunjukan tim yang diutus melakukan perjalanan dinas.

Aku masih menabung untuk menikahimu, tapi siapa sangka ternyata kamu sudah dilamar oleh orang lain.

Mungkin ini yang dinamakan belum berjodoh." Anjas menatap sendu ke arah gadis yang kini berdiri sembari membuang tatapan ke sembarang arah.

"Whatever! Aku haus ... mau minum dulu di pantry." Anye memutar tubuhnya dan berlalu dari hadapan kakak sepupu angkatnya yang baru ia ketahui ternyata berniat untuk memperisitrinya.

Jantungnya berdegup lebih kencang, ingin rasanya gadis itu menghilang saja dari muka bumi. Bagaimana mungkin ia berbahagia dan merasa bodoh di satu waktu?

Sungguh ia bahagia Anjas menginginkannya di saat ia merasa begitu bodoh telah tergesa membuat keputusan penting dalam hidup.

Dia sadar telah terprovokasi dengan sosok Yasmin yang digambarkan Denis sebagai teman dekat Anjasnya. Gadis berhijab rapi yang telah berhasil memantik rasa insecure di hati Anyelir Parameswari _putri sematawayang CEO sekaliber Arya Bagaskara.

Anjas memutuskan untuk mengekori Anye menuju pantry. Ia sadar nyaris tak punya harapan lagi, tapi bukan berarti dia akan melepas begitu saja gadis yang selama ini dia damba dalam diam.

Keinginan Opa Lukman menjodohkannya dengan sang cucu kandung sungguh suatu kehormatan baginya, terlebih karena gadis itu adalah cinta pertamanya. Namun ia pun paham sepenuhnya jika haram melamar di atas lamaran lelaki lain kecuali wanita itu diikhlaskan untuknya, tapi apa mungkin itu terjadi? Dia betul-betul pusing ditampar realita yang sungguh mengejutkannya malam ini.

"Mas Anjas mau minum apa?" tanya Anye sembari mengisi tumblernya dengan air hangat.

"Air putih hangat saja, Nye

Biar aku ambil sendiri." Anjas meraih sebuah gelas dan mulai mencampur air biasa dengan air panas yang tersedia di dispenser pantry. Pemuda itu kemudian mengambil posisi duduk agak jauh dari Anye yang tengah meneguk air dari dalam tumblernya.

"Apa tanggal pernikahan kalian sudah ditetapkan?" Tiba-tiba saja Anjas kembali melemparkan pertanyaan.

Anye menggelengkan kepalanya, "Sepertinya akan sedikit menemui kendala, Mas.

Mas lihat sendirikan Opa terang-terangan menolak memberikan restunya."

"Kamu sendiri bagaimana? Apa sudah mantap dengan keputusan yang kamu ambil?

Apa sedalam itu kamu mencintai Denis, Nye?

Apa memang dia yang kamu inginkan menjadi teman hidup hingga akhir hayatmu? "

Anye memilih diam.

Suasana hening seketika.

Anjas menghela napasnya, dia menghargai Anye yang memilih bergeming menanggapi rentetan pertanyaan yang ia ajukan.

Dari jarak yang cukup jauh Anjas masih belum dapat mengalihkan pandangannya dari gadis bergaun tidur satin yang membalut indah tubuh berlekuk menawan itu.

"Mas doain aja yang terbaik buat aku. Aku juga akan doakan yang terbaik untuk Mas." lirihnya sembari berlalu meninggalkan sosok yang pernah sangat ia rindukan.

Anjas menghardik kakinya yang ingin mengejar sosok yang bergerak cepat menjauhinya.

Pemuda itu mencengkram sandaran kursi, mematri kaki untuk bergeming sesaat melepas kepergian sang bidadari.

Malam telah semakin menua. Anjas didera rasa lelah untuk kembali ke apartemennya di pusat kota. Akhirnya pemuda itu menyeret langkah menuju kamar masa remajanya. Sensor di depan kamar memindai sidik jarinya dan memberi akses untuk pemuda itu mengistirahatkan raganya di kamar penuh kenangan yang terpaksa ia tinggalkan demi kewarasan.

Pemuda itu baru saja akan menutup pintu kamarnya ketika pendengarannya menangkap suara-suara ambigu dari lorong yang menghubungkan ruang tengah ke deretan kamar utama di lantai yang sama.

"Hmmm, aaaahh ... eghhhh ...."

Suara siapa?

Sedang apa?

Tiba-tiba Anjas merasa ada yang tidak beres telah berlaku di mansion saat pemuda itu masih berada di sana.

Pemuda itu memijat pelipisnya yang mendadak pening.

Haruskah ia mengambil sikap apatis. Berlagak masa bodoh dan tak peduli pada apa yang tak semestinya terjadi.

Pemuda itu menghela napasnya dengan kasar sebelum akhirnya memantapkan langkah mencari tahu apa yang sedang berlaku.

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status