Bab 21 A"Pasangan adalah cerminan diri. Jika berharap pasangan yang baik, maka diri sendiri harus baik pula.""Nih, saya cerita. Kemarin Oma tausiyahnya tentang persiapan menikah." Saking semangatnya Nay lupa bicara dengan siapa. Ia segera menutup mulutnya rapat-rapat menggunakan tangan kanannya."Syukurlah, berarti kamu sudah siap, kan?""What?!" Nayla melebarkan bola matanya.Sebuah ketukan pintu menghentikan obrolan asyik antara keduanya.“Maaf, apa saya mengganggu?” Nayla tersentak begitu menoleh ada Cindy berdiri menjulang di ambang pintu. Tatapan matanya tak terbaca. Nayla sedikit canggung dibuatnya."Sejak kapan Mbak Cindy ada di sana? Gawat, pasti bakal cerita sama Mas Andra." Entah kenapa Nayla masih galau dengan hatinya. Ingin melepaskan dan memulai hubungan bersama Pak Aryo, tetapi di sisi lain Nay merasa tidak enak hati jika Andra mengetahuinya."Masuk Cin!" titah Aryo."Gimana?" Langkah Cindy mendekat seraya tatapan melirik ke arah Nayla yang terpaku di tempat duduknya.
Bab 21BDua minggu setelah ujian semester selesai, waktunya mahasiswa mengisi liburan dengan refreshing. Beberapa nilai ujian sudah keluar. Nayla bersyukur karena nilai-nilai yang sudah keluar sangat memuaskan. Namun masih ada satu mata kuliah lagi yang belum keluar nilainya. Terdengar notif pesan masuk di ponselnya. Ada nama Cici tertera di sana.[Nay, lihat nilai aljabar abstrak keluar. Alhamdulillah aku lulus meski nilainya cukup hehe. Gmn denganmu?]Ya, Cici mengirimkan pesan di mana posisinya berada di Lampung kota asalnya. Sahabatnya memilih pulang untuk liburan sekaligus menengok orang tuanya. Sementara itu, Nayla masih galau mau pulang ke Solo, liburan ke Yogya bersama Mika atau menundanya liburan semester depan.[aku blm lihat. Nanti aku kabari lg.]Nayla menunda niatnya melihat nilai ujian Aljabar Abstrak. Ia tidak ingin merusak moodnya hari ini, saat harus ke rumah Bu Maya. Wanita pemilik katering itu memintanya datang ke rumah karena ada acara ramah tamah. Kali ini ia perg
Bab 21C"Nayla asli mana?""Solo, Bu." Selesai makan, Nayla diajak duduk santai di ruang keluarga. Sudah seperti seorang yang sedang diinterogasi, Nayla merasa gugup tak terkira. Kepedeannya lenyap begitu saja."Ini jauh lebih sulit dari ujian skripsi,"batinnya."Orang tua bisnis apa?" Nay terkesiap, seketika ia minder ditanya tentang keluarganya. Pasalnya ia bukan dari kalangan bangsawan."Ibu penjahit rumahan, bapak bekerja serabutan." Sekali tarikan napas, kalimat itu berhasil lolos juga dari mulut Nayla."Oh, pantes saja kamu harus kerja part time.""Iya, Bu. Saya membantu bapak ibu untuk biaya makan selama kuliah," terang Nayla."Malah bagus kan, Pa, Ma," imbuh Aryo tak ingin Nayla terpojok."Sinta, Herman. Aryo sudah siap mencari pasangan itu. Di kampusnya pasti banyak mahasiswi cantik dan cocok untuk Aryo. Iya kan, Nay?" Kali ini Oma Icha yang bersuara."Ah, mungkin Oma." Nayla tak yakin dengan jawabannya."Nantilah gampang, Ma. Aryo pintar, mapan, ganteng. Banyak yang mau sama
Bab 22A"Menikah bukan hanya menyatukan dua hati, tetapi dua keluarga. Menerima seseorang sebagai pasangan, berarti siap menerima keluarganya.""Ya saya paham. Kayaknya hanya dekat sebatas dosen mahasiswa sih, Mbak." Nayla ragu menjawab, tetapi demi menghentikan rasa penasaran Kartika ia terpaksa melontarkan kalimat itu."Menurutmu, saya cocok nggak dengan Aryo?" Nay terkesiap mendengarnya. Seperti ada benda asing yang menyangkut di tenggorokannya."Cocok banget malah." Kalimat itu tentu saja hanya tersangkut di tenggorokan. Nayla benar-benar tidak mampu mengucapkannya. "Nay!" ulang Kartika membuat Nayla tersentak."Ya, Mbak." "Kamu dengerin nggak sih, aku barusan ngomong.""Iya-iya denger, kok.""Apa jawabanmu?""Hmm, itu....""Nay, Tika. Ayo ke ruang tamu. Dicari Mama, tuh." Nayla melebarkan matanya mendengar kata mama yang diucapkan Aryo."Saya juga dicari, Pak?" Aryo mengangguk, sementara Kartika hanya menatap bergantian keduanya. Senyum Aryo saat berbucara dengan Nayla terasa b
Bab 22B"Tolong turunkan saya di lampu merah depan, Pak!""Kenapa?" Aryo mengernyitkan sahi heran."Itu. Hmm, saya lupa ada jadwal ngajar privat jam setengah delapan.""Lalu?""Dia takut telat, Yo. Bagus kan, Nay bisa naik taksi atau ojek. Iya kan, Nay?" Kartika berusaha membujuk Aryo supaya menurunkan Nay di tengah jalan. Ia bisa mempunyai kesempatan berduaan dengan laki-laki teman masa kecilnya itu."Masih empat puluh menit Nay. Tenang saja!" Tak disangka Nay, Aryo melajukan kencang pajeronya memutar balik di tikungan depan."Mau kemana, Yo?" sentak Kartika."Sudah, tenang Tik. Kamu belum pindah rumah, kan?""Belum. Kenapa?""Kita ke rumahmu dulu.""Hah?! Gimana sih, Yo. Skenarionya kan nggak gini. Tadi anter aku setelah kamu anterin Nay." Nayla hanya mengedikkan bahu, menyaksikan adu mulut dua orang yang usianya sepadan duduk di kursi depan. Ia memilih menyandar di pintu mobil sembari memejamkan mata. Berharap lelahnya sedikit berkurang, Nay tidak terpengaruh pertengkaran Kartika d
Bab 23 Aroma parfum yang memabukkan menyeruak indra penciumannya. Sungguh memabukkan. Reflek Nay menangkupkan kedua tangannya menutupi wajah hingga matanya terpejam. "Sampai kapan mau memejamkan mata?" Nayla terkejut mendengar suara ceklek, ternyata sabuk pengamannya dipasangkan Aryo. Malu bukan main, wajahnya sudah memanas. Gegas ia memalingkan muka ke luar jendela. "Ayo, Pak! Keburu terlambat." "Ayo, kemana, Nay?" "Ckk, terserah." Aryo tergelak melihat wajah Nay yang mendengkus kesal. "Jangan sering-sering cemberut. Mengajar itu dari hati, Nay. Jadi guru yang murah senyum. Muridmu nanti akan dengan senang hati menerima ilmu yang kamu ajarkan." "Iya tahu," ucap Nay setengah hati. Merasa kesal dikerjain laki-laki di sampingnya. Jauh di lubuk hati, ia sebenarnya takut juga kalau keduanya khilaf. Setan tak pernah berhenti mengganggu manusia apalagi saat berduaan lawan jenis. Oleh karenanya, ia memegang prinsip untuk pacaran setelah menikah. Namun, saat ada laki-laki yang mengajak
Bab 24A“Di saat kamu merasa dalam titik terendah di hidupmu hanya kepada Tuhanmu tempat berserah diri, yakinlah pada dirimu sendiri untuk semangat dan bangkit memperbaiki diri.”Menghempaskan badan ke ranjang, pikiran Nay masih terngiang ucapan Aryo di mobil.“Kamu masih mengharapkan laki-laki lain, Nay?”“Kamu masih berharap bersama Andra?""Hah?!""Lupakan! Saya hanya bercanda, kamu terlihat cocok dengan pasmina itu.""Ishh, dasar Pak Aryo. Paling bisa bikin aku malu, mukaku pasti merah kayak kepiting rebus." Nay sudah memukul berkali-kali guling yang ia peluk, untuk meluapkan kesalnya pada Aryo.Sejenak memejamkan mata, Nayla berjingkat dari tidurnya. Ia teringat tentang nilai ujian Aljabar Abstraknya.Tiba-tiba jantungnya berdebar tak karuan, seperti genderang ditabuh. Nayla benar-benar takut hasilnya tidak sesuai harapan. Pelan ia membuka sistem informasi yang memuat nilai di web.Hatinya mencelos, benarlah adanya. Dalam sejarah, Nayla baru kali ini tidak lulus ujian. Badannya j
Bab 24BNay melempar ponselnya ke samping. Gegas ia menenggelamkan wajahnya ke bantal. Setidaknya obrolan dengan dosennya sedikit mengobati kesedihannya.Pagi hari meski perkuliahan sudah udai dengan ditutup ujian, Nayla harus le kampus sesuai permintaan dosennya. Ia bergegas menyiapkan diri untuk menemui Aryo. Mengenakan celana denim dan kaos serta outer kemeja bergaris kesukaannya serta jilbab yang senada.Sekarang Nay mulai nyaman menggunakan hijab yang menutupi rambut panjangnya. Lalu tak lupa tas cangklongnya ia bawa. Tidak sampai 15 menit ia di depan ruang Aryo, karena di jalan ia bertemu salah satu temannya lalu dibonceng motor sampai kampus.Nayla mengetuk pintu ruang dengan perasaan tak menentu. Hatinya masih bertanya-tanya ada perlu apa ia disuruh ke kampus pagi-pagi."Assalamu'alaikum Pak," sapa Nay sambil masuk ruangan."Wa'alaikumsalam. Masuk Nay!""Ada hal penting apa ya, Pak?" tanya Nay penasaran."Laporan survey sudah beres?" Aryo mencoba mengawali obrolan dengan urusa