Rambutku tersanggul rapi, kebaya berwarna merah muda itu membuat penampilanku sekelas Annisa Pohan dan Selvi Ananda alias menantu orang nomor satu di Indonesia alias Presiden—seriusan gak bohong kalau aku cantik pake banget dan bisa dinobatkan sebagai aset kebanggaan Indonesia seperti Raisa, Isyana, dan Pevita. Tuh lihat, namanya saja sudah sama-sama memiliki akhir konsonan 'a', Raisa, Isyana, Pevita, Meilavia, hihi.
"Beneran gila lo ya?" tanya Naya dengan dahi terlipat saat melihatku yang nyengir di depan cermin seperti orang bego. "Senyum mulu dari tadi."
Aku merotasikan kedua netraku melihat Naya yang kini masuk kamarku hanya dengan kebaya tanpa bawahan. "Kamu kali yang gila! Keliling rumah gak pake bawahan! Kamu j
"Untuk tanggal keluarga kami menurut saja dengan keluarga Nak Mei. Tapi semakin cepat semakin baik," ujar Budhe Rahayu dengan welas asih dan lembut. Ah, Kanjeng Ratu Astina Widyawati alias Mamaku tentu beda jauh. Jaraknya seperti sabang sampai merauke. Dari langit ke bumi, dari timur ke barat, selatan ke utara, hah.Mama tiba-tiba saja menyahut dengan senyuman yang bisa dinobatkan terlebar tahun ini, "Wah kebetulan sekali. Saya sudah tanya ke orang pintar. Kita sudah punya tanggalnya." As always, penghitungan weton dilakukan oleh Nyai. Si Paranormal yang menyebutku membawa nasib sial.Tresna terlahir pada Kamis Pahing dengan weton 8 ditambah 9 yang berjumlah 17. Sedangkan diriku lahir pada Minggu Pon dengan weton 5 ditambah tujuh dengan jumlah 12. Jumlah weton kami ditambah dan menghasilkan 29. Menurut Nyai jumlah 29 ini harus dibagi dengan 10 atau 7 dan mencari sisa hasil pembagian yang tidak boleh
"Gila, seserahannya bikin gue pengen kawin sama Tresna!"Aku yang baru keluar kamar mandi mengernyit mendengar pekikan Marvin. Mengeringkan rambutku dengan handuk, aku menyahut, "Bahasa kamu beneran kayak orang kampung."Naya tertawa terpingkal-pingkal, bahkan berguling-guling persis emoticon yang sering ia gunakan di percakapan WhatsApp. "Anjir bener orang kampung!"Aku melirik sekilas Naya yang kadang humornya sedikit murahan. Marvin menatap Naya dengan jengah. "Ketawa begitu lo bisa gulung-gulung sampe depan rumah!"Naya terdiam sejenak menatap Marvin menahan tawa yang membuatku dan Marvin mengira bahwa ia akan menghentikan tawanya. Namun, ternyata kami salah, yeorobun."Sialan lo Marvin hahaha Jangan ngelawak lo, hahaha, gila kocak banget, hahaha, gak kebayang, hahaha, berguling seperti lontong ke depan teras, hahaha," tawa Naya semakin membahana bahkan ia mulai mengeluarkan air mata s
"Aku capek pura-pura senyum terus," keluhku pada Tresna saat dua tamu yang baru menyalami kami berlalu, aku menggerakan leherku yang kaku. "Gigiku langsung kering."Tresna merotasikan kedua netranya mendengar keluhanku. "Tahan, satu jam lagi juga selesai.""Bohong banget, selesai apanya. Walaupun nanti di rumah, kalau ada tamu aku harus pasang fake smile lagi. Capek."Beneran, aku ingin menanyai kenapa orang-orang mau menghabiskan uang hingga puluhan dan ratusan juta hanya untuk jadi pajangan selama satu hari. Harus terus tersenyum dan terlihat bahagia, berdiri di pelaminan seperti ini. Ini sudah persis orang-orangan di sawah, berdiri terus sampai kaki jadi talas bogor. Bisa sih duduk, tapi cuma sebentar karena ada tamu undangan yang datang. Harus begini sekali ya untuk dianggap ada oleh masyarakat, hah!Jujur saja, setelah lamaran itu aku tidak ingin pernikahanku dirayakan secara m
"Alan gak nyangka Kakak Mei dulu yang nikah, kaget banget kayak dihantam bom, booom!" celetuk Alan tiba-tiba. Nadanya seperti bukan kaget, ia justru terdengar seperti kehilangan semangat hidup. Tidak ada sensasi nada bicara menanjak seperti orang kaget pada umumnya. Atau ekspresi terkena serangan bom. Kata 'boom' saja tidak ada nadanya. Datar kayak dada artis Korea.Justru yang kelihatan kaget itu adalah aku dan Marvin, selaku kakaknya. Pasalnya adikku ini jarang memulai pembicaraan duluan. Hanya menjawab iya atau tidak kecuali membahas anime, game, atau topik-topik teknologi dan sains.Jika aku dan Marvin lebih tertarik dengan berita Rafathar ribut dengan Baim Wong, Alan lebih tertarik dengan berita bahwa bakteri yang tertidur sejak jutaan lalu kembali terbangun akibat es yang mencair karena pemanasan global dan sistem imun manusia akan berperang dengan bakteri-bakteri ini.Jika aku dan Marvin lebih suka
Akhirnya, aku resmi menjadi istri seorang Tresna Kartadinata.Seminggu setelah pesta pernikahan tidak ada yang berubah dalam hidupku selain status di KTP dan Kartu Keluarga. Urusan resepsi dan printilannya usah selesai. Mama mendapat banyak amplop dan berencana membelikannya perhiasan—katanya untuk investasi.Aku kembali ke rutinitas awalku sebagai Copywriter. Banyak orderan dari berbagai klien yang ingin dibuatkan artikel dan caption untuk media sosial mereka. Ada yang bertujuan untuk meningkat engagement ada juga yang bertujuan untuk berinteraksi dengan pengikutnya. Dan seperti hari-hari sebelum menikah aku masih tertidur menjelang pagi dan terbangun pukul tujuh. Kembali ke kehidupan cosplay sebagai zombie.Tresna sudah kembali ke Surabaya dua hari setelah resepsi itu. Ia bilang ada urusan dengan Dekan. Orang tuaku tidak curiga karen Tresna bilang
Aku melengos saat Tresna blak-blakan mengatakan hal itu. Suara rendahnya yang mengakui jika ia ingin tidur bersamaku itu membuat kepalaku pusing. "Kamu aja yang gampang sange, gak usah nyalahin orang. Kamu aja kebanyakan nonton bokep!" ketusku.Tresna kembali berdiri tegap dan ia menyentil dahiku, "Bahasane arek iki ngawur!" [¹]"Hah?" Sesaat aku cengo. "Kamu kalo ngomong jangan pake bahasa Jawa dong. Kamu kira aku lagi nonton drama Korea dan anime yang ada subtittle-nya? Kamu ngatain aku kan? Ayo, ngaku!" cecarku. Mentang-mentang aku tidak bisa bahasa Jawa ia selalu mengataiku dengan bahasa ibunya itu. Sialan banget kan! Awas saja jika aku bisa Bahasa para Larva aku akan mengatainya dengan bahasa itu hingga dia hanya bisa hah-heh-hah-heh seperti meniup keong. Dasar nyebelin!"Kan saya sudah bilang kamu bisa mulai belajar sedikit-sedikit. Tapi gak harus belajar juga sih, orang Surabaya keban
"Sang Pewaris Kemari. Kita harus terlihat seperti sepasang pengantin baru," ujar Tresna. Aku sangat jelas mendengar ucapannya meskipun sedang kecewa karena dijatuhkan ekspetasi sendiri."Sang Pewaris?" responku."Maksud saya salah satu pewaris," ralat Tresna dengan tatapan aneh tapi aku memilih tidak peduli mengapa ia seperti itu. Perasaanku masih kacau. "Dia adikku. Orang kedua yang waras di Keluarga Kayu Manis," sambungnya.Aku mengangguk, masih diliputi kecewa yang coba kusembunyikan."Saya yakin, kamu akan menyukai Citra. Dia tidak seperti keluarga Kayu Manis yang lain," tambahnya.Suara dua orang berceloteh terdengar. Jarak Citra dan kami kian dekat. Aku segera menengok ke samping. Dari koridor tampak seorang gadis yang sudah pasti adalah Citra Kartadinata. Ia duduk di atas kursi roda dan memangku sebuah laptop. Seorang pelayan berseragam mendorongnya dari belakang. Gadis itu hanya me
Setelah olokan Citra, Tresna melipir. Meninggalkanku berdua dengan Citra dan berkeliling kamarnya yang super besar dan lebar. Kamarnya saja sudah seluas aula SMP-ku dulu. Beberapa sudutnya dipenuhi berbagai lukisan dan sketsa-sketsa karikatur lucu. Bisa dibilang bahwa ini adalah galeri lukisan dan bukan kamar."Ini semua kamu yang gambar?" tanyaku saat melihat lukisan lautan dan awan yang mirip dengan gambar aesthetic film yang digarap Studio Ghibli.Citra mengangguk, ia mendongak menatapku, "Semua gambar yang di dinding ini terinspirasi pas aku lagi fanatik banget sama film Ghibli," tukasnya lantas menunjuk dinding yang dipenuhi sekitar lima belas lukisan. "Lukisan yang itu aku buat pas habis nonton 'Ocean Waves'. Bagus banget alur ceritanya. Karakternya benar-benar remaja banget. Pendewasaan tiap tokohnya juga dapet."Aku mengangguk seraya mengamati lukisan yang ia maksud. Aku tidak terlalu tahu dengan