Aku melengos saat Tresna blak-blakan mengatakan hal itu. Suara rendahnya yang mengakui jika ia ingin tidur bersamaku itu membuat kepalaku pusing. "Kamu aja yang gampang sange, gak usah nyalahin orang. Kamu aja kebanyakan nonton bokep!" ketusku.
Tresna kembali berdiri tegap dan ia menyentil dahiku, "Bahasane arek iki ngawur!" [¹]
"Hah?" Sesaat aku cengo. "Kamu kalo ngomong jangan pake bahasa Jawa dong. Kamu kira aku lagi nonton drama Korea dan anime yang ada subtittle-nya? Kamu ngatain aku kan? Ayo, ngaku!" cecarku. Mentang-mentang aku tidak bisa bahasa Jawa ia selalu mengataiku dengan bahasa ibunya itu. Sialan banget kan! Awas saja jika aku bisa Bahasa para Larva aku akan mengatainya dengan bahasa itu hingga dia hanya bisa hah-heh-hah-heh seperti meniup keong. Dasar nyebelin!
"Kan saya sudah bilang kamu bisa mulai belajar sedikit-sedikit. Tapi gak harus belajar juga sih, orang Surabaya keban
"Sang Pewaris Kemari. Kita harus terlihat seperti sepasang pengantin baru," ujar Tresna. Aku sangat jelas mendengar ucapannya meskipun sedang kecewa karena dijatuhkan ekspetasi sendiri."Sang Pewaris?" responku."Maksud saya salah satu pewaris," ralat Tresna dengan tatapan aneh tapi aku memilih tidak peduli mengapa ia seperti itu. Perasaanku masih kacau. "Dia adikku. Orang kedua yang waras di Keluarga Kayu Manis," sambungnya.Aku mengangguk, masih diliputi kecewa yang coba kusembunyikan."Saya yakin, kamu akan menyukai Citra. Dia tidak seperti keluarga Kayu Manis yang lain," tambahnya.Suara dua orang berceloteh terdengar. Jarak Citra dan kami kian dekat. Aku segera menengok ke samping. Dari koridor tampak seorang gadis yang sudah pasti adalah Citra Kartadinata. Ia duduk di atas kursi roda dan memangku sebuah laptop. Seorang pelayan berseragam mendorongnya dari belakang. Gadis itu hanya me
Setelah olokan Citra, Tresna melipir. Meninggalkanku berdua dengan Citra dan berkeliling kamarnya yang super besar dan lebar. Kamarnya saja sudah seluas aula SMP-ku dulu. Beberapa sudutnya dipenuhi berbagai lukisan dan sketsa-sketsa karikatur lucu. Bisa dibilang bahwa ini adalah galeri lukisan dan bukan kamar."Ini semua kamu yang gambar?" tanyaku saat melihat lukisan lautan dan awan yang mirip dengan gambar aesthetic film yang digarap Studio Ghibli.Citra mengangguk, ia mendongak menatapku, "Semua gambar yang di dinding ini terinspirasi pas aku lagi fanatik banget sama film Ghibli," tukasnya lantas menunjuk dinding yang dipenuhi sekitar lima belas lukisan. "Lukisan yang itu aku buat pas habis nonton 'Ocean Waves'. Bagus banget alur ceritanya. Karakternya benar-benar remaja banget. Pendewasaan tiap tokohnya juga dapet."Aku mengangguk seraya mengamati lukisan yang ia maksud. Aku tidak terlalu tahu dengan
"Mbak gak tahu kan kalau lewat kata-kata yang Mbak tulis ada satu orang yang merasa hidupnya terselamatkan."Aku tidak pernah berpikir sampai ke sana. Aku saja tidak terlalu yakin jika ada yang membaca tulisanku. Aku tentu sadar diri, review receh yang kutulis terkadang tidak objective dan isinya sangat nirfaidah. Tulisan yang menyelamatkan orang lain nampaknya terlalu berlebihan. Hah, mimpi kali!Aku bahkan sudah setahun ini berhenti menulis review musik di blog pribadiku sendiri dan memilih mengambil pekerjaan dari orang lain, me-review produk klien demi meraih sepeser rupiah demi rupiah yang rencana akan aku gunakan untuk menambah living cost selama kuliah S2 nanti.Jujur saja aku suka menulis tentang musik dan lagu tapi aku harus mengakui bahwa dari bidang ini aku tak mendapat sepeserpun uang. Aku sudah dewasa dan tentunya harus realistis dengan keadaan yang ada. Maka aku mengorbanka
Aku benar-benar penasaran dengan keluarga Kartadinata yang ternyata memiliki banyak intrik dan persaingan memperebutkan harta.Manusia memang tidak pernah bisa puas. Lihat saja keluarga Kartadinata ini, masing-masing dari mereka sudah memiliki bisnis dan jabatan penting yang didapat dari usaha sendiri tapi masih berebut warisan.Sekarang aku jadi memikirkan apa saja yang sudah dilalui Tresna saat menjadi anggota keluarga gila ini. Apakah ia juga pernah merasa kehilangan seperti Citra yang kehilangan kaki?Aku ingin tahu, tapi memaksa orang lain bercerita saat enggan tentu sangat tidak etis. Maka dari itu aku menunggu Tresna bercerita, mungkin suatu saat sebelum kami bercerai. Mungkin.Aku menghela napas dan lanjut mengetik artikel yang dipesan oleh klienku. Kali ini dari sbeuah brand kosmetik yang menyasar remaja. Aku pun membuat beberapa tips make up pemula dan menyodorkan brand klienku sebagai rekomendas
Kamu suka bikin saya pusing kalo dandan cantik-cantik gini! Kamu sengaja goda saya ya?Hah? Maksudnya apa ya, Pak?Aku sama sekali tidak berpikir menggoda Tresna. Pakaian saja yang memilihkan dia, kok bisa aku yang jadi penggoda di sini.Kalimat Tresna tadi membuatku benar-benar overthinking bahkan saat kami sekarang sedang mendiamkan satu sama lain saat diam-diam menunggu untuk naik Singapore Flyer sekaligus diner.Tresna benar-benar totalitas dalam segala hal yang berhubungan dengan buang-buang uang. Entah berapa ribu dollar yang ia habiskan untuk membayar makam malam di dalam kapsul kinvir yang menjadi ikon wisata di Singapura.Singapore Flyer ini sering dianggap kincir atau bianglala terbesar di dunia dengan ketinggian mencapai 165 meter di
"Kamu harus tanggung jawab kalau saya mabok beneran, Meilavia."Aku terkekeh. Hasratku untuk mengolok Tresna semakin menggebu-gebu. Tebakanku benar. Tresna itu payah soal minum, masa hanya karena segelas dia sudah teler. "Bener kan kamu itu gampang mabok, beneran cupu! Marvin aja kuat sampe tiga gelas."Tresna mendengkus. Ia nampak tak terima dan mengkode pelayan untuk meminta minuman berakohol tambahan yang entah namanya apa. Pelayan pun menyajikan dua gelas lagi kepada Tresna."Udah, gak usah maksa minum lagi. Kalo mabok beneran aku repot," tukasku saat Tresna mulai meminum gelas kedua."Kalau saya gak minum, kamu akan ngejek saya terus," ketusnya seraya meletakkan gelas itu di atas meja secara kasar.Aku membuat ekspresi terkejut yang menyebalkan. Terlihat dibuat-buat dan Tresna menatapku dongkol. "Tentu saja! Kekurangan ada itu untuk diejek dan diolok-olok. Kapan lagi ada kesempatan un
Tresna justru menangkup rahangku dengan kedua telapak tangannya. Ia memejamkan mata dan menciumku.Sial, apakah aku harus menikmati ini atau mendorong Tresna dan pergi?Tapi bibir lembut Tresna merampas kewarasanku. Aku yang seharusnya di sini menahan diri dan menyudahi ini semua, justru terbuai dan menikmati apa yang ditawarkan Tresna.Dasar, jalang!Kedua tanganku kini mengalung di bahunya dan saat lidah Tresna menari-nari, tanganku meremas rambut pria itu. Memintanya lebih.Tresna membawaku dalam kegelapan yang penuh keributan oleh detak jantungku dan mungkin juga milik Tresna. Gelap yang riuh itu menenggelamkanku dalam pesona seorang Tresna.Tresna piawai dalam bermain lidah dan layaknya perempuan lainnya, aku bertanya-tanya bagaimana bisa pria ini sangat ahli melakukannya.Berapa banyak bibir gadis yang telah Tresna buai seperti ini?
"Tidak ada yang lebih menyakitkan selain hanya memiliki tubuh pasangan tapi tidak hatinya. Istri kamu jelas akan menderita Tresna." Tresna menyeringai, "Move on gak semudah goreng tahu bulat, Meilavia." Fuck! Aku ingin tertawa. Kenapa perumpamaannya harus tahu bulat digoreng dadakan di mobil lima ratusan? Otak Tresna perlu dibenahi! "Kenapa harus tahu bulat sih? Aku serius!" ketusku kesal tapi ingin tertawa terbahak-bahak. "Saya juga serius. Betulkan, move on dan melupakan mantan itu gak semendadak menggoreng tahu bulat." Tresna menatapku tanpa dosa. Rasa ingin menjedotkan kepalanya ke meja semakin besar. "Kata Taylor Swift, melupakan dia seperti mencoba mengenal orang yang belum pernah ditemui. Melupakan Nana sulit, ia selalu berputar-putar di kepala saya." "Apa kelebihan Nana sampai kamu susah melupakan dia, Tresna?" tanyaku penasaran. Apa kelebihan gadis itu sampai dua orang kaya bisa tergila-gila padanya. "Dia cantik. Tapi gak dan se-sexy