SEJAK Pardi berkata soal "ada sesuatu yang sebaiknya disampaikan secara langsung", benak Tiara sibuk menebak-nebak. Apa sebetulnya yang dilihat lelaki itu selama di Indramayu, dan hendak disampaikannya padanya?
Namun tebakan Tiara tidak jauh-jauh dari keberadaan Atisaya di rumah sakit. Siapa lagi memangnya yang mungkin menunggui Abdi di rumah sakit selain perempuan tersebut. Karenanya, pastilah Pardi bertemu dengan tunangan Abdi itu.
Lalu entah apa yang disimpulkan Pardi setelah bertemu Atisaya, agaknya itulah yang disebut lelaki itu sebagai "sesuatu yang sebaiknya disampaikan secara langsung". Membuatnya memutuskan langsung ke Jakarta alih-alih sekedar menelepon.
"Kamu dari Indramyu langsung ke sini?" tanya Tiara membuka obrolan.
Pardi tengah mengambil nasi dari dalam rice cooker yang terletak di sebelah meja makan. Ia memberi jawaban sambil meneruskan gerakannya.
"Iya, Mbak. Tadi habis Dzuhur dan makan bareng Abdi dan tunangannya, langsung deh ke
BERALASAN hendak menemui seorang kolega bersama Pardi, Tiara berpamitan keluar pada orang tuanya. Pak Wardoyo sebetulnya masih ingin mengajak Pardi mengobrol banyak, tapi akhirnya mengalah setelah diberi 'penjelasan' oleh puterinya."Nggak lama kok, Pa. Nanti kalau kami sudah selesai, Papa bisa sepuasnya ngobrolin soal pohon jati atau tambak lele sama Mas Pardi," kata Tiara, lalu memberi senyum manis pada papanya."Jangan malam-malam, nanti Papa keburu ngantuk," sahut Pak Wardoyo yang ikut melangkah menuju ke depan."Iya, Pa. Tiara janji paling telat jam sembilan sudah balik lagi," kata Tiara pula.Sementara itu Pardi sudah menuju ke garasi untuk mengambil mobil. Awalnya lelaki itu hendak naik ke minibus yang ia bawa dari Batang. Namun batal karena langsung diingatkan oleh Tiara kalau mereka akan membawa mobil Pak Wardoyo yang biasa dipakai gadis itu."Nanti jadi main catur kan, Di?" seru Mang Udin sewaktu lelaki paruh baya itu membukakan pintu ger
SATU yang kemudian mengganjal bagi Pardi, bagaimana kelanjutan jalinan pertunangan antara Tiara dan Ryan. Akankah perselingkuhan yang dipergoki gadis itu, sebagaimana diceritakan Abdi tadi, bakal mengubah hubungan tersebut?Obrolan mereka untuk sejenak dijeda karena kedatangan pelayan. Dengan cekatan pelayan tersebut meletakkan pesanan-pesanan Tiara dan Pardi ke atas meja. Setelah selesai dengan pekerjaannya, si pelayan mempersilakan kedua tamunya untuk menikmati hidangan."Terima kasih banyak, Mbak," ucap Tiara sebelum si pelayan kembali ke tempatnya.Si pelayan menyahut dengan senyuman ramah menghiasi wajah. Sedangkan Pardi yang tertarik pada tampilan minuman di hadapannya, langsung mengambil gelas hidangan tersebut dan menyeruput isinya."Enak, Di? Itu minuman favoritku kalau makan di sini," ujar Tiara, tak mampu menahan geli melihat tingkah Pardi.Yang ditanyai buru-buru menganggukkan kepala. Tapi bukannya menanggapi soal minuman, Pardi malah b
PARDI mungkin hanya seorang pekerja di Keluarga Wardoyo. Namun dengan mengajaknya berbicara seperti ini, tampak bagaimana Tiara menghormati lelaki itu. Menunjukkan bagaimana ia tak sekadar pura-pura menganggap Pardi sebagai saudara tua.Karenanya pula, setiap kata yang diucapkan Pardi saat itu benar-benar didengarkan oleh Tiara. Niatnya memang ingin mendapat masukan mengenai apa yang sedang membuatnya galau setelah mati. Selain tentu saja mendengar laporan mengenai kondisi Abdi.Tapi agaknya ini kali terakhir Tiara memedulikan Abdi. Keterangan Pardi bahwa pemuda yang telah mencuri hatinya itu begitu mesra dengan Atisaya, membuat Tiara berkeputusan untuk berhenti memikirkan Abdi. Seperti saran Pardi, gadis itu sadar jika yang terbaik baginya adalah menjauh dari sang pujaan hati."Mbak?" panggil Pardi dengan nada khawatir, setelah Tiara hanya berdiam diri selama bermenit-menit."Y-ya?" Tiara tergeragap, lalu terdengar mengembuskan napas panjang lagi berat.
SETELAH menjalani perawatan selama tiga hari, Abdi diizinkan pulang. Ibunya langsung berteriak senang ketika dikabari via telepon. Namun tak urung wanita tersebut bertanya ke Abdi, siapa yang akan membayar biaya rumah sakit.Pertanyaan sulit itu dapat dijawab dengan baik oleh Abdi. Mudah ditebak, Haji Sobirin berbaik hati menanggung seluruh biaya pengobatan calon menantunya tersebut. Namun kepada ibunya Abdi berkata bahwa dirinya meminjam uang dari Atisaya.Bukan bermaksud membohongi orang tua sendiri. Namun Abdi tahu betul jika ibunya bakalan tidak tenang pikirannya jika tahu lagi-lagi sudah membuat repot Haji Sobirin. Apalagi jika mendengar sendiri nominal yang harus dibayar haji tersebut ke rumah sakit."Terus, nanti pulangnya bagaimana?" tanya ibu Abdi lagi, penuh nada cemas.Abdi tertawa untuk menghibur ibunya. "Pak Haji nanti yang jemput, Mak. Sudah, Emak tenang-tenang saja di rumah. Nanti anak lanangmu ini bakal diantar sampai ke depan pintu."
MALAM harinya, Abdi mengulangi pernyataan tersebut di hadapan Trisna dan Murni. Sedangkan kakaknya satu lagi yang tinggal di Kuningan, menjadi saksi melalui video call. Semuanya terlihat lega setelah mendengar kemantapan hati Abdi.Atas saran Trisna sebagai kakak tertua, Abdi diminta segera menghadap Haji Sobirin. Meski sang haji sudah punya rencana untuk menikahkan bulan depan, Trisna mendesak Abdi untuk meminta izin untuk mengucap ijab-qabul terlebih dahulu. Sedangkan bulan depan untuk pesta resepsi."Akang takut saya berubah pikiran, ya?" tanya Abdi pada Trisna ketika mereka tinggal berdua di ruang tamu.Yang ditanyai jadi tergelak. "Ya, bolehlah dibilang begitu. Tapi, sebetulnya ini kan sudah jadi tuntunan. Kalau memang tidak ada yang harus ditunggu lagi, sebaiknya disegerakan. Walau cuma ijab-qabul dulu, pestanya belakangan.""Saya sih, nggak pesta-pestaan juga nggak apa-apa," sahut Abdi seraya tersenyum kecut, merasa keki karena pertanyaannya justru
SUNGGUH tak terperi kegembiraan Haji Sobirin saat ini. Salah satu impian terbesar dalam hidupnya, yakni menikahkan Atisaya, sebentar lagi bakal segera terwujud. Puterinya dan Abdi telah melisankan persetujuan mereka untuk dinikahkan lebih cepat dari rencana awal.Mulanya Abdi meminta dinikahkan secara agama saja terlebih dahulu, cukup dirinya mengucap qabul di hadapan wali Atisaya dengan disaksikan kerabat dekat. Namun Haji Sobirin punya pikiran berbeda. Ia sama sekali tidak keberatan sekalian menggelar pesta.Malam itu juga Ustadz Salim dipanggil. Selain seorang ulama desa, lelaki satu ini juga paham perhitungan-perhitungan 'hari baik'. Kepadanya Haji Sobirin diminta menghitungkan kapan sebaiknya pernikahan Abdi dan Atisaya dilangsungkan."Kamu sudah mengambil langkah yang tepat, Nang," ucap Ustadz Salim saat menyalami Abdi. "Calon istri sudah ada. Bahkan bobot, bibit, dan bebetnya tidak perlu diragukan lagi. Restu orang tua juga sudah diberikan. Jadi, memang s
ALIH-ALIH dapat terlelap, Abdi justru merasa tidak mengantuk sama sekali. Pemuda itu malah kembali bangun dari posisi berbaring, duduk di tepian ranjang. Bayangan wajah Tiara terus saja menghiasi kepalanya, seolah tak mau meninggalkannya sedetik pun.Abdi menghela napas panjang. "Maafkan aku, Tiara. Aku harus memutuskan begini karena satu dan lain alasan. Kalau kamu mau, aku siap menjelaskannya seharian penuh kepadamu. Dan aku harap kamu mau mengerti alasanku," desahnya.Napas panjang itu lantas diembuskan kembali. Ketika bayangan Tiara tak kunjung pergi, Abdi menangkupkan kedua belah tangannya ke muka."Aku sungguh tak mau kehilangan dirimu, Tiara. Aku ingin hidup bersamamu, menghabiskan hari-hariku di sisimu. Tapi, keadaanku juga keadaan keluargaku tidak memungkinkan untuk itu. Maafkan aku," desah Abdi lagi, seolah-olah sedang berbicara berhadap-hadapan dengan Tiara.Setelah beberapa saat susah payah berusaha mengusir bayangan Tiara, Abdi menyerah. Pemu
TIARA bangun dari tidurnya dalam keadaan kaget. Wajahnya pias bukan main, dipenuhi titik-titik keringat dingin. Napasnya pun terengah-engah, bagaikan habis berlari dikejar-kejar setan. Dalam kebingungan gadis itu coba mengingat-ingat lagi apa mimpinya tadi.Setelah bersusah payah mengumpulkan memori, barulah Tiara dapat mengingat kembali impian yang membuatnya bangun dalam keadaan seperti itu. Ia memimpikan Abdi. Lebih tepatnya lagi ia mimpi kehilangan Abdi, karena pemuda tersebut masuk ke dalam jurang."Oh, pertanda apakah ini?" desis Tiara dengan hati diliputi ketakutan yang amat sangat. Saat itulah baru ia sadari jantungnya berdegup lebih kencang berkali-kali lipat dari biasa.Dalam mimpinya, Tiara seolah mengulang kembali momen ketika dirinya bermobil berdua bersama Abdi menuju Batang. Bedanya, mereka berangkat sebagai pasangan kekasih. Lalu, kecelakaan itu terjadi dan mobil yang mereka tumpangi masuk ke dalam jurang.Persis kejadian saat mereka tersa