SATU yang kemudian mengganjal bagi Pardi, bagaimana kelanjutan jalinan pertunangan antara Tiara dan Ryan. Akankah perselingkuhan yang dipergoki gadis itu, sebagaimana diceritakan Abdi tadi, bakal mengubah hubungan tersebut?
Obrolan mereka untuk sejenak dijeda karena kedatangan pelayan. Dengan cekatan pelayan tersebut meletakkan pesanan-pesanan Tiara dan Pardi ke atas meja. Setelah selesai dengan pekerjaannya, si pelayan mempersilakan kedua tamunya untuk menikmati hidangan.
"Terima kasih banyak, Mbak," ucap Tiara sebelum si pelayan kembali ke tempatnya.
Si pelayan menyahut dengan senyuman ramah menghiasi wajah. Sedangkan Pardi yang tertarik pada tampilan minuman di hadapannya, langsung mengambil gelas hidangan tersebut dan menyeruput isinya.
"Enak, Di? Itu minuman favoritku kalau makan di sini," ujar Tiara, tak mampu menahan geli melihat tingkah Pardi.
Yang ditanyai buru-buru menganggukkan kepala. Tapi bukannya menanggapi soal minuman, Pardi malah b
PARDI mungkin hanya seorang pekerja di Keluarga Wardoyo. Namun dengan mengajaknya berbicara seperti ini, tampak bagaimana Tiara menghormati lelaki itu. Menunjukkan bagaimana ia tak sekadar pura-pura menganggap Pardi sebagai saudara tua.Karenanya pula, setiap kata yang diucapkan Pardi saat itu benar-benar didengarkan oleh Tiara. Niatnya memang ingin mendapat masukan mengenai apa yang sedang membuatnya galau setelah mati. Selain tentu saja mendengar laporan mengenai kondisi Abdi.Tapi agaknya ini kali terakhir Tiara memedulikan Abdi. Keterangan Pardi bahwa pemuda yang telah mencuri hatinya itu begitu mesra dengan Atisaya, membuat Tiara berkeputusan untuk berhenti memikirkan Abdi. Seperti saran Pardi, gadis itu sadar jika yang terbaik baginya adalah menjauh dari sang pujaan hati."Mbak?" panggil Pardi dengan nada khawatir, setelah Tiara hanya berdiam diri selama bermenit-menit."Y-ya?" Tiara tergeragap, lalu terdengar mengembuskan napas panjang lagi berat.
SETELAH menjalani perawatan selama tiga hari, Abdi diizinkan pulang. Ibunya langsung berteriak senang ketika dikabari via telepon. Namun tak urung wanita tersebut bertanya ke Abdi, siapa yang akan membayar biaya rumah sakit.Pertanyaan sulit itu dapat dijawab dengan baik oleh Abdi. Mudah ditebak, Haji Sobirin berbaik hati menanggung seluruh biaya pengobatan calon menantunya tersebut. Namun kepada ibunya Abdi berkata bahwa dirinya meminjam uang dari Atisaya.Bukan bermaksud membohongi orang tua sendiri. Namun Abdi tahu betul jika ibunya bakalan tidak tenang pikirannya jika tahu lagi-lagi sudah membuat repot Haji Sobirin. Apalagi jika mendengar sendiri nominal yang harus dibayar haji tersebut ke rumah sakit."Terus, nanti pulangnya bagaimana?" tanya ibu Abdi lagi, penuh nada cemas.Abdi tertawa untuk menghibur ibunya. "Pak Haji nanti yang jemput, Mak. Sudah, Emak tenang-tenang saja di rumah. Nanti anak lanangmu ini bakal diantar sampai ke depan pintu."
MALAM harinya, Abdi mengulangi pernyataan tersebut di hadapan Trisna dan Murni. Sedangkan kakaknya satu lagi yang tinggal di Kuningan, menjadi saksi melalui video call. Semuanya terlihat lega setelah mendengar kemantapan hati Abdi.Atas saran Trisna sebagai kakak tertua, Abdi diminta segera menghadap Haji Sobirin. Meski sang haji sudah punya rencana untuk menikahkan bulan depan, Trisna mendesak Abdi untuk meminta izin untuk mengucap ijab-qabul terlebih dahulu. Sedangkan bulan depan untuk pesta resepsi."Akang takut saya berubah pikiran, ya?" tanya Abdi pada Trisna ketika mereka tinggal berdua di ruang tamu.Yang ditanyai jadi tergelak. "Ya, bolehlah dibilang begitu. Tapi, sebetulnya ini kan sudah jadi tuntunan. Kalau memang tidak ada yang harus ditunggu lagi, sebaiknya disegerakan. Walau cuma ijab-qabul dulu, pestanya belakangan.""Saya sih, nggak pesta-pestaan juga nggak apa-apa," sahut Abdi seraya tersenyum kecut, merasa keki karena pertanyaannya justru
SUNGGUH tak terperi kegembiraan Haji Sobirin saat ini. Salah satu impian terbesar dalam hidupnya, yakni menikahkan Atisaya, sebentar lagi bakal segera terwujud. Puterinya dan Abdi telah melisankan persetujuan mereka untuk dinikahkan lebih cepat dari rencana awal.Mulanya Abdi meminta dinikahkan secara agama saja terlebih dahulu, cukup dirinya mengucap qabul di hadapan wali Atisaya dengan disaksikan kerabat dekat. Namun Haji Sobirin punya pikiran berbeda. Ia sama sekali tidak keberatan sekalian menggelar pesta.Malam itu juga Ustadz Salim dipanggil. Selain seorang ulama desa, lelaki satu ini juga paham perhitungan-perhitungan 'hari baik'. Kepadanya Haji Sobirin diminta menghitungkan kapan sebaiknya pernikahan Abdi dan Atisaya dilangsungkan."Kamu sudah mengambil langkah yang tepat, Nang," ucap Ustadz Salim saat menyalami Abdi. "Calon istri sudah ada. Bahkan bobot, bibit, dan bebetnya tidak perlu diragukan lagi. Restu orang tua juga sudah diberikan. Jadi, memang s
ALIH-ALIH dapat terlelap, Abdi justru merasa tidak mengantuk sama sekali. Pemuda itu malah kembali bangun dari posisi berbaring, duduk di tepian ranjang. Bayangan wajah Tiara terus saja menghiasi kepalanya, seolah tak mau meninggalkannya sedetik pun.Abdi menghela napas panjang. "Maafkan aku, Tiara. Aku harus memutuskan begini karena satu dan lain alasan. Kalau kamu mau, aku siap menjelaskannya seharian penuh kepadamu. Dan aku harap kamu mau mengerti alasanku," desahnya.Napas panjang itu lantas diembuskan kembali. Ketika bayangan Tiara tak kunjung pergi, Abdi menangkupkan kedua belah tangannya ke muka."Aku sungguh tak mau kehilangan dirimu, Tiara. Aku ingin hidup bersamamu, menghabiskan hari-hariku di sisimu. Tapi, keadaanku juga keadaan keluargaku tidak memungkinkan untuk itu. Maafkan aku," desah Abdi lagi, seolah-olah sedang berbicara berhadap-hadapan dengan Tiara.Setelah beberapa saat susah payah berusaha mengusir bayangan Tiara, Abdi menyerah. Pemu
TIARA bangun dari tidurnya dalam keadaan kaget. Wajahnya pias bukan main, dipenuhi titik-titik keringat dingin. Napasnya pun terengah-engah, bagaikan habis berlari dikejar-kejar setan. Dalam kebingungan gadis itu coba mengingat-ingat lagi apa mimpinya tadi.Setelah bersusah payah mengumpulkan memori, barulah Tiara dapat mengingat kembali impian yang membuatnya bangun dalam keadaan seperti itu. Ia memimpikan Abdi. Lebih tepatnya lagi ia mimpi kehilangan Abdi, karena pemuda tersebut masuk ke dalam jurang."Oh, pertanda apakah ini?" desis Tiara dengan hati diliputi ketakutan yang amat sangat. Saat itulah baru ia sadari jantungnya berdegup lebih kencang berkali-kali lipat dari biasa.Dalam mimpinya, Tiara seolah mengulang kembali momen ketika dirinya bermobil berdua bersama Abdi menuju Batang. Bedanya, mereka berangkat sebagai pasangan kekasih. Lalu, kecelakaan itu terjadi dan mobil yang mereka tumpangi masuk ke dalam jurang.Persis kejadian saat mereka tersa
KESIBUKAN membantu Mbak Yem di dapur membuat waktu bergulir lebih cepat bagi Tiara. Tahu-tahu saja sudah waktunya bagi gadis itu untuk sarapan dan kemudian berangkat ke kantor. Ia sudah tak sabar ingin tahu apa yang ingin dibicarakan Ryan dengannya.Ketika papa dan mamanya bergabung ke meja makan, Tiara memanfaatkan kesempatan itu untuk kembali menanyakan soal niat mereka berbicara dengan Keluarga Wijaya. Mereka bertiga harus satu kata sebelum menghadapi pihak laki-laki."Pa, Ma, kira-kira kapan nih baiknya kita bicarakan soal batalnya pertunangan Tiara dan Ryan? Jangan digantung lama-lama dong," cetus Tiara membuka pembicaraan.Pak Wardoyo dan istri sontak saling pandang mendengar itu. Alih-alih menjawab serius, lelaki berusia pengujung lima puluhan tahun itu malah menggoda puterinya."Wah, Ma, sepertinya ada yang sudah tidak sabar ingin berstatus bebas tanpa ikatan. Apa karena sudah ada yang mengejar lagi, ya?" kata Pak Wardoyo, serya kedipkan sebelah m
BUDI Wijaya duduk di kursi satu-satunya yang ada di depan meja kerja Tiara. Sedangkan Ryan berdiri di sebelah ayahnya. Wajah kedua lelaki itu sangat sulit diartikan. Tiara tak dapat menebak apakah keduanya tengah marah, malu, atau malah seperti memendam kesakitan.Tiara sendiri kembali duduk di kursinya. Didekatkannya kursi ke meja, sehingga kedua tangannya dapat dilipat ke permukaan meja kerja. Ia sama sekali tidak menghiraukan Ryan yang hanya berdiri karena tak ada lagi tempat duduk.Menariknya, Budi Wijaya juga seperti tak acuh pada puteranya yang tak dipedulikan oleh Tiara. Hal ini membuat dugaan di hati Tiara semakin tebal, bahwasanya orang tua tersebut sudah tahu perbuatan Ryan terhadapnya."Om mengagetkan saya, karena sudah lama sekali Om nggak main ke kantor ini," ujar Tiara membuka percakapan. Kalimat itu merupakan bentuk halus dari pertanyaan yang muncul di benaknya, "Tumben, Om?"Budi Wijaya coba tersenyum. Namun jelas sekali senyum itu dipaksa