Dante berdiri di hadapan Risa dengan senyum mengerikan, matanya menatap tajam wanita itu. "Kau pikir aku hanya menginginkan uangmu?" ucapnya sambil memainkan pisau belati yang ada di tangannya, membuat Risa semakin ketakutan. Risa mencoba menenangkan hatinya yang kacau, menggenggam stang sepeda motornya dengan erat. "Jika kau mau motor ini juga, silahkan ambil. Tapi tolong, jangan sakiti aku, anak-anak sedang menungguku pulang," mohon Risa dengan degup jantung yang tidak beraturan. Kedua telapak tangannya yang mencengkram kuat stang sepeda motornya mulai berkeringat, padahal malam ini cuaca begitu dingin sekali. "Aku mau tubuhmu, cantik." Kata Dante dengan nada merendahkan, ia menyentuh pipi Risa dengan ujung pisau belatinya. Risa merasa ngeri, seakan-akan setiap sentuhan pisau tersebut akan melukai kulitnya yang halus. Ketika ujung pisau tersebut menyentuh kulitnya, terasa begitu dingin, membuat desir datangnya semakin kencang. Kedua matanya berkaca-kaca, menahan rasa ketakutan ya
Imas harap-harap cemas, berulang kali ia menghubungi Dante, namun tidak dijawab juga. Ia menghempaskan tubuhnya di atas dipan bambu di teras samping rumah Hafsah, ia sengaja duduk disana karena sambil mengawasi anak-anaknya yang sedang bermain. Imas terpaksa masih tinggal di rumah Hafsah karena Azzam tidak sanggup untuk mengontrakkan rumah. Mereka menempati rumah Hafsah bagian belakang dekat gudang, dan menutup pintu menuju ke dapur rumah utama, mau tidak mau Imas harus bertahan. Karena dia tidak tahu harus bernaung kemana lagi.“Kemana sih anak itu? Kenapa telpon dari tadi gak di angkat. Jangan-jangan Risa sudah mati dan Dante ditangkap polisi lagi?” Gumamnya mulai panik, Imas langsung berdiri, mondar mandir bingung.“Risa mati? Kau membunuhnya?” tanya Hafsah, Imas langsung menoleh.“I-ibu! Ngageti aja, sejak kapan ibu ada disitu?” tanya Imas, wajahnya langsung berubah pucat, ia meneguk salivanya dengan kasar.“Kau punya uang untuk menyewa orang?” tanya Hafsah lagi penuh intimidasi.
Azzam hanya terdiam ketika salah satu rekan kerjanya berkata seperti itu ia hanya menghembuskan nafas dengan kasar sambil menyeka keringat yang membasahi dahinya.“Semua ini gara-gara Risa, andai saja dia tidak menyebarkan video itu, pasti aku masih bekerja di kantor camat. Si-alan.” Umpat Azzam dalam hati, padahal kemarin-kemarin ia sudah mulai ingin berdamai dengan keadaan ini, akan tetapi ada saja kesialan yang menimpanya karena kejadian tersebarnya video itu.“Ini bayaran kamu untuk 3 hari ini, semenjak kamu bekerja di sini, ada saja kesialan yang menimpa kami semua. Dari ambruknya bangunan, hilangnya beberapa material dan gaji dipotong pemilik proyek. Dan ini, pemborong mau memotong gaji kami lagi hanya karena kamu, jadi, sebelum semua itu terjadi, lebih baik kamu stop bekerja di sini, paham?! Ambil ini.” Tukas mandor tersebut sambil menyerahkan 3 lembar uang pecahan 50 ribu pada Azzam dengan cara melemparkan pada wajahnya.Azzam memejamkan matanya, tinjunya mengepal, meneguk sal
“Siapa kamu, jangan ikut campur.” Hafsah menepiskan tangan Pram dengan kasar. Kedua matanya melotot lebar, sedangkan Imas beranjak bangkit dan berdiri di belakang Hafsah yang menatap nyalang kearah Pram.“Kenalkan, saya Angkasa Pramudya. Jangan pernah ganggu mereka jika tidak mau berurusan dengan saya.” Tegasnya sambil melangkah menarik lengan Nuri agar mundur menjauh dari Hafsah. Nuri langsung saja mendekati Risa yang masih berdiri terpaku, rasa nyeri pada perutnya kini mulai terasa kembali. Risa meringis kesakitan, tangannya menyentuh lembut pada perutnya yang terluka dan belum sembuh total.“Laki-laki itu yang mbak maksud?” tanya Nuri dengan suara lirih.“Sepertinya iya, Nur. Tapi dia bilang siapa tadi namanya.” Risa menoleh kearah Nuri sambil meringis kesakitan entah kenapa tiba-tiba saja perutnya terasa sakit, padahal tadi baik-baik saja sebelum Imas dan Hafsah datang. Bahkan Risa sudah merasa lebih baik dari beberapa hari yang lalu.“Mau siapapun kau, aku tidak peduli. Jangan ik
Risa dan Nuri langsung saja diantar pulang oleh Pram ke rumah. Risa jalan dengan perlahan dipapah oleh Nuri, Pram ingin membantu, namun masih sungkan. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, memahami suasana.“Mm, aku harus panggil apa nih, om, mas, pak atau…”“Panggil saya mas Pram saja. Apakah ini rumah mbak Nuri dan mbak Risa?” tanyanya.“Lebih tepatnya rumah mbak Risa. Seharusnya aku masih ikut bapak dan ibu, tapi… mereka justru membenarkan kelakuan mas Azzam yang tidak patut pada mbak Risa.” Jawab Nuri dengan ekspresi wajah sendu.“Kok malah curhat, kepala mbak pusing, masuk yuk.” Ajak Risa.Pram yang mendengar ungkapan Nuri mengerutkan keningnya heran, ia belum memahami situasinya. Meskipun tadi ia sedikit menyimpulkan ketika kejadian di lapak milik Risa.“Masuk, mas Pram.” Ucap Nuri dan Risa serentak.“Oh ya, tunggu sebentar, saya terima telepon dahulu.” Jawabnya sambil merogoh saku celananya. Pram sedikit menjauh ketika Risa dan Nuri membuka pintu dengan lebar, ia menghubungi beb
KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #1“Lepaskan!”“Apa-apaan ini? Kami tidak melakukan apapun!” Suara seorang pria membela diri. “Arak saja, bila perlu telanjangi!” Suara riuh saling bersahutan dan memblokade jalanan.Aku beranjak bangkit ketika mendengar keributan di jalanan sana, aku mengira jika ada kecelakaan. Karena banyak orang-orang yang berkerumun juga di sana. Bahkan beberapa teman sesama pemilik lapak di pinggiran kaki lima ini ikut heboh dan berlari menuju keramaian di sana. Akan tetapi, aku kurang tertarik, aku memilih berkemas karena malam semakin larut, apalagi sekarang sudah mulai gerimis mengundang.“Ada apa sih?” tanyaku pada teman yang baru saja kembali sambil mengepalkan kedua tangannya geram.“Huh, perempuan zaman sekarang ya, kok murah banget. Pelakor di pergoki istri sah di penginapan, di grebek noh sama warga dan RT, terus di arak, mereka hanya memakai pakaian dalam. Amit-amit, cantik mending, lah ini, auranya aura tengah malam, serem banget,” omel Atik
KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #2Aku segera memarkirkan motorku dengan asal di badan jalan, dengan langkah mantap menuju rumah warga tersebut. Memperhatikan dengan seksama motor tersebut, dan benar saja itu motor yang sama yang dipakai mas Azzam ketika berangkat bekerja tadi.“Tidak salah lagi, ini benar motorku.” Lirih, lalu aku berniat akan mengetuk pintu, tetapi dari dalam terdengar suara derap kaki dan orang sedang mengobrol.“Dadah, ayah berangkat kerja dulu ya, nanti ayah datang lagi. Janji, besok ayah akan menginap di sini,” suara pria yang sangat aku kenal. Dengan cepat aku berlari menuju motorku, menyembunyikan di balik rumah warga yang lain, lalu memperhatikan rumah tersebut. Jantung rasanya seperti akan melompat, ketika mendengar suara mas Azzam, apalagi dia menyebut dirinya dengan sebutan ayah, itu berarti…, ahk, otakku rasanya agak ngeblank sedikit.Tidak lama pintu terbuka, hampir saja tubuhku limbung, tangan segera berpegangan pada motor dan tubuh bersandar
KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #3“Risa, ini tidak seperti yang kau lihat, aku di jebak dengan perempuan itu. Kau dengar sendiri, dia sudah membuat resah warga kampung ini karena kelakuannya.” Mas Azzam melangkah mendekat, ia masih saja mengucapkan kalimat untuk membela diri dan menutupi kesalahannya.“Halah, gak ada zamannya di jebak. Gak usah percaya, mbak,” seru salah satu seorang warga dari belakang.“Bener, perempuan sama jantannya sama aja. Menjijikkan sekali,” sahut yang lainnya.Aku masih berusaha setenang mungkin, tidak ingin memperlihatkan rasa cemburu dan amarah yang sudah menggelegak dan siap tumpah seperti lahar panas dari dalam kepala ini.“Risa, jangan dengarkan mereka. Kau lebih mengenal aku, jangan percaya apa kata-kata mereka.” Mas Azzam berusaha meraih tanganku, akan tetapi aku segera menghindarinya. Sudah jelas terlihat nyata apa yang mereka lakukan masih saja ia mencari alasan.“Sudah cukup, mas. Jangan sentuh aku.” Tegas, aku beringsut mundur menjauhi