Share

Bab 3

KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #3

“Risa, ini tidak seperti yang kau lihat, aku di jebak dengan perempuan itu. Kau dengar sendiri, dia sudah membuat resah warga kampung ini karena kelakuannya.” Mas Azzam melangkah mendekat, ia masih saja mengucapkan kalimat untuk membela diri dan menutupi kesalahannya.

“Halah, gak ada zamannya di jebak. Gak usah percaya, mbak,” seru salah satu seorang warga dari belakang.

“Bener, perempuan sama jantannya sama aja. Menjijikkan sekali,” sahut yang lainnya.

Aku masih berusaha setenang mungkin, tidak ingin memperlihatkan rasa cemburu dan amarah yang sudah menggelegak dan siap tumpah seperti lahar panas dari dalam kepala ini.

“Risa, jangan dengarkan mereka. Kau lebih mengenal aku, jangan percaya apa kata-kata mereka.” Mas Azzam berusaha meraih tanganku, akan tetapi aku segera menghindarinya. Sudah jelas terlihat nyata apa yang mereka lakukan masih saja ia mencari alasan.

“Sudah cukup, mas. Jangan sentuh aku.” Tegas, aku beringsut mundur menjauhinya, mengabaikan apa yang diucapkan mas Azzam. Namun dari kejauhan aku melihat senyum puas dari wanita bernama Imas itu.

“Pak RT dan warga, saya serahkan mereka pada kalian semua, terserah mau di apain. Saya sudah tidak peduli lagi,” ucapku dengan lantang, dadaku terasa begitu sakit sekali, dan terasa semakin sempit dan sesak.

“Risa! Clarissa! Tunggu aku, dengarkan penjelasanku, Ris!” Masih terdengar suara pekikan mas Azzam, akan tetapi aku tetap melangkah gontai menuju keluar rumah.

“Arak saja keliling kampung!”

“Ya betul, telanjangi.”

Suara para warga dan mas Azzam masih saja terdengar, aku rasanya sudah tidak lagi sanggup untuk berada di sini. Aku sengaja langsung menuju ke rumah pak RT.

“Mbak jangan menangisi laki-laki seperti itu, Allah sudah membuka jalan agar mbak mengetahui sifat buruk suami mbak, jika tidak. Maka mereka akan seperti ini terus, mencurangi mbak sepanjang pernikahan kalian.” Bu RT mengelus punggungku dengan lembut, wajar aku menangis. Selama dalam pernikahan, aku tidak pernah menuntut apapun pada mas Azzam. Tetapi dia tega menusukku dari belakang seperti ini, dan itu rasanya sakit sekali.

“Padahal kami tidak pernah ribut, aku selalu mengalah dan mengikuti apa kemauannya. Aku tidak suka ribut-ribut, apalagi anak-anak sudah mulai mengerti.” Aku tergugu, tidak bisa lagi menahan airmata yang kini sudah membanjiri kedua netra.

“Sabar mbak, menangislah, jika itu bisa membuat mbak tenang.” Bu RT beranjak bangkit, meninggalkan aku sendiri, mungkin beliau ingin memberikan ruang agar aku lebih leluasa untuk meluahkan semuanya. Aku meremas ponselku, dimana di dalam ponsel itu terdapat beberapa bukti perselingkuhan mas Azzam.

Drrt!

Tiba-tiba saja ponselku bergetar, panggilan masuk dari bapak mertua.

“Halo as…”

“Risa, kau ini dimana? Pamitnya jualan, tapi tadi bapak kesana lapakmu tutup. Atikah bilang juga kau tidak ada datang hari ini, kemana saja kau, hah?!” Belum juga sempat aku menjawab, sudah terdengar teriakan ibu dari seberang sana.

“A-aku…”

“Cepat pulang, Azkira demam tinggi, dia juga tadi sempat kejang-kejang.” Teriak ibu lagi dari seberang sana lalu memutuskan sambungan telepon sepihak, hatiku semakin sakit ketika mendengar ucapan ibu tentang Azkira. Aku segera bangkit, menemui bu RT dan pamit padanya. Aku memacu kecepatan motor agar segera sampai di rumah. Perasaanku saat ini begitu kalut sekali, kenapa harus bersamaan ketika mas Azzam berulah, sakitnya Azkira kambuh.

Sesampai dirumah aku langsung disambut dengan tatapan bengis ibu, tampak Azkira terbaring lemah diatas kasur tahu di depan televisi.

“Kau memang kelewatan Risa, mau bohongi bapak sama ibu? Pamit jualan, orang tua suruh momong anak, nyatanya kau keluyuran tidak jelas.” Omel ibu sambil meletakkan mangkuk berisi air hangat dan handuk kecil dengan kasar di lantai, hingga airnya tumpah sebagian.

“Maafkan aku, bu. Aku tidak keluyuran, tapi sedang ada urusan penting,” menjawab, langsung mengambil alih mengompres Azkira. Suhu tubuhnya begitu tinggi, aku menarik nafas panjang ketika kulitku bersentuhan dengannya, panas sekali.

“Sebaiknya kita bawa Azkira ke rumah sakit saja, bapak takut kejangnya kambuh. Lihat, lidahnya tadi berdarah karena tergigit.” Bapak membuka mulut Azkira, masih tersisa noda darah yang mulai mengering dan lidah Azkira juga terluka.

“Ibu, sakit.” Rengek Azkira sambil mengulurkan tangannya, Melisa membantu kakaknya dengan deraian airmata.

“Kak Azki tidak apa-apa kan, bu? Kakak pasti baik-baik saja kan?” Cecarnya dengan tatapan sendu, terlihat jelas jika ia sangat menyayangi Azkira.

“Ya, Azki pasti baik-baik saja kok. Meli sama nenek di rumah ya, ibu dan mbah akung akan ke rumah sakit.” Aku mengelus sekilas kepalanya, lalu menggendong Azkira, sedangkan bapak sudah berjalan keluar menuju motor.

“Kalau ada apa-apa sama Azki, ibu tidak akan memaafkanmu, Risa.” Teriak ibu lagi sambil mengikuti langkahku dan bapak keluar.

“Ibu sudah. Azki sakit bukan kemauan Risa, ibu jaga saja Meli di rumah,” sahut bapak masih dengan nada rendah, karena bapak memang paling sabar menghadapi ibu yang sifatnya sangat brutal.

“Azki sakit itu karena Risa tidak becus jadi seorang ibu, dia sibuk mengejar dunia dan urusan tidak pentingnya itu.” Tukas ibu lagi bersedekap, menatap bengis ke arahku.

“Sudah Risa, jangan digubris ibu, buruan naik,” ucap bapak yang sudah menyalakan motornya. Aku segera naik, dan motor perlahan melaju dengan cepat menuju bidan terdekat. Azkira sedari kecil memang memiliki penyakit tipes dan jika badannya panas dikit saja, maka tubuhnya akan mengalami kejang. Tetapi, ibu selalu saja menyalahkan aku dalam hal ini. Setelah diperiksa dan diberi obat kami langsung saja pulang, sepanjang perjalanan aku dan bapak tidak terlibat obrolan apapun, apalagi saat ini pikiranku benar-benar kacau, bercabang ke kampung sebelah dimana mas Azzam saat ini.

“Apa kata dokternya?” tanya ibu ketus membantuku membentangkan kasur busa di depan televisi, karena Azkira tidak mau tidur di kamar, katanya pengap.

“Tipesnya kambuh, bu,” jawabku singkat.

“Seharusnya kau itu fokus mengurus Azkira dan Melisa saja di rumah, tidak perlu lagi berjualan sampai tengah malam. Lagian gaji Azzam kan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian.” Tukas ibu sambil membaringkan tubuhnya di atas sofa tidak jauh dariku dan Azkira.

“Gaji mas Azzam itu tidak cukup, bu. Hanya cukup untuk makan saja, sedangkan untuk bayar listrik dan lain-lain tidak cukup,” jawabku kesal, karena ibu selalu saja ikut campur masalah keuangan rumah tanggaku dan mas Azzam.

“Astaga Risa! Gaji Azzam itu besar, memangnya kalian makan apa sampai tidak cukup sebulan, jadi perempuan itu jangan boros,” sahut ibu menyalahkan aku lagi. Aku menoleh, menatap ibu dengan dada bergemuruh.

“Ibu mau tahu kenapa gaji mas Azzam tidak cukup, sebaiknya ibu tanyakan saja nanti sama dia sendiri. Berapa banyak yang telah ia berikan sama gundiknya.” Aku langsung berdiri, rasanya aku tidak perlu lagi menutupi apa yang telah dilakukan oleh mas Azzam.

“Jangan fitnah, Risa.” Bentak ibu juga kini sudah berdiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status