KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #6
“Selain tidak becus mengurus suami dan anak, ternyata kau tukang fitnah. Ibu tahu dan paham seperti apa sifat Azzam atau pun Nuri, anak-anak ibu tidak ada yang memiliki pikiran kotor seperti apa yang kau tuduhkan.” Ibu mendelik sambil berkacak pinggang dan menyangkal apa yang telah aku ucapkan barusan.
Aku menatap ibu dengan senyum getir, lalu mengalihkannya pada Azkira dan Melisa yang sudah terlelap. Aku khawatir jika kedua putriku mendengar semua yang kami bicarakan.
“Risa, ucapan adalah doa. Jangan bicara yang tidak-tidak tentang suamimu, nak,” ucap bapak pelan, namun wajahnya sudah memerah. Karena bapak pernah melakukan kesalahan yang sama seperti yang mas Azzam lakukan sekarang.
“Kenapa pak? Apakah ibu dulu juga pernah melontarkan kalimat yang sama sepertiku?” tanyaku, aku mengulas senyum miris.
“Risa, jangan kurang ajar. Kau tahu apa tentang rumah tangga ibu dan bapak, jangan mengurusi rumah tangga kami. Lihat rumah tanggamu sekarang, bisa-bisa Azzam melakukan tuduhan yang kau ucapkan, karena dia merasa tidak betah memiliki istri yang dasteran dan keringat setiap hari seperti ini,” timpal ibu mengucapkan kalimat menghina yang begitu menohok sekali. Aku sangat geram sekali, segera aku beranjak bangkit menuju kamar dan keluar membawa ponselku.
“Bapak, ibu, bisa kita bicara di depan saja. Tidak enak kalau didengar Melisa dan Azkir.” Lirihku lalu melangkah menuju ruang tamu, dada bergemuruh hebat, kedua netra sudah memanas ingin menangis lagi. Aku segera duduk di atas sofa yang berseberangan dengan bapak dan ibu mertua yang saat ini menatap bingung, bengis dan sinis menjadi satu, terutama ibu. Ibu sepertinya tidak terima jika mas Azzam memiliki perilaku buruk sama seperti bapak.
“Apa yang mau kau bicarakan? Mau memburukkan Azzam lagi, istri macam apa kau ini, bisa-bisanya mem…”
Aku langsung saja menyodorkan ponsel yang sedang memutar video rekaman dimana mas Azzam yang sedang memunguti pakaiannya saat dia masih dalam keadaan polos tanpa sehelai benangpun. Video tersebut berhasil membungkam mulut ibu yang terus saja menyudutkan dan menyalahkan aku.
“Tidak mungkin, ini pasti hanya akal-akalan saja untuk menjelekkan Azzam. Zaman sudah canggih, jangan mempercayai video ini, pak. Risa ini memang licik sekali.” Ibu ingin meraih ponselku yang berada di atas meja, akan tetapi aku segera menyambarnya terlebih dahulu, karena aku tidak ingin kehilangan bukti-bukti perselingkuhan mas Azzam dan setelah ini aku akan segera menggugat cerai mas Azzam.
“Kenapa? Ibu selalu saja membenarkan semua yang dilakukan mas Azzam dan menyalahkan aku jika mas Azzam melakukan kesalahan. Tolong buka lebar-lebar mata ibu, aku memang hanya menantu ibu, tapi aku juga ibu dari cucu-cucu ibu dari mas Azzam.” Aku berdiri dengan dada yang sudah kembang kempis mengikuti ritme nafas yang sudah memburu penuh dengan amarah yang sudah menggelegak di kepala dan akan segera tumpah seperti lahar panas dari pegunungan.
“Sstt, sudah jangan ribut. Kita tunggu saja Azzam pulang, dan kita mintai penjelasannya,” ucap bapak menengahi pertengkaranku dengan ibu yang baru saja dimulai.
“Lagian sudah malam, malu sama tetangga.” Sambung bapak lagi sambil menarik tangan ibu agar kembali duduk di sebelahnya.
“Mana ada maling ngaku, pak. Yang ada mereka akan terus mencari alasan apapun untuk membela diri.” Jawabku sambil menghempaskan tubuhku pada sofa, nafas memburu sambil menatap bengis ke arah ibu mertua. Bapak memintaku untuk menemani Melisa dan Azkira, agar tidak berdebat kembali dengan ibu. Aku segera beranjak bangkit meninggalkan kedua orang tua mas Azzam di sana.
[Apa-apaan kau, Ris? Kenapa membawa warga ke rumah itu?]
Tiba-tiba saja pesan masuk dari mas Azzam, setelah membacanya aku menatap sekilas bapak dan ibu yang masih terlihat agak berdebat di ruang tamu. Aku berpikir kalimat apa yang tepat untuk membalas isi pesan mas Azzam.
[Aku melemparkan kotoran ke wajahku, Ris. Dimana sebenarnya otakmu?] pesan dari mas Azzam kembali masuk, aku meremas ponsel dengan geram ketika membaca isi pesannya, emosi semakin menggelegak.
[Apa?! Aku melempar kotoran ke wajahmu? Sadar, mas, kau sendiri yang sudah membuat dirimu malu. Terus aku harus membawa siapa ke rumah itu, MUA atau tuan kodi gitu? Kau pikir aku tidak tahu semua kebusukanmu selama ini. Pesan aneh dari nomor yang kau beri nama ‘pak ketua’, kau sering pulang terlambat dan sering berangkat kerja lebih awal, kau pikir aku tidak tahu kau kemana? Aku sudah tau semuanya Azzam. Hanya saja aku masih diam karena mengumpulkan semua bukti perselingkuhanmu.] Balasku lalu melemparkan dengan asal ponselku ke atas kasur tahu dimana kedua putriku tertidur, aku benar-benar emosi sekali.
Aku mengabaikan ponsel yang terus berdering dan berdenting notif pesan masuk. Aku sangat lelah, berusaha memejamkan kedua mata sambil memeluk kedua putriku dengan perasaan yang begitu sakit sekali. 10 tahun mengarungi biduk rumah tangga bersama dengan mas Azzam, aku tidak pernah menuntut apapun karena aku tahu sampai dimana kemampuan mas Azzam. Aku memilih untuk berusaha sendiri demi bisa mewujudkan istana impian kami. Deraian air mata mengiringi rasa kantuk dan lelah ini, entah berapa lama aku menangis dan pada akhirnya aku terlelap.
***
“Bangun kau, Risa! Bangun!” Bentak ibu sambil menendang bagian kaki menggunakan kakinya. Aku mengerjapkan kedua mata, silau karena cahaya matahari yang masuk melalui lubang ventilasi.
“Hem, ada apa, bu?” tanyaku dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Aku menoleh, tidak mendapati Melisa dan Azkira ada di sana.
“Loh, mana Meli dan Azki, bu?” Aku celingukan bingung, lalu beranjak bangkit berniat akan mencari kedua putriku, akan tetapi tiba-tiba saja ibu melayangkan tangannya pada pipiku.
Plaakk!
Aku langsung saja memegangi pipiku yan terasa panas dan kebas.
“Nenek, kenapa mukul ibu?!” Teriak Melisa yang berlari dari arah depan dan langsung memelukku. Aku menatap ke arah ibu dengan sengit.
“Karena ibumu sudah kurang ajar,” sahut ibu terlihat menghembuskan nafasnya dengan kasar. Sementara aku masih bingung apa kesalahan yang aku buat.
“Tolong bu, jangan bersikap seperti ini di depan anak-anak,” ucapku dengan nafas memburu.
“Kenapa? Kau sudah membuat malu ibu dan bapak, dengan menyebarkan video tidak senonoh Azzam. Mau diletakkan dimana wajah bapak dan ibu?” Bentak ibu sambil meraup wajahnya kasar dan memukul dadanya pelan, airmata berlinang dengan deras dari kedua netra tuanya.
Aku mengerutkan kening heran. “Menyebarkan video? Aku tidak tahu apa-apa, bu. Aku juga baru bangun,” mencoba menyangkal tuduhan ibu, karena aku memang tidak melakukan semua itu. Bahkan aku tidak ada niat seperti itu sama sekali, aku menyimpan video tersebut hanya untuk bukti nanti di pengadilan agama saat pengajuan gugatan cerai.
“Tidak perlu berpura-pura, Risa.” Jawab ibu sambil menunjuk ke arahku.
Siapa sebenarnya yang telah menyebarkan video itu? Apa mungkin salah satu warga yang ada saat penggerebekan itu? Akh, baguslah, aku juga ingin melihat kehancuran mas Azzam dengan ulahnya sendiri.
Brakk!
Aku tersenyum tipis ke arah ibu yang terlihat sudah meradang. Lalu aku langsung melangkah mencari-cari ponselku yang tertindih bantal, karena semalam aku meletakkannya secara asal.“Ibu tidak apa-apa?” tanya Meli terlihat cemas, Azkira juga mendekat, menatap penuh kekhawatiran. Sesekali mereka menoleh ke arah sang nenek dengan tatapan tidak senang karena telah menyakiti ibunya.“Tidak apa-apa sayang, sebaiknya kamu dan Azki main di luar atau ke kamar saja ya. Ibu masih ada urusan dengan nenek.” Ucapku dengan lirih sambil mengelus kepala mereka lalu mengecup dengan lembut tepat di kening. Kedua putriku menurut, meskipun agak berat meninggalkan aku bersama dengan neneknya di sini yang masih terlihat begitu marah sekali.“Kenapa? Apa yang kau ucapkan pada Meli dan Azki, mau mendoktrin buruk tentang Azzam?!” Tuduh ibu lagi dengan dada yang kembang kempis dan tatapan kian bengis ke arahku. Aku tidak peduli, aku beranjak bangkit ketika sudah mendapatkan ponselku, lalu ingin mengecek sosial
Azzam keluar dari kamar, ia sudah berpakaian rapi dengan seragam dinas kerjanya. Rambutnya kelimis, aroma parfum menguar ketika ia melintasi Risa yang sedang menyapu lantai. Mereka tidak saling tegur sapa, tampak Azzam memakai masker dan helm.“Heh! Ternyata masih punya rasa malu juga.” Batin Risa sambil terus menyapu, ia hanya menatap Azzam sekilas saja.“Mana kunci motor?” tanyanya entah dengan siapa, Risa abai.“Risa! Telingamu tuli? Mana kunci motormu, si-alan!” Teriak Azzam sambil berkacak pinggang menatap penuh amarah pada Risa.“Kukira kau bertanya dengan tembok. Untuk apa kau minta kunci motorku, pakai saja motor king ku itu.” Jawab Risa melanjutkan pekerjaannya, tidak ingin menanggapi Azzam lebih lama lagi.“Kau masih bertanya untuk apa? Aku harus seperti ini karena ulahmu. Berikan kunci motormu, cepat!” Azzam tiba-tiba saja sudah mencekal dengan keras lengan Risa.“Ssh, ahh! Sakit. Lepaskan Zam, sepagi ini, kau sudah menyakitiku dua kali. Singkirkan tangan kotormu itu dari l
“Terserah ibu, emang ibu pikir aku takut. Jika terjadi sesuatu pada mas Azzam, itu semua karena kelakuan dia yang mur-ahan. Bukan karena aku. Aku merekam semua kebusukan mas Azzam hanya untuk bukti saja agar bapak dan ibu percaya kalau mas Azzam itu tidak sebaik yang ibu duga selama ini.” Jawab Risa sambil berbalik dan meninggalkan bu Hafsah, sebelum ibu mertuanya tersebut menjawab. Risa memilih pergi belanja ke warung mpok Lela yang ada di ujung gang.Sedangkan Bu Hafsah memilih masuk ke dalam kamar Melisa dan Azkira, ia bermain ponsel disana, ingin mencari lebih lanjut berita tentang video Azzam yang tersebar. Namun ia merasa kesal karena grup RT kini sudah penuh dengan pesan, ia yakin jika semua penghuni grup saat ini[Bu Hafsah, apa benar itu video Azzam suaminya Risa?][Astaga, gondal gandul kayak pepaya.][Gondal gandul apanya sih, mpok. Wong tegak kayak tiang listrik begitu, gelap euy. Pantes saja Risa sampe kurus begitu,] ledek yang lainnya mengomentari Azzam dalam video terse
Hari ini Azzam benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali di kantor karena merasa malu sekali, setelah kepergian Zaki, dia hanya meminta pada Putri agar membawakan berkas warga yang akan mengurus kartu keluarga ataupun kartu penduduk.“Untung saja pak Masrial hari ini tidak masuk, kalau tidak, bisa berabe urusannya.” Gerutu Azzam sambil mengenakan helmnya, ia juga sengaja keluar kantor ketika rekan-rekannya sudah keluar terlebih dahulu.[Mas, kamu dimana sih? Kenapa siang tadi gak datang, padahal aku sudah masak banyak loh.] Baru saja Azzam akan menyalakan motor matic milik Risa, tiba-tiba saja ponselnya berdenting tanda pesan masuk dari Imas.[Aku malu untuk keluar kantor,] balas Azzam cepat.[Loh kenapa? Istri dekil bin kumal itu menemuimu di kantor? Benar-benar tidak tahu diri sekali,] balas Imas dengan cepat dan mengejek Risa yang notabene mereka tidak saling mengenal.[Bukan. Kau belum melihat video kita saat digerebek tersebar?] tanya Azzam sambil menoleh ke kanan dan kiri, ia
Hafsah hanya menghela nafas panjang. Sekilas bayangan masa lalu antara dirinya dan Raharjo kembali berputar dalam memorinya yang masih ia simpan hingga tujuh turunan dan tanjakan. Hafsah tidak akan pernah lupa itu. Nafasnya memburu, dadanya bergemuruh hebat, kepalanya terasa berdenyut.“Tapi ini memang kesalahan Risa, karena dia tidak bisa menjaga badan untuk menyenangkan Azzam. Berbeda denganku dulu, aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik pada mas Harjo, tapi dia masih saja kecantol si Tuti jal-ang itu.” Gumamnya mensugesti diri sendiri dan tetap saja menyalahkan Clarissa dalam kasus rumah tangga putranya tersebut.Nuri kini sudah berada di rumah Risa. Ia menatap iba pada sang kakak ipar yang tampak menatap kosong pada benda pipih di depannya sana yang menayangkan siaran kartun kesukaan Melisa dan Azkira.“Coba hibur mbakmu, kasihan dia. Melamun gitu, bahkan dia tidak lagi bersemangat untuk jualan.” Bisik pak Harjo pada Nuri, ia merasa iba pada menantunya
Imas menatap sengit ke arah Azzam yang begitu mudah mengingkari janji-janjinya selama ini. Padahal selama ini Azzam telah berjanji akan menikahi dan menghidupi semua anak-anaknya termasuk kedua putrinya bersama suaminya yang dulu.“Kau memang terlalu egois, mas. Baru juga seminggu yang lalu kau mengatakan akan segera menikahiku dan menafkahi anak-anakku.” Tukas Imas dengan nada penuh dengan penekanan, ia kembali menyeka airmatanya, bibirnya bergetar. Ia mengira jika Azzam benar-benar mencintainya selama ini, ternyata ia salah.“Andai saja mas Andre tidak masuk penjara. Aku juga tidak akan mengemis padamu, Azzam.” Batin Imas dengan dada bergemuruh hebat menahan amarah yang sudah membludak.“Tapi kedua putrimu itu bukan urusanku, Imas. Jika kau bilang Azka putraku, oke. Aku akan menafkahinya. Dan yang perlu kau ingat, aku tidak akan pernah melepaskan Risa.” Sahut Azzam begitu menohok dan menyakitkan.“Hem, kau tidak mau melepaskan Risa. Tapi kau berulah, sekarang bukan waktunya berdebat
Risa segera membereskan semua barang dagangannya, mencoba menghindari tatapan penuh intimidasi dari Atikah.“Kau yakin tidak mau cerita sama aku?” tanya Atikah, pertanyaan ini sudah yang ke 20 kali Atikah lontarkan sejak kedatangan Risa kemari.“Tidak, Tik. Ada anak-anak, tidak enak. Aku tidak mau mereka ikut mikir masalah orang tuanya.” Jawab Risa menolak untuk curhat di tempat yang tidak tepat seperti ini.“Apa kau butuh bantuan untuk melabrak perempuan jal-ang itu?” tanya Atikah lagi. Risa tersenyum ketika melihat ekspresi wajah sahabatnya itu.“Aku tidak ingin mengotori tanganku, biarkan saja hukuman berjalan seiring waktu. Allah gak tidur, Tik. Lagian hidupku tidak harus berhenti hanya karena mas Azzam berbagi hati.” Jawab Risa masih tenang, sambil terus mengemas barang-barangnya, taksi online sudah menunggu.“Lagian untuk apa juga mempermalukan diri sendiri, mbak. Tetaplah menjadi wanita elegan dan mahal meskipun tersakiti.” Timpal Nuri sambil mengangkat kompor dan tabung gas da
Pak Masrial mendelik ketika mendengar ucapan Azzam barusan, ia beranjak bangkit dari duduk.Braakk!Pak Masrial menggebrak mejanya, tatapan bengis ia tujukan pada Azzam saat ini yang sangat lancang sekali. Tentu saja Azzam terkejut akan reaksi atasannya tersebut. Pak Masrial lalu melangkah mendekati bawahannya itu dengan rahang yang mengeras, gigi bergemeletuk, amarah yang sudah menggelegak di ubun-ubun.“Kau mengancam saya? Kau pikir saya takut, silahkan saja kau katakan kebohongan apapun pada istri saya. Saya tidak akan pernah takut.” Tegas pak Masri dengan lantang, untung saja ruangannya kedap suara. Jika tidak, mungkin pertengkaran mereka akan didengar rekan-rekannya yang lain. Pak Masri mencengkram dengan kuat rahang Azzam.“Ini kesalahan kamu sendiri, jangan mencari kesalahan orang lain. Pemecatan ini juga dari pusat dan telah diambil dari voting rekan-rekan yang lain. Lagian siapa yang mau mempekerjakan pria samp-ah sepertimu.” Sambungnya melontarkan kalimat yang sangat menohok