Share

Bab 4

KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #6

“Selain tidak becus mengurus suami dan anak, ternyata kau tukang fitnah. Ibu tahu dan paham seperti apa sifat Azzam atau pun Nuri, anak-anak ibu tidak ada yang memiliki pikiran kotor seperti apa yang kau tuduhkan.” Ibu mendelik sambil berkacak pinggang dan menyangkal apa yang telah aku ucapkan barusan.

Aku menatap ibu dengan senyum getir, lalu mengalihkannya pada Azkira dan Melisa yang sudah terlelap. Aku khawatir jika kedua putriku mendengar semua yang kami bicarakan.

“Risa, ucapan adalah doa. Jangan bicara yang tidak-tidak tentang suamimu, nak,” ucap bapak pelan, namun wajahnya sudah memerah. Karena bapak pernah melakukan kesalahan yang sama seperti yang mas Azzam lakukan sekarang.

“Kenapa pak? Apakah ibu dulu juga pernah melontarkan kalimat yang sama sepertiku?” tanyaku, aku mengulas senyum miris.

“Risa, jangan kurang ajar. Kau tahu apa tentang rumah tangga ibu dan bapak, jangan mengurusi rumah tangga kami. Lihat rumah tanggamu sekarang, bisa-bisa Azzam melakukan tuduhan yang kau ucapkan, karena dia merasa tidak betah memiliki istri yang dasteran dan keringat setiap hari seperti ini,” timpal ibu mengucapkan kalimat menghina yang begitu menohok sekali. Aku sangat geram sekali, segera aku beranjak bangkit menuju kamar dan keluar membawa ponselku.

“Bapak, ibu, bisa kita bicara di depan saja. Tidak enak kalau didengar Melisa dan Azkir.” Lirihku lalu melangkah menuju ruang tamu, dada bergemuruh hebat, kedua netra sudah memanas ingin menangis lagi. Aku segera duduk di atas sofa yang berseberangan dengan bapak dan ibu mertua yang saat ini menatap bingung, bengis dan sinis menjadi satu, terutama ibu. Ibu sepertinya tidak terima jika mas Azzam memiliki perilaku buruk sama seperti bapak.

“Apa yang mau kau bicarakan? Mau memburukkan Azzam lagi, istri macam apa kau ini, bisa-bisanya mem…”

Aku langsung saja menyodorkan ponsel yang sedang memutar video rekaman dimana mas Azzam yang sedang memunguti pakaiannya saat dia masih dalam keadaan polos tanpa sehelai benangpun. Video tersebut berhasil membungkam mulut ibu yang terus saja menyudutkan dan menyalahkan aku.

“Tidak mungkin, ini pasti hanya akal-akalan saja untuk menjelekkan Azzam. Zaman sudah canggih, jangan mempercayai video ini, pak. Risa ini memang licik sekali.” Ibu ingin meraih ponselku yang berada di atas meja, akan tetapi aku segera menyambarnya terlebih dahulu, karena aku tidak ingin kehilangan bukti-bukti perselingkuhan mas Azzam dan setelah ini aku akan segera menggugat cerai mas Azzam.

“Kenapa? Ibu selalu saja membenarkan semua yang dilakukan mas Azzam dan menyalahkan aku jika mas Azzam melakukan kesalahan. Tolong buka lebar-lebar mata ibu, aku memang hanya menantu ibu, tapi aku juga ibu dari cucu-cucu ibu dari mas Azzam.” Aku berdiri dengan dada yang sudah kembang kempis mengikuti ritme nafas yang sudah memburu penuh dengan amarah yang sudah menggelegak di kepala dan akan segera tumpah seperti lahar panas dari pegunungan.

“Sstt, sudah jangan ribut. Kita tunggu saja Azzam pulang, dan kita mintai penjelasannya,” ucap bapak menengahi pertengkaranku dengan ibu yang baru saja dimulai.

“Lagian sudah malam, malu sama tetangga.” Sambung bapak lagi sambil menarik tangan ibu agar kembali duduk di sebelahnya.

“Mana ada maling ngaku, pak. Yang ada mereka akan terus mencari alasan apapun untuk membela diri.” Jawabku sambil menghempaskan tubuhku pada sofa, nafas memburu sambil menatap bengis ke arah ibu mertua. Bapak memintaku untuk menemani Melisa dan Azkira, agar tidak berdebat kembali dengan ibu. Aku segera beranjak bangkit meninggalkan kedua orang tua mas Azzam di sana.

[Apa-apaan kau, Ris? Kenapa membawa warga ke rumah itu?]

Tiba-tiba saja pesan masuk dari mas Azzam, setelah membacanya aku menatap sekilas bapak dan ibu yang masih terlihat agak berdebat di ruang tamu. Aku berpikir kalimat apa yang tepat untuk membalas isi pesan mas Azzam.

[Aku melemparkan kotoran ke wajahku, Ris. Dimana sebenarnya otakmu?] pesan dari mas Azzam kembali masuk, aku meremas ponsel dengan geram ketika membaca isi pesannya, emosi semakin menggelegak.

[Apa?! Aku melempar kotoran ke wajahmu? Sadar, mas, kau sendiri yang sudah membuat dirimu malu. Terus aku harus membawa siapa ke rumah itu, MUA atau tuan kodi gitu? Kau pikir aku tidak tahu semua kebusukanmu selama ini. Pesan aneh dari nomor yang kau beri nama ‘pak ketua’, kau sering pulang terlambat dan sering berangkat kerja lebih awal, kau pikir aku tidak tahu kau kemana? Aku sudah tau semuanya Azzam. Hanya saja aku masih diam karena mengumpulkan semua bukti perselingkuhanmu.] Balasku lalu melemparkan dengan asal ponselku ke atas kasur tahu dimana kedua putriku tertidur, aku benar-benar emosi sekali.

Aku mengabaikan ponsel yang terus berdering dan berdenting notif pesan masuk. Aku sangat lelah, berusaha memejamkan kedua mata sambil memeluk kedua putriku dengan perasaan yang begitu sakit sekali. 10 tahun mengarungi biduk rumah tangga bersama dengan mas Azzam, aku tidak pernah menuntut apapun karena aku tahu sampai dimana kemampuan mas Azzam. Aku memilih untuk berusaha sendiri demi bisa mewujudkan istana impian kami. Deraian air mata mengiringi rasa kantuk dan lelah ini, entah berapa lama aku menangis dan pada akhirnya aku terlelap.

***

“Bangun kau, Risa! Bangun!” Bentak ibu sambil menendang bagian kaki menggunakan kakinya. Aku mengerjapkan kedua mata, silau karena cahaya matahari yang masuk melalui lubang ventilasi.

“Hem, ada apa, bu?” tanyaku dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Aku menoleh, tidak mendapati Melisa dan Azkira ada di sana.

“Loh, mana Meli dan Azki, bu?” Aku celingukan bingung, lalu beranjak bangkit berniat akan mencari kedua putriku, akan tetapi tiba-tiba saja ibu melayangkan tangannya pada pipiku.

Plaakk!

Aku langsung saja memegangi pipiku yan terasa panas dan kebas.

“Nenek, kenapa mukul ibu?!” Teriak Melisa yang berlari dari arah depan dan langsung memelukku. Aku menatap ke arah ibu dengan sengit.

“Karena ibumu sudah kurang ajar,” sahut ibu terlihat menghembuskan nafasnya dengan kasar. Sementara aku masih bingung apa kesalahan yang aku buat.

“Tolong bu, jangan bersikap seperti ini di depan anak-anak,” ucapku dengan nafas memburu.

“Kenapa? Kau sudah membuat malu ibu dan bapak, dengan menyebarkan video tidak senonoh Azzam. Mau diletakkan dimana wajah bapak dan ibu?” Bentak ibu sambil meraup wajahnya kasar dan memukul dadanya pelan, airmata berlinang dengan deras dari kedua netra tuanya.

Aku mengerutkan kening heran. “Menyebarkan video? Aku tidak tahu apa-apa, bu. Aku juga baru bangun,” mencoba menyangkal tuduhan ibu, karena aku memang tidak melakukan semua itu. Bahkan aku tidak ada niat seperti itu sama sekali, aku menyimpan video tersebut hanya untuk bukti nanti di pengadilan agama saat pengajuan gugatan cerai.

“Tidak perlu berpura-pura, Risa.” Jawab ibu sambil menunjuk ke arahku.

Siapa sebenarnya yang telah menyebarkan video itu? Apa mungkin salah satu warga yang ada saat penggerebekan itu? Akh, baguslah, aku juga ingin melihat kehancuran mas Azzam dengan ulahnya sendiri.

Brakk!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status