Share

Bab 7

“Terserah ibu, emang ibu pikir aku takut. Jika terjadi sesuatu pada mas Azzam, itu semua karena kelakuan dia yang mur-ahan. Bukan karena aku. Aku merekam semua kebusukan mas Azzam hanya untuk bukti saja agar bapak dan ibu percaya kalau mas Azzam itu tidak sebaik yang ibu duga selama ini.” Jawab Risa sambil berbalik dan meninggalkan bu Hafsah, sebelum ibu mertuanya tersebut menjawab. Risa memilih pergi belanja ke warung mpok Lela yang ada di ujung gang.

Sedangkan Bu Hafsah memilih masuk ke dalam kamar Melisa dan Azkira, ia bermain ponsel disana, ingin mencari lebih lanjut berita tentang video Azzam yang tersebar. Namun ia merasa kesal karena grup RT kini sudah penuh dengan pesan, ia yakin jika semua penghuni grup saat ini

[Bu Hafsah, apa benar itu video Azzam suaminya Risa?]

[Astaga, gondal gandul kayak pepaya.]

[Gondal gandul apanya sih, mpok. Wong tegak kayak tiang listrik begitu, gelap euy. Pantes saja Risa sampe kurus begitu,] ledek yang lainnya mengomentari Azzam dalam video tersebut yang dalam keadaan polos. Bu Hafsah berdecih kesal, ingin nimbrung memaki mereka semua, akan tetapi urung karena ia takut semakin di serang dengan grup emak-emak tersebut.

[Hahaha, kalian ini bisa saja. Mak Hafsah kemana sih? Biasanya dia paling heboh kalau ada berita viral begini?] tanya salah satu ibu-ibu yang masih terbilang teman akrab bu Hafsah.

[Tau nih, kok malah nyungsep. Padahal mau banyak tanya tentang Azzam yang sedang main kuda-kudaan itu kok bisa di gerebek warga.] balas yang lainnya.

[Yang jelasnya Risa itu perempuan cerdas, selama ini dia pura-pura bod-oh aja. Saya yakin itu. Saya kok sudah curiga sejak awal, saya pernah memergoki si Azzam di poli anak, waktu itu saya sedang membawa Ikram berobat, katanya sedang mengantarkan istri temannya. Ternyata, perempuan beraura tengah malam itu gund-iknya toh.] Tulis bu RT yang memang ketuanya bergosip, itu sebabnya ia membuat grup ini, mereka bisa bergosip tanpa harus keluar tatap muka. Kata-kata bu RT tersebut semakin membuat emosi bu Hafsah menggelegak tidak karuan, ubun-ubunnya terasa panas, dari kedua telinganya mungkin sudah keluar api. Ia merem-as ponselnya geram, enggan men scroll pesan-pesan dari teman-temannya yang selama ini tampak begitu baik ternyata hanya topeng saja. Ketika si A dapat masalah, mereka akan menggunjinginya, begitulah seterusnya.

[Lah berarti sudah lama dong?]

[Astaghfirullah, si Risa kok bisa kecolongan selama itu ya?]

[Kayak mana gak kecolongan, Risa kan sibuk kerja terus, jualan burger. Eh suaminya malah enak-enakan sama gund-iknya, bisa-bisa penghasilan Azzam juga gak dikasihkan ke Risa,]

[Lagian Risa gak butuh uangnya si Azzam, duit dia banyak, toh dari dulu dia bukan orang miskin, warisan kedua orang tuanya banyak.] Balas yang lainnya semakin membuat bu Hafsah meradang, dadanya bergemuruh, jantungnya berdegup dengan kencang tidak beraturan.

[Serigala berbulu domba.] Balas bu Hafsah singkat dan padat.

[Wah ini dia yang ditunggu-tunggu nongol.] Ketik bu RT, kini grup emak-emak itu masih saja berbalas pesan, sedangkan bu Hafsah sudah tidak tahan lagi, ia sengaja membisukan notifikasi grup tersebut. Melisa dan Azkira hanya menatap aneh pada Hafsah karena mengomel sendiri sambil menatap ponselnya.

“Mbah Uti kok aneh ya, marah-marah sama hp.” Bisik Meli mendekatkan mulutnya pada telinga Azkira.

“Entahlah, dari tadi malam mbah Uti agak aneh, marah-marah terus sama ibu. Ayah juga, kasihan ibu,” jawab Azkira lirih, hatinya begitu sakit sekali ketika melihat dengan jelas beberapa kali sang ibu mendapatkan tamp-aran dari Hafsah dan Azzam.

“Katanya ayah selingkuh, emang selingkuh itu apa sih?” bisik Melisa lagi begitu polos, karena memang ia tidak mengetahui hal-hal yang menyangkut urusan orang dewasa, begitu juga Azkira. Karena Risa tidak memberi mereka bermain ponsel dengan bebas meskipun usia mereka sudah lumayan besar.

“Entah, aku juga tidak tahu. Tapi kalau ibu marah seperti itu, berarti selingkuh itu hal yang salah,” jawab Azkira mencoba menyimpulkan, Melisa hanya mengangguk setuju akan penjelasan sang kakak.

“Kalian sedang ngomongin mbah Uti ya?” Tiba-tiba saja Hafsah sudah berdiri di dekat mereka tanpa mereka sadari. Melisa dan Azkira saling dekap, takut jika Hafsah bakal menyakiti mereka.

“T-tidak kok, mbah. Aku sama Meli hanya bahas pelajaran di sekolah.” Jawab Azki yang memang agak berani melawan dengan siapapun meskipun melawannya masih di batas wajar hanya untuk membela diri.

“Awas saja kalau berani ngomongin mbah Uti, nanti mulut kalian mbah kasih cabe biar kapok. Mulut kalian itu sama seperti ibumu, suka fitnah dan membuat huru hara.” Tukas bu Hafsah sambil menunjuk ke arah kedua bocah tersebut yang sudah ketakutan. Entah setan apa yang telah merasuki Hafsah akhir-akhir ini, padahal selama ini dia tidak pernah bersikap kasar dengan Melisa dan Azkira, paling hanya marah sekedarnya saja untuk mendidik kedua cucunya tersebut.

***

Azzam di kantor tidak berani kemana-mana, dia hanya berdiam diri di ruangannya, meskipun perutnya sudah keroncongan, ia tetap menahannya.

Kruuk!

“Sshh, ahh, Risa si-alan. Awas saja kau nanti.” Gumam Azzam mengumpat sambil memegangi perutnya yang terasa melilit karena lapar. Namun ia enggan keluar ruangannya karena tatapan jijik rekan-rekan kerjanya membuatnya risih dan tidak nyaman, yang pastinya dia sangat malu sekali karena videonya yang berdurasi beberapa detik saja itu sudah tersebar kemana-mana.

“Aduh, macam mana ini, perutku lapar sekali.” Azzam berpindah tempat menuju sofa, tubuhnya membungkuk karena perutnya mulai terasa sakit, maagnya kambuh karena sedari pagi sebutir nasi pun belum ada yang masuk ke dalam lambungnya. Azzam membaringkan tubuhnya yang mulai gemetaran dan terasa lemas sekali, keringat dingin sebesar biji jagung kini mulai menghiasi dahi dan mengalir ke sekujur tubuhnya.

Tok tok tok!

Tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu ruangannya, Azzam hanya meliriknya saja, tanpa berniat mempersilahkan tamunya untuk masuk, dia berpikir mungkin itu warga yang akan mengurus kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.

“Azzam, kau ada di dalam?” tanya suara seorang pria dari luar sana, kedua mata Azzam langsung terbuka lebar, karena dia sangat mengenali siapa pemilik suara itu, Zaki. Dengan tubuh membungkuk, Azzam berjalan menuju pintu, membukanya.

“Loh, kau kenapa?” tanya Zaki heran karena melihat Azzam berjalan dengan kondisi tubuh membungkuk.

“Biasa, maag kambuh karena telat makan. Kau tidak bawa makanan atau minuman?” tanya Azzam kembali berbaring di atas sofa, keringat dingin membasahi wajah dan tubuhnya.

“Astaga, kenapa kau tidak menghubungiku untuk minta tolong membelikan makanan, aku hanya ada dua bungkus roti nih.” Zaki meletakkan tas miliknya ke atas meja dan mengeluarkan dua bungkus roti, menyerahkannya pada Azzam.

“Jadilah untuk ganjal perut.” Jawabnya sambil mengunyah dengan lahap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status