“Terserah ibu, emang ibu pikir aku takut. Jika terjadi sesuatu pada mas Azzam, itu semua karena kelakuan dia yang mur-ahan. Bukan karena aku. Aku merekam semua kebusukan mas Azzam hanya untuk bukti saja agar bapak dan ibu percaya kalau mas Azzam itu tidak sebaik yang ibu duga selama ini.” Jawab Risa sambil berbalik dan meninggalkan bu Hafsah, sebelum ibu mertuanya tersebut menjawab. Risa memilih pergi belanja ke warung mpok Lela yang ada di ujung gang.
Sedangkan Bu Hafsah memilih masuk ke dalam kamar Melisa dan Azkira, ia bermain ponsel disana, ingin mencari lebih lanjut berita tentang video Azzam yang tersebar. Namun ia merasa kesal karena grup RT kini sudah penuh dengan pesan, ia yakin jika semua penghuni grup saat ini
[Bu Hafsah, apa benar itu video Azzam suaminya Risa?]
[Astaga, gondal gandul kayak pepaya.]
[Gondal gandul apanya sih, mpok. Wong tegak kayak tiang listrik begitu, gelap euy. Pantes saja Risa sampe kurus begitu,] ledek yang lainnya mengomentari Azzam dalam video tersebut yang dalam keadaan polos. Bu Hafsah berdecih kesal, ingin nimbrung memaki mereka semua, akan tetapi urung karena ia takut semakin di serang dengan grup emak-emak tersebut.
[Hahaha, kalian ini bisa saja. Mak Hafsah kemana sih? Biasanya dia paling heboh kalau ada berita viral begini?] tanya salah satu ibu-ibu yang masih terbilang teman akrab bu Hafsah.
[Tau nih, kok malah nyungsep. Padahal mau banyak tanya tentang Azzam yang sedang main kuda-kudaan itu kok bisa di gerebek warga.] balas yang lainnya.
[Yang jelasnya Risa itu perempuan cerdas, selama ini dia pura-pura bod-oh aja. Saya yakin itu. Saya kok sudah curiga sejak awal, saya pernah memergoki si Azzam di poli anak, waktu itu saya sedang membawa Ikram berobat, katanya sedang mengantarkan istri temannya. Ternyata, perempuan beraura tengah malam itu gund-iknya toh.] Tulis bu RT yang memang ketuanya bergosip, itu sebabnya ia membuat grup ini, mereka bisa bergosip tanpa harus keluar tatap muka. Kata-kata bu RT tersebut semakin membuat emosi bu Hafsah menggelegak tidak karuan, ubun-ubunnya terasa panas, dari kedua telinganya mungkin sudah keluar api. Ia merem-as ponselnya geram, enggan men scroll pesan-pesan dari teman-temannya yang selama ini tampak begitu baik ternyata hanya topeng saja. Ketika si A dapat masalah, mereka akan menggunjinginya, begitulah seterusnya.
[Lah berarti sudah lama dong?]
[Astaghfirullah, si Risa kok bisa kecolongan selama itu ya?]
[Kayak mana gak kecolongan, Risa kan sibuk kerja terus, jualan burger. Eh suaminya malah enak-enakan sama gund-iknya, bisa-bisa penghasilan Azzam juga gak dikasihkan ke Risa,]
[Lagian Risa gak butuh uangnya si Azzam, duit dia banyak, toh dari dulu dia bukan orang miskin, warisan kedua orang tuanya banyak.] Balas yang lainnya semakin membuat bu Hafsah meradang, dadanya bergemuruh, jantungnya berdegup dengan kencang tidak beraturan.
[Serigala berbulu domba.] Balas bu Hafsah singkat dan padat.
[Wah ini dia yang ditunggu-tunggu nongol.] Ketik bu RT, kini grup emak-emak itu masih saja berbalas pesan, sedangkan bu Hafsah sudah tidak tahan lagi, ia sengaja membisukan notifikasi grup tersebut. Melisa dan Azkira hanya menatap aneh pada Hafsah karena mengomel sendiri sambil menatap ponselnya.
“Mbah Uti kok aneh ya, marah-marah sama hp.” Bisik Meli mendekatkan mulutnya pada telinga Azkira.
“Entahlah, dari tadi malam mbah Uti agak aneh, marah-marah terus sama ibu. Ayah juga, kasihan ibu,” jawab Azkira lirih, hatinya begitu sakit sekali ketika melihat dengan jelas beberapa kali sang ibu mendapatkan tamp-aran dari Hafsah dan Azzam.
“Katanya ayah selingkuh, emang selingkuh itu apa sih?” bisik Melisa lagi begitu polos, karena memang ia tidak mengetahui hal-hal yang menyangkut urusan orang dewasa, begitu juga Azkira. Karena Risa tidak memberi mereka bermain ponsel dengan bebas meskipun usia mereka sudah lumayan besar.
“Entah, aku juga tidak tahu. Tapi kalau ibu marah seperti itu, berarti selingkuh itu hal yang salah,” jawab Azkira mencoba menyimpulkan, Melisa hanya mengangguk setuju akan penjelasan sang kakak.
“Kalian sedang ngomongin mbah Uti ya?” Tiba-tiba saja Hafsah sudah berdiri di dekat mereka tanpa mereka sadari. Melisa dan Azkira saling dekap, takut jika Hafsah bakal menyakiti mereka.
“T-tidak kok, mbah. Aku sama Meli hanya bahas pelajaran di sekolah.” Jawab Azki yang memang agak berani melawan dengan siapapun meskipun melawannya masih di batas wajar hanya untuk membela diri.
“Awas saja kalau berani ngomongin mbah Uti, nanti mulut kalian mbah kasih cabe biar kapok. Mulut kalian itu sama seperti ibumu, suka fitnah dan membuat huru hara.” Tukas bu Hafsah sambil menunjuk ke arah kedua bocah tersebut yang sudah ketakutan. Entah setan apa yang telah merasuki Hafsah akhir-akhir ini, padahal selama ini dia tidak pernah bersikap kasar dengan Melisa dan Azkira, paling hanya marah sekedarnya saja untuk mendidik kedua cucunya tersebut.
***
Azzam di kantor tidak berani kemana-mana, dia hanya berdiam diri di ruangannya, meskipun perutnya sudah keroncongan, ia tetap menahannya.
Kruuk!
“Sshh, ahh, Risa si-alan. Awas saja kau nanti.” Gumam Azzam mengumpat sambil memegangi perutnya yang terasa melilit karena lapar. Namun ia enggan keluar ruangannya karena tatapan jijik rekan-rekan kerjanya membuatnya risih dan tidak nyaman, yang pastinya dia sangat malu sekali karena videonya yang berdurasi beberapa detik saja itu sudah tersebar kemana-mana.
“Aduh, macam mana ini, perutku lapar sekali.” Azzam berpindah tempat menuju sofa, tubuhnya membungkuk karena perutnya mulai terasa sakit, maagnya kambuh karena sedari pagi sebutir nasi pun belum ada yang masuk ke dalam lambungnya. Azzam membaringkan tubuhnya yang mulai gemetaran dan terasa lemas sekali, keringat dingin sebesar biji jagung kini mulai menghiasi dahi dan mengalir ke sekujur tubuhnya.
Tok tok tok!
Tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu ruangannya, Azzam hanya meliriknya saja, tanpa berniat mempersilahkan tamunya untuk masuk, dia berpikir mungkin itu warga yang akan mengurus kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.
“Azzam, kau ada di dalam?” tanya suara seorang pria dari luar sana, kedua mata Azzam langsung terbuka lebar, karena dia sangat mengenali siapa pemilik suara itu, Zaki. Dengan tubuh membungkuk, Azzam berjalan menuju pintu, membukanya.
“Loh, kau kenapa?” tanya Zaki heran karena melihat Azzam berjalan dengan kondisi tubuh membungkuk.
“Biasa, maag kambuh karena telat makan. Kau tidak bawa makanan atau minuman?” tanya Azzam kembali berbaring di atas sofa, keringat dingin membasahi wajah dan tubuhnya.
“Astaga, kenapa kau tidak menghubungiku untuk minta tolong membelikan makanan, aku hanya ada dua bungkus roti nih.” Zaki meletakkan tas miliknya ke atas meja dan mengeluarkan dua bungkus roti, menyerahkannya pada Azzam.
“Jadilah untuk ganjal perut.” Jawabnya sambil mengunyah dengan lahap.
Hari ini Azzam benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali di kantor karena merasa malu sekali, setelah kepergian Zaki, dia hanya meminta pada Putri agar membawakan berkas warga yang akan mengurus kartu keluarga ataupun kartu penduduk.“Untung saja pak Masrial hari ini tidak masuk, kalau tidak, bisa berabe urusannya.” Gerutu Azzam sambil mengenakan helmnya, ia juga sengaja keluar kantor ketika rekan-rekannya sudah keluar terlebih dahulu.[Mas, kamu dimana sih? Kenapa siang tadi gak datang, padahal aku sudah masak banyak loh.] Baru saja Azzam akan menyalakan motor matic milik Risa, tiba-tiba saja ponselnya berdenting tanda pesan masuk dari Imas.[Aku malu untuk keluar kantor,] balas Azzam cepat.[Loh kenapa? Istri dekil bin kumal itu menemuimu di kantor? Benar-benar tidak tahu diri sekali,] balas Imas dengan cepat dan mengejek Risa yang notabene mereka tidak saling mengenal.[Bukan. Kau belum melihat video kita saat digerebek tersebar?] tanya Azzam sambil menoleh ke kanan dan kiri, ia
Hafsah hanya menghela nafas panjang. Sekilas bayangan masa lalu antara dirinya dan Raharjo kembali berputar dalam memorinya yang masih ia simpan hingga tujuh turunan dan tanjakan. Hafsah tidak akan pernah lupa itu. Nafasnya memburu, dadanya bergemuruh hebat, kepalanya terasa berdenyut.“Tapi ini memang kesalahan Risa, karena dia tidak bisa menjaga badan untuk menyenangkan Azzam. Berbeda denganku dulu, aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik pada mas Harjo, tapi dia masih saja kecantol si Tuti jal-ang itu.” Gumamnya mensugesti diri sendiri dan tetap saja menyalahkan Clarissa dalam kasus rumah tangga putranya tersebut.Nuri kini sudah berada di rumah Risa. Ia menatap iba pada sang kakak ipar yang tampak menatap kosong pada benda pipih di depannya sana yang menayangkan siaran kartun kesukaan Melisa dan Azkira.“Coba hibur mbakmu, kasihan dia. Melamun gitu, bahkan dia tidak lagi bersemangat untuk jualan.” Bisik pak Harjo pada Nuri, ia merasa iba pada menantunya
Imas menatap sengit ke arah Azzam yang begitu mudah mengingkari janji-janjinya selama ini. Padahal selama ini Azzam telah berjanji akan menikahi dan menghidupi semua anak-anaknya termasuk kedua putrinya bersama suaminya yang dulu.“Kau memang terlalu egois, mas. Baru juga seminggu yang lalu kau mengatakan akan segera menikahiku dan menafkahi anak-anakku.” Tukas Imas dengan nada penuh dengan penekanan, ia kembali menyeka airmatanya, bibirnya bergetar. Ia mengira jika Azzam benar-benar mencintainya selama ini, ternyata ia salah.“Andai saja mas Andre tidak masuk penjara. Aku juga tidak akan mengemis padamu, Azzam.” Batin Imas dengan dada bergemuruh hebat menahan amarah yang sudah membludak.“Tapi kedua putrimu itu bukan urusanku, Imas. Jika kau bilang Azka putraku, oke. Aku akan menafkahinya. Dan yang perlu kau ingat, aku tidak akan pernah melepaskan Risa.” Sahut Azzam begitu menohok dan menyakitkan.“Hem, kau tidak mau melepaskan Risa. Tapi kau berulah, sekarang bukan waktunya berdebat
Risa segera membereskan semua barang dagangannya, mencoba menghindari tatapan penuh intimidasi dari Atikah.“Kau yakin tidak mau cerita sama aku?” tanya Atikah, pertanyaan ini sudah yang ke 20 kali Atikah lontarkan sejak kedatangan Risa kemari.“Tidak, Tik. Ada anak-anak, tidak enak. Aku tidak mau mereka ikut mikir masalah orang tuanya.” Jawab Risa menolak untuk curhat di tempat yang tidak tepat seperti ini.“Apa kau butuh bantuan untuk melabrak perempuan jal-ang itu?” tanya Atikah lagi. Risa tersenyum ketika melihat ekspresi wajah sahabatnya itu.“Aku tidak ingin mengotori tanganku, biarkan saja hukuman berjalan seiring waktu. Allah gak tidur, Tik. Lagian hidupku tidak harus berhenti hanya karena mas Azzam berbagi hati.” Jawab Risa masih tenang, sambil terus mengemas barang-barangnya, taksi online sudah menunggu.“Lagian untuk apa juga mempermalukan diri sendiri, mbak. Tetaplah menjadi wanita elegan dan mahal meskipun tersakiti.” Timpal Nuri sambil mengangkat kompor dan tabung gas da
Pak Masrial mendelik ketika mendengar ucapan Azzam barusan, ia beranjak bangkit dari duduk.Braakk!Pak Masrial menggebrak mejanya, tatapan bengis ia tujukan pada Azzam saat ini yang sangat lancang sekali. Tentu saja Azzam terkejut akan reaksi atasannya tersebut. Pak Masrial lalu melangkah mendekati bawahannya itu dengan rahang yang mengeras, gigi bergemeletuk, amarah yang sudah menggelegak di ubun-ubun.“Kau mengancam saya? Kau pikir saya takut, silahkan saja kau katakan kebohongan apapun pada istri saya. Saya tidak akan pernah takut.” Tegas pak Masri dengan lantang, untung saja ruangannya kedap suara. Jika tidak, mungkin pertengkaran mereka akan didengar rekan-rekannya yang lain. Pak Masri mencengkram dengan kuat rahang Azzam.“Ini kesalahan kamu sendiri, jangan mencari kesalahan orang lain. Pemecatan ini juga dari pusat dan telah diambil dari voting rekan-rekan yang lain. Lagian siapa yang mau mempekerjakan pria samp-ah sepertimu.” Sambungnya melontarkan kalimat yang sangat menohok
Azzam menjambak rambutnya dengan kasar. Ia bingung, ia mengira memiliki istri dua itu akan mudah, nyatanya hidupnya justru semakin rumit.“Arghk! Kau ini kenapa susah banget di atur sih? Jika kau berada di posisi Risa, apa mau tinggal satu rumah dengan madumu?” tanya Azzam geram, ia menatap sengit ke arah Imas yang terlalu banyak minta.“Ya, kalau penghasilan kamu tetap 60 persen sama aku, ya gak masalah sih. Aku biasa saja,” jawab Imas dengan ekspresi kurang ikhlas.“Lagian, pertanyaan kamu itu aneh, mas. Mbak Risa kan sudah tahu tentang aku, mungkin dia akan terima lah.” Sambung Imas sambil terus duduk di dalam mobil yang siap akan berangkat dengan tatapan sinis ke arah Azzam. Namun sang supir belum tahu kemana arah tujuan mereka.“Kalau begitu aku akan mencari perempuan lagi, dan akan tinggal bersama dengan kalian, bagaimana?” Ancam Azzam.“Sudah deh mas, jangan terlalu banyak bicara, sekarang kita berangkat yuk.” Ajak Imas mulai kesal dengan Azzam, karena Azka juga sudah mulai rew
“Apa maksud ibu? Sudah jelas-jelas semua ini kesalahan Azzam dan Imas. Kenapa Risa yang harus mempertanggungjawabkan semua ini? Jangan tutup mata, bu.” Pak Harjo menatap lekat ke arah sang istri yang sepertinya sudah gelap mata.“Bapak yang seharusnya buka mata, lihat, karir Azzam hancur karena ulah siapa? Ulah Risa, pak. Ibu juga pernah berada di posisi Risa, tapi ibu gak pernah mempermalukan bapak, cukup kita saja yang tahu. Tapi Risa, apa yang dia lakukan, bukan hanya Azzam yang malu, tapi ibu, bapak dan semua keluarga kita.” Seru Hafsah dengan lantang, ia sampai berdiri menatap nyalang ke arah Harjo.“Jangan kait-kaitkan masalah Azzam dengan masalah kita, bu. Beda.” Jawab pak Harjo masih dengan nada rendah.“Sudah deh, pak. Apa sih untungnya bela Risa mulu, atau jangan-jangan bapak dengan Risa ada…” Ucap Azzam menatap penuh selidik dan curiga, karena pak Harjo selalu saja membela Risa selama ini.“Apa?! Jangan kau pikir bapak segila itu. Bapak dan Tuti dulu tidak memiliki hubungan
“Tidak usah terlalu banyak tanya.” Sentak bu Hafsah langsung saja mendorong daun pintu rumah mewah Risa, ia segera masuk tanpa di persilahkan. Sebab Hafsah enggan mendengar ocehan tetangganya itu, ia melemparkan dengan asal koper milik Imas ke lantai. Lalu ia menghempaskan bobot tubuhnya keatas sofa.Risa menatap penuh intimidasi pada Pak Harjo yang sedang menutup daun pintu dengan pelan.“Jangan menatap bapak seperti itu, kita bicara di dalam saja, yuk.” Pak Harjo menepuk pelan lengan Risa, wajahnya lesu. Karena ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk Risa dan kedua cucunya saat ini.“Sepertinya penting, pak.” Selidik Risa, perasaannya mulai tidak enak.“Siapa mbak tamunya? Gak ada so…” Nuri menghentikan kalimatnya ketika melihat pak Harjo masih berada di dekat Risa. Ia menarik nafas panjang, dadanya bergemuruh hebat, kedua tinju mengepal.“Bapak! Kenapa semua pakaianku di bawa kesini? Bapak sama ibu mengusirku dari rumah?” tanyanya dengan nafas memburu.“Bukannya kau lebih betah tinggal