Share

Bab 6

Azzam keluar dari kamar, ia sudah berpakaian rapi dengan seragam dinas kerjanya. Rambutnya kelimis, aroma parfum menguar ketika ia melintasi Risa yang sedang menyapu lantai. Mereka tidak saling tegur sapa, tampak Azzam memakai masker dan helm.

“Heh! Ternyata masih punya rasa malu juga.” Batin Risa sambil terus menyapu, ia hanya menatap Azzam sekilas saja.

“Mana kunci motor?” tanyanya entah dengan siapa, Risa abai.

“Risa! Telingamu tuli? Mana kunci motormu, si-alan!” Teriak Azzam sambil berkacak pinggang menatap penuh amarah pada Risa.

“Kukira kau bertanya dengan tembok. Untuk apa kau minta kunci motorku, pakai saja motor king ku itu.” Jawab Risa melanjutkan pekerjaannya, tidak ingin menanggapi Azzam lebih lama lagi.

“Kau masih bertanya untuk apa? Aku harus seperti ini karena ulahmu. Berikan kunci motormu, cepat!” Azzam tiba-tiba saja sudah mencekal dengan keras lengan Risa.

“Ssh, ahh! Sakit. Lepaskan Zam, sepagi ini, kau sudah menyakitiku dua kali. Singkirkan tangan kotormu itu dari lenganku.” Tegas Risa sambil menepiskan dengan kasar tangan Azzam.

“Makanya cepat berikan kunci motornya, bren-gsek!” Umpat Azzam kini sikapnya agak kasar dan pemarah, jauh dari biasanya yang terlihat begitu perhatian pada Risa. Mau membantu pekerjaan rumah tanpa mengeluh. Itu sebabnya Risa tidak pernah bertanya tentang gaji yang hanya diberi seperempatnya saja dari jumlah gaji Azzam. Akan tetapi Azzam benar-benar tidak bersyukur telah memiliki Risa.

“Ayah! Kenapa sih, ayah sama nenek marah-marah melulu sama ibu. Kasihan ibu, ayah.” Teriak Azkira, wajahnya masih pucat, mungkin Azkira belum fit betul karena semalam demam. Azkira meraih tangan Risa lalu memeluknya.

“Jangan ikut campur urusan ayah dan ibu, kau masih kecil. Sebaiknya kau siap-siap berangkat ke sekolah.” Bentak Azzam sambil mencekal kembali lengan Risa dan menyeretnya menuju kamar mereka.

“Lepaskan, mas.” Sentak Risa berusaha melepaskan cekalan tangan Azzam yang kuat.

“Ayah, lepaskan ibu.” Teriak Azkira sambil mengejar kedua orang tuanya dengan perasaan berkecamuk. Melisa yang melihat itu segera berlari menuju depan, dimana pak Raharjo dan bu Hafsah berada.

“Akung, ayah menyakiti ibu lagi. Cepat kung, tolong ibu.” Seru Melisa diiringi dengan isakan tangis, ia menarik tangan pak Raharjo dengan keras. Sang kakek dengan cepat mengambil tindakan, beranjak bangkit mengikuti langkah Melisa.

“Azzam, apa yang akan kau lakukan? Lepaskan Risa!” Bentak pak Raharjo dan segera menarik putranya, apalagi ketika melihat Azkira yang menarik tangan Risa. Itu semakin membuatnya panik, pak Harjo mendorong tubuh Azzam agak menjauh dari Risa dan Azkira.

“Apaan sih, pak. Aku hanya minta kunci motor dengannya, tapi Risa ini batu.” Tukas Azzam sambil menunjuk Risa.

“Anak sama ibu sama aja, suka memfitnah.” Lirih bu Hafsah sepertinya di dalam otaknya kini sudah dipenuhi dengan sesuatu yang tidak benar dari ucapan Azzam. Sehingga bu Hafsah tidak dapat melihat kebenaran. Padahal selama ini bu Hafsah tidak seperti itu, walaupun sering mengomel, dia tetap saja membantu dan mengurus Risa ketika sakit. Tetapi, akhir-akhir ini entah setan mana yang merasuki bu Hafsah sehingga tampak membenci Risa.

Klunting!

Risa melemparkan kunci motor matic yang biasa ia pakai ke arah Azzam, dan terjatuh di lantai. Setelah itu ia segera menarik tangan kedua putrinya, ia begitu kalut ketika pertengkarannya dengan Azzam disaksikan kedua putrinya. Sementara Risa hingga setua ini tidak pernah melihat ayah dan ibunya bertengkar, itu sebabnya dia merasa begitu sedih.

Brak!

Risa menutup pintu dengan kasar, lalu terdengar dari dalam sana anak kunci yang diputar beberapa kali.

“Perempuan sinting, bau keringat. Seperti ini kelakuanmu, macam mana aku akan betah di rumah.” Ucap Azzam sambil menempelkan kepalanya ke daun pintu, kini sifat aslinya terlihat setelah 10 tahun pernikahan mereka.

“Azzam, kau tidak boleh bicara seperti itu. Lagian, semua ini juga salahmu, jangan memutar balikkan fakta,” tegur pak Harjo karena melihat Azzam bersikap agak kelewatan.

“Salah Azzam bagaimana sih, pak. Jelas-jelas ini semua ulah Risa yang sudah membuang kotoran ke wajah kita, sadar, pak.” Sangkal ibu Hafsah menunjuk wajahnya sendiri, ia tampak tidak terima dengan ucapan suaminya.

“Kamu yang seharusnya sadar, bu. Buka mata kamu, Azzam yang melakukan dosa, dan Risa hanya korban. Kenapa ibu malah menyalahkan Risa.” Sahut pak Harjo meninggalkan bu Hafsah.

“Heh! Apa yang sudah di ucapkan sama perempuan itu, kenapa bapak sampai berpihak padanya. Ya sudah bu, aku mau berangkat kerja dulu, nanti terlambat.” Timpal Azzam ngeloyor pergi begitu saja. Bu Hafsah juga mengikuti langkah Azzam hingga ke depan. Tampak Azzam dan pak Harjo sudah menyalakan motornya.

“Bapak mau kemana?” tanyanya.

“Ya kerja lah, mau kemana lagi.” Jawab pak Harjo ketus lalu melajukan motornya perlahan.

“Pak, libur saja. Nanti bapak bisa-bisa dihujat di tempat kerja, kau juga Zam, lebih baik libur saja daripada malu,” teriak bu Hafsah, akan tetapi pak Harjo abai, ia tetap melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Azzam sempat berpikir sejenak dengan ucapan bu Hafsah barusan tentang dihujat. Akan tetapi ia menepis semua bayangan buruk tersebut.

“Mereka semua mempercayaiku, mana mungkin langsung percaya dengan video berdurasi 20 detik itu.” Sangkalnya sambil melajukan motornya dengan kecepatan sedang.

***

[Heh perempuan dekil penampilan kayak babu. Aku bisa saja menuntutmu karena sudah menyebarkan video itu tanpa seizinku. Aku akan melaporkan kamu dengan tuntutan pencemaran nama baik.]

[Pantas saja mas Azzam lebih memilihku, ternyata kau seperti itu. Kucel, dekil persis kayak babu. Dan satu lagi, ternyata kamu bod-oh.]

[Ingat ya babu, aku tidak akan tinggal diam jika kau berusaha memisahkan suamiku dari anak-anaknya. Kau akan tahu akibatnya, dan tentang rumah itu, anak laki-laki mas Azzam lebih berhak daripada kedua anakmu itu, paham?!]

[Aku tidak akan mundur. Mas Azzam milikku, paham?!]

Risa mengerutkan keningnya ketika membaca pesan dari nomor tidak dikenal. Dan Risa juga sangat yakin jika itu nomor Imas, gundiknya Azzam.

“Gundiknya Azzam urat malunya benar-benar sudah putus. Kau jual, aku akan beli, lihat saja nanti.” Gumam Risa sambil membuka lemarinya, ia mengeluarkan berkas-berkas penting yang dia butuhkan nanti saat menggugat cerai Azzam. Ya, Risa sepertinya akan menggugat cerai Azzam setelah melihat sikap Azzam pagi tadi, itu semakin membuat Risa menetapkan keputusannya.

“Risa! Ris!” Panggil bu Hafsah dari luar sana dengan suara lantang. Risa yang ada di dalam dengan malas beranjak bangkit, sebelum keluar, ia menyimpan terlebih dahulu berkas-berkas penting itu, terutama surat-surat motor dan perhiasan.

“Ada apa sih, bu?” tanyanya setelah membuka pintu agak kesal.

“Semua ini karena ulahmu, ini, belikan ibu ayam dan sayuran lainnya. Mau di letak mana muka ibu karena ulahmu itu, bikin malu saja.” Ucap bu Hafsah sembari meraih tangan Risa, ia meletakkan selembar uang berwarna merah di sana.

“Kenapa ibu masih terus menyalahkan aku, jelas-jelas yang membuat malu ibu itu mas Azzam, bukan aku.” Sangkal Risa tidak terima.

“Terserah, intinya, kalau semua ulahmu ini berdampak buruk pada Azzam. Saya tidak akan tinggal diam.” Ucap bu Hafsah melotot ke arah Risa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status