Share

Bab 5

Aku tersenyum tipis ke arah ibu yang terlihat sudah meradang. Lalu aku langsung melangkah mencari-cari ponselku yang tertindih bantal, karena semalam aku meletakkannya secara asal.

“Ibu tidak apa-apa?” tanya Meli terlihat cemas, Azkira juga mendekat, menatap penuh kekhawatiran. Sesekali mereka menoleh ke arah sang nenek dengan tatapan tidak senang karena telah menyakiti ibunya.

“Tidak apa-apa sayang, sebaiknya kamu dan Azki main di luar atau ke kamar saja ya. Ibu masih ada urusan dengan nenek.” Ucapku dengan lirih sambil mengelus kepala mereka lalu mengecup dengan lembut tepat di kening. Kedua putriku menurut, meskipun agak berat meninggalkan aku bersama dengan neneknya di sini yang masih terlihat begitu marah sekali.

“Kenapa? Apa yang kau ucapkan pada Meli dan Azki, mau mendoktrin buruk tentang Azzam?!” Tuduh ibu lagi dengan dada yang kembang kempis dan tatapan kian bengis ke arahku. Aku tidak peduli, aku beranjak bangkit ketika sudah mendapatkan ponselku, lalu ingin mengecek sosial media. Tetapi, sebelum mengecek sosial media aku melirik pesan w******p yang sudah menumpuk dari teman-teman satu lapak saat jualan.

[Ris, sumpah! Aku gak salah lihatkan? Itu beneran Azzam atau bukan sih?] isi pesan dari Sari bertanda tanya dengan mengirimkan sepenggal rekaman video mas Azzam dalam keadaan polos saat penggerebekan.

[Gila! Ini beneran Azzamkan, astaga tidak menyangka sekali,]

[Serius ini Azzam, Ris. Tega sekali, mana selingkuhannya burik lagi. Auranya tengah malam, dah sama kayak Pontianak. Muka siang, badan malam,]

Masih banyak lagi isi pesan dari deretan teman-teman jualanku, dan ketika aku akan membuka pesan dari Atikah, aku agak ragu. Karena aku tahu bagaimana respon sahabatku itu sekarang. Pesannya darinya juga sudah menumpuk, di log panggilan tidak terjawab juga sudah banyak dari Atikah. Tangan gemetar ketika membuka pesan dari Atikah, klik.

[Apa kubilang, Azzam itu tidak sebaik yang kau kira Clarissa. Lihat sekarang, air susu dibayar dengan air tuba,]

[Aku sudah mengingatkanmu berulang kali agar selalu waspada dan selalu memperhatikan Azzam. Lihat sekarang, ya Allah, Risa!]

[Ingat kata-kataku setahun yang lalu kan? Jangan datang kepadaku dengan tangisan penyesalanmu itu ya. Karena aku sudah mengingatkanmu berulang kali, tapi kau selalu saja menganggap sepele. Kau masih muda dan cantik, Ris. Kau bisa mendapatkan laki-laki lain yang lebih baik dari Azzam, tapi bagaimana dengan Melisa dan Azkira? Ya Allah, Ris, aku tidak bisa ngomong apa-apa lagi.]

[Kau kemana sih? Kenapa di telpon gak diangkat, jangan bilang kau sudah merencanakan untuk bun-uh dir-i.]

Atikah mengirimkan pesan berbentuk emoticon menangis dan marah sebanyak-banyaknya. Tanpa sadar, kedua netraku juga sudah mengeluarkan air mata.

“Ibu tidak akan pernah memaafkanmu jika…”

Tiba-tiba saja ucapan ibu terhenti karena ada suara berisik di depan sana, suara pintu yang dibuka dengan paksa.

Brakk!

“Risa! Risa!” Suara mas Azzam menggema dari depan sana. Melisa dan Azkira yang mendengar itu segera berlari keluar kamar menghampiriku, mereka terkejut dan takut.

“Azzam, bicarakan dengan kepala dingin.” Tidak setelah itu terdengar suara bapak yang mengejar mas Azzam yang kini sudah berdiri di depanku dengan wajah memerah, gigi bergemeletuk, kedua tinju sudah mengepal.

“Ada apa sih mas kok teriak-teriak, kayak lagi di hutan saja. Lagian di rumah ini gak ada yang telinganya tuli.” Timpalku sambil memeluk kedua putriku yang sudah ketakutan.

Plaakk!

“Aww!” Pekikku sambil memegangi kedua putriku, mendekap mereka penuh dengan amarah karena mas Azzam berani melakukan kekerasan terhadapku di hadapan anak-anak.

“Azzam!” Bentak bapak menarik putranya menjauh dariku.

“Istri kurang ajar seperti Risa memang pantas diperlakukan seperti itu, pak. Ibu malu karena ulahnya menyebarkan video Azzam ke sosial media.” Sambar ibu membela dan membenarkan apa yang dilakukan oleh mas Azzam.

“Aku tidak melakukan apapun, bu. Ibu malu karena ulah anak ibu sendiri, bukan aku.” Teriakku sudah tidak tahan lagi, sungguh hatiku semakin sakit karena mas Azzam tidak memikirkan perasaan Melisa dan Azkira sama sekali.

“Aku kau bilang?! Kalau bukan karena kau, maka video itu tidak akan pernah ada. Aku tidak akan pernah memaafkan dengan apa yang telah kau lakukan, Risa.” Mas Azzam menunjukku penuh dengan amarah yang menggelegak. Aku berbisik pada Melisa dan Azkira agar masuk kembali ke kamar mereka.

“Tapi bu.” Melisa menatap sendu ke arahku, mungkin mereka takut jika aku kembali disakiti.

“Tidak apa-apa, kunci pintunya ya.” Jawabku dengan nada lembut sambil menahan rasa ngilu dan kebas pada pipiku, aku juga mendorong pelan tubuh kedua putriku agar segera masuk ke kamar mereka. Setelah Melisa dan Azkira masuk, aku mendekati mas Azzam.

“Kau bilang tidak akan memaafkan aku? Kau yakin jika aku masih berharap denganmu?” Tukasku tanpa takut sama sekali, bahkan aku merasa jijik ketika melihat mas Azzam, dadaku bergemuruh hebat, jantung berdegup dengan kencang ketika berhadapan langsung dengannya.

“Mana katanya kau selalu juara kelas ketika sekolah dulu? Kau tidak bisa melihat dan menilai, hah? Aku di jebak, Risa. Ini tidak seperti apa yang kau bayangkan dan lihat. Hapus video yang telah kau sebarkan di sosial media itu.” Imbuh mas Azzam ingin merampas ponsel yang aku pegang, akan tetapi aku segera menghindarinya.

“Hahaha! Di jebak? Aku tahu sudah berapa lama kau berhubungan dengan gundikmu itu, jadi, kau tidak perlu mencari pembelaan yang tidak masuk akal.” Sangkalku sambil tertawa sumbang, sakit, ya sakit sekali.

“Risa, Azzam, sebaiknya kalian bicarakan masalah ini baik-baik. Kasihan anak-anak kalau dengar, malu juga sama tetangga,” ucap bapak berusaha melerai adu mulutku dengan mas Azzam.

“Selesaikan baik-baik.” Sambung bapak lagi sambil melangkah mendekati ibu yang menahan amarah, bapak menarik tangan ibu dan membawanya ke depan. Entah apa yang bapak ucapkan dengan berbisik pada ibu, sehingga ibu menurut, padahal awalnya ibu menolak.

“Aku tidak akan memberimu ampun jika ini berpengaruh dengan pekerjaanku.” Ancam mas Azzam lagi sambil menunjuk wajahku dengan tatapan jengah. Aku hanya terdiam, nafas memburu tidak beraturan, bukan aku tidak ingin melawan lagi, akan tetapi menghargai bapak dan ibu, lalu tidak ingin Melisa dan Azkira semakin ketakutan. Karena aku yakin, saat ini mereka pasti sedang menyimak obrolan kami.

Mas Azzam langsung saja menuju kamar kami, aku juga memilih membereskan kasur tempat kami tidur semalam dengan perasaan gondok sekali. Aku mencoba menahan air mata, sambil tangan bekerja, aku juga berpikir langkah apa selanjutnya yang akan aku ambil. Ingin mengadu, tetapi aku tidak memiliki siapapun untuk tempat mengadu selain Allah. Mungkin hanya Atikah. Kedua orang tua dan kedua adikku meninggal kecelakaan saat aku masih sekolah. Sedangkan kakak menjadi tenaga kerja wanita di negeri orang.

Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status