“Tidak usah terlalu banyak tanya.” Sentak bu Hafsah langsung saja mendorong daun pintu rumah mewah Risa, ia segera masuk tanpa di persilahkan. Sebab Hafsah enggan mendengar ocehan tetangganya itu, ia melemparkan dengan asal koper milik Imas ke lantai. Lalu ia menghempaskan bobot tubuhnya keatas sofa.Risa menatap penuh intimidasi pada Pak Harjo yang sedang menutup daun pintu dengan pelan.“Jangan menatap bapak seperti itu, kita bicara di dalam saja, yuk.” Pak Harjo menepuk pelan lengan Risa, wajahnya lesu. Karena ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk Risa dan kedua cucunya saat ini.“Sepertinya penting, pak.” Selidik Risa, perasaannya mulai tidak enak.“Siapa mbak tamunya? Gak ada so…” Nuri menghentikan kalimatnya ketika melihat pak Harjo masih berada di dekat Risa. Ia menarik nafas panjang, dadanya bergemuruh hebat, kedua tinju mengepal.“Bapak! Kenapa semua pakaianku di bawa kesini? Bapak sama ibu mengusirku dari rumah?” tanyanya dengan nafas memburu.“Bukannya kau lebih betah tinggal
“Apa maksudmu, Azzam?!” tanya Risa dengan nada penuh penekanan, tatapannya tajam ke arah pria yang masih berstatus suaminya itu.“Ini bukan ideku, tapi ibu.” Jawab Azzam benar-benar tidak gentle sama sekali, tangannya menunjuk Hafsah.“Kenapa? Mau marah, lagian rumah ini milik Azzam juga.” Sahut Hafsah.“Benar, mas Azzam memiliki hak atas rumah ini. Jadi perempuan jangan serakahlah, mbak.” Sambar Imas tidak tahu malu, ia menatap sinis ke arah Risa yang terlihat tenang, meskipun di dalam hatinya sedang berkobar api amarah.“Diam! Kau tahu apa tentang rumah ini. Aku memiliki hak untuk menerima siapa tamu yang boleh masuk dan tinggal di rumah ini.” Tunjuk Risa pada Imas dengan kedua mata mendelik dan memerah.“Ayah, aku sama Ita mah kamar yang itu ya, yang kasurnya ada dua atas bawah. Terus ada sprei barbienya.” Tiba-tiba saja Lina datang memegang lengan Azzam, sambil menunjuk ke arah kamar Melisa dan Azkira. Padahal Azki dan Meli ada di dalam sana, bisa-bisanya anak dari Imas tidak tahu
Risa menatap datar ke arah Azzam yang kini juga sudah berdiri menatapnya dengan lekat, wajahnya memerah karena menahan amarah. Sengaja Azzam menahannya, karena melihat kedua putrinya ada disana.“Azzam, apa yang ucapkan? Jangan main-main dengan kata talak.” Tegur pak Harjo dengan nada tinggi dan kedua netra yang melotot ke arah putra sulungnya tersebut, dadanya kembang kempis mengikuti ritme nafasnya yang tidak beraturan.“Kenapa bapak menyalahkan Azzam, itu kemauan Risa sendiri. Dan Azzam berhak memberi sebuah pilihan, pak. Sebenarnya Azzam atau Risa sih yang anak kandung bapak?” tanya Hafsah dengan wajah bengis.“Ini bukan tentang siapa anak kandung, bu. Tapi tentang siapa yang memiliki hati nurani dan mata hati.” Sahut Nuri dengan suara bergetar, Risa yang diperlakukan buruk oleh sang ibu dan kakak, tetapi ia juga merasakan betapa sakitnya apa yang dirasakan oleh Risa.“Sudah ibu bilang, kau tidak usah ikut campur. Kau tidak akan tahu masalah rumah tangga.” Tegas Hafsah sambil menu
Risa lalu menepiskan tangan Azzam dari tangan Meli yang sudah membiru dengan tatapan begitu bengis sekali. Nafasnya terdengar kasar, lalu ia meminta Azki dan Meli segera berkemas.“Risa, tolong jangan ikuti amarahmu. Kasihan anak-anak,” ucap Azzam berusaha mencegah Risa agar tidak pergi dari rumah ini, jujur ia berat jika harus ditinggalkan oleh Risa dan kedua putrinya. Namun Azzam gengsi untuk mengakui dan terus menyalahkan Risa yang bersalah dalam hal ini.“Andai saja kau tidak menyebarkan video itu, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Aku masih bekerja, dan rumah tangga kita akan baik-baik saja.” Sambungnya lagi sambil mengikuti langkah Risa yang mondar mandir mengemas barang-barang penting milik Meli dan Azki.“Tolong. Aku tidak mau mental kedua putriku terganggu hanya karena kita ribut, tolong pergi dari sini.” Lirih Risa namun tegas. Azzam mendengus kesal, geram menahan amarah.“Kau akan menyesal dengan keputusanmu ini, Risa.” Tuturnya seolah Risa tidak akan pernah bisa lepas
Drrt!Baru saja Risa sampai dikontrakan mereka yang sudah selesai, disana sudah ada Atikah dan Damian pacarnya Atikah yang memborong pekerjaan membangun kontrakan milik Risa ini. Atikah menatap kesal pada Risa yang menurutnya mengambil tindakan bod-oh.Risa masih mengabaikan beberapa notif pesan yang masuk pada ponselnya, ia masih fokus pada pindahan sementaranya ini. Nuri memarkirkan motor di teras, lalu menyalami Atikah dan Damian bergantian.“Adik yang baik, mbak sudah membersihkan semuanya, kalian tinggal masuk saja.”Ucap Atikah sambil membuka pintu. Meli dan Azki memeluk boneka kesayangan mereka dengan tatapan sendu dan hembusan nafas yang berat. Atikah segera menghampiri kedua putri Risa.“Wah keponakan bibi yang cantik-cantik, kamar kalian sudah bibi bersihkan dan atur semuanya sesuai yang kalian inginkan, sprei barbie, gorden barbie dan berwarna pink yang pastinya.” Ucap Atikah untuk mengalihkan kesedihan yang saat ini dirasakan Meli dan Azki.“Beneran, bi?” tanya Meli dengan
Lina dan Ita berjalan mengendap mendekati ibunya, namun sial bagi keduanya, mereka justru menyenggol vas bunga yang terbuat dari keramik.Prang!Imas segera mematikan sambungan telepon secara sepihak, dan mengecek apa yang terjadi di belakang sana. Sementara Ita dan Lina sudah berlari kembali ke kamarnya dengan nafas terengah, mereka mengunci pintu dengan rapat. Sementara Imas masih celingukan mencari-cari siapa gerangan yang telah memecahkan vas bunga tersebut.“Apa mungkin kucing?” Gumamnya lirih, bertanya pada diri sendiri.“Atau…, mas Azzam?! Aduh, kalau sampai dia, mampus aku, kami bakal diusir dari rumah mewah ini.” Bergumam hampir berbisik, Imas menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu ia mengirimkan pesan pada pria yang bicara dengannya tadi.[Jangan pernah menghubungiku terlebih dahulu sebelum aku duluan yang menghubungimu. Besok aku akan kirimkan uangnya, malam ini kau pinjam saja dulu dengan temanmu. Untuk sementara nomormu kublokir.] Tulis Imas lalu mengirimkannya pada n
Imas meletakkan dengan asal belanjaannya yang sudah sebagian rusak parah. Kedua tangannya mengepal dengan geram ketika melihat pemandangan di depan sana, dua buah mobil colt diesel. Beberapa orang pria dengan cekatan mengangkut semua barang-barang yang ada di rumah yang saat ini ia tempati.“Ada apa ini?” tanyanya dengan kedua mata mendelik, tangannya berkacak pinggang. Semua orang yang sedang memperhatikan para pekerja yang mengangkut barang-barang elektronik dan yang lainnya menoleh ke arah Imas, termasuk Risa.“Masih tanya, ya ngangkut barang-barang milik mbak Risa lah. Masa iya ngangkut barang-barang kamu.” Sahut Nuri dengan ketus, tatapannya bengis. Imas lalu mendekati Risa, kini ia mulai panik dengan tindakan tegas Risa.“Mbak Risa, aku harap mbak bisa kembali ke rumah ini. Kita bisa berbagi dengan adil mas Azzam dan rumah ini dengan adil. Kamu tidak perlu bersikap seperti ini, bisa kita bicarakan dengan baik-baik.” Mohon Imas memasang wajah memelas.“Lagian kita memiliki hak ya
Imas tidak peduli dengan suara tangisan Azka, ia meninggalkannya begitu saja, begitu juga dengan Azzam, ia tidak peduli ketika anak itu berguling di tanah, tantrum. Imas masih terus menggandoli Damian dan teman-temannya yang berusaha membawa lampu kristal tersebut dengan sangat hati. Mereka melepaskan satu persatu agar tidak pecah.“Mas Azzam, kenapa kamu lembek sekali jadi laki-laki. Lakukan sesuatu, mas, ini rumah kamu, kamu memiliki hak yang sama seperti dia, lalu kenapa kamu hanya terdiam!” Teriak Imas dari ambang pintu, ia tampak sangat frustasi, berulang kali ia menyugar rambutnya dengan kasar sehingga terlihat acak-acakan.Risa yang melihat itu tersenyum puas.“Aku tidak akan biarkan siapapun menguasai rumahku dan barang-barang milikku. Jika kau mau laki-laki sampah itu, silahkan. Tapi tidak dengan hartaku.” Batin Risa mengepalkan kedua tinjunya geram. Rasanya begitu sakit sekali, Hafsah meminta uang sebanyak itu hanya demi membela wanita tidak tahu diri itu, bahkan Hafsah melu