Share

KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU
KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU
Penulis: Angga Pratama

Bab 1

KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #1

“Lepaskan!”

“Apa-apaan ini? Kami tidak melakukan apapun!” Suara seorang pria membela diri. 

“Arak saja, bila perlu telanjangi!” Suara riuh saling bersahutan dan memblokade jalanan.

Aku beranjak bangkit ketika mendengar keributan di jalanan sana, aku mengira jika ada kecelakaan. Karena banyak orang-orang yang berkerumun juga di sana. Bahkan beberapa teman sesama pemilik lapak di pinggiran kaki lima ini ikut heboh dan berlari menuju keramaian di sana. Akan tetapi, aku kurang tertarik, aku memilih berkemas karena malam semakin larut, apalagi sekarang sudah mulai gerimis mengundang.

“Ada apa sih?” tanyaku pada teman yang baru saja kembali sambil mengepalkan kedua tangannya geram.

“Huh, perempuan zaman sekarang ya, kok murah banget. Pelakor di pergoki istri sah di penginapan, di grebek noh sama warga dan RT, terus di arak, mereka hanya memakai pakaian dalam. Amit-amit, cantik mending, lah ini, auranya aura tengah malam, serem banget,” omel Atikah begitu menggebu-gebu. Bagaimana dia tidak begitu geram dan marah, rumah tangganya hancur juga karena orang ketiga.

“Astaghfirullahaladzim.” Aku hanya beristighfar, enggan berkomentar apapun, takut bernasib sama seperti Atikah yang suka berkoar-koar membanggakan suaminya, nyatanya, suaminya justru membuangnya. Masih ada untungnya Atikah belum memiliki anak.

“Makanya Ris, tuh si Azzam kamu jaga baik-baik. Mana ganteng, kerja enak di kantor camat lagi, aku yakin pasti banyak pelak-or yang sudah mengincar Azzam.” Tukas Atikah lagi dengan bibir tipisnya yang kadang berjengit. Aku hanya mengangguk, tersenyum dan meneguk saliva dengan kasar. Tentu saja ada rasa khawatir jika mas Azzam akan berpaling, apalagi zaman sekarang gempuran tentang orang ketiga ini semakin marak sekali, dan sepertinya mereka yang menjadi orang ketiga tidak memiliki rasa malu sama sekali.

“Dengar gak sih, Ris? Jangan sampai menyesal di kemudian hari, apalagi anak-anakmu masih kecil begitu, kasihan. Kalau aku mah bebas, gak ada yang gandoli dan membebani,” sambungnya lagi dengan nada ketus.

“Iya, Tik. Aku denger kok, nanti motor mas Azzam aku pakein GPS atau kamera tersembunyi, jadi tahu kemana dia perginya,” jawabku sedikit bercanda, karena, jika melihat sikap mas Azzam selama ini sepertinya ia tidak akan berpaling. Mas Azzam sangat perhatian, sering membantuku untuk menyiapkan keperluan jualan, karena kami memiliki tujuan yang sama, menyelesaikan rumah kami.

“Bercandanya gak lucu, Ris. Jangan sampai nanti kalau Azzam main serong, kamu curhat sama aku sambil nangis-nangis ya,” timpal Atikah lagi mengancam sambil menatap sinis padaku, namun tangannya terus bekerja membereskan barang-barang dagangannya, sama sepertiku.

***

Mas Azzam langsung menyambut dan membantuku ketika aku baru saja sampai, aku berhenti di teras rumah kami yang belum ada atapnya, karena rumah kami juga baru 60 persen yang jadi, itu sebabnya aku dan mas Azzam bekerja keras. Mas Azzam bekerja di kantor camat dari pagi hingga pukul 3 sore, dan aku mempersiapkan dagangan sambil momong kedua anak kami yang masih berusia 7 tahun. Sekitar pukul 4 sore aku berangkat berjualan dan bergantian dengan mas Azzam untuk mengurus Melisa dan Azkira.

Aku melongok ke dalam sambil meletakkan barang-barang di ambang pintu, terdengar suara Melisa dan Azkira tertawa ketika sedang menonton, lalu terdengar suara orang sedang memasak, karena spatula  yang menghantam kuali.

“Siapa yang sedang memasak, mas?” bertanya sambil terus menurunkan perkakas jualan burger miniku.

“Ibu, tadi mas ngerasa tidak enak badan, lapar, jadi minta tolong sama ibu untuk masakin mie,” jawab mas Azzam, memang terdengar suaranya agak sengau dan sesekali menyedot kembali cairan yang akan keluar dari hidungnya.

“Bukannya aku tadi sudah masak ayam kecap,” menjawab dengan agak kesal, karena aku sudah menyempatkan diri tetap masak di sela kesibukan mempersiapkan dagangan dan pada akhirnya tidak di makan juga.

“Lagi pengen makan mie saja, tadi Melisa dan Azkira makan kok,” jawabnya lagi, tetapi aku tidak menggubrisnya lagi, karena sudah terlanjur kesal. Aku langsung saja masuk menuju belakang, membawa semuanya ke dapur.

“Nah ini dia, istri tidak becus, suami sudah capek kerja, demam, malah di suruh ngurusin anak dan rumah lagi,” celetuk ibu mertua dengan nada ketus dan menjudge aku. Aku mengabaikan ucapan ibu, langsung saja menyalami lalu keluar menuju kamar mandi, karena gerah, namun aku masih bisa mendengar omelan ibu. Aku bersikap seperti itu karena ibu selalu saja menunjukkan sikap yang sama setiap kali bertemu, menuduhku ini dan itu.

“Istrimu itu, Zam, tidak punya sopan santun. Orang tua ngomong malah dicuekin,” ibu mengadu pada mas Azzam.

Setelah selesai mandi aku segera masuk ke kamar, ponsel mas Azzam berdering, namun aku abaikan hanya meliriknya sekilas saja.

‘Pak ketua’

Nomor itu terus saja memanggil berulang kali hingga aku selesai mengenakan baju. Aku langsung saja meraih ponsel mas Azzam, berniat akan memberikan padanya. Siapa tahu ada hal penting yang akan dibicarakan oleh atasannya saat ini.

Aku menghentikan langkahku ketika notif pesan masuk berdenting keras, bukan karena notifnya, tetapi sepenggal isi pesan yang terlihat.

[Mas cepat kesini, Alya sakit. Aku su…]

Aku segera membuka kunci sandi ponsel mas Azzam, tidak bisa. Aku mengulang kembali mengetikkan tanggal lahir pernikahan kami, nihil, salah. Lalu aku mengetikkan tanggal lahir Melisa dan Azkira, salah lagi. Astaghfirullahaladzim! Pesan dari siapa sih? Pak ketua siapa ya?

Aku mulai bingung dan panik, segala praduga dan kecurigaan pada mas Azzam.

Seketika aku teringat ucapan Atikah tadi, menggeleng, karena mas Azzam sepertinya tidak seperti itu. Aku yakin ini pesan nyasar. Aku mengunci pintu kamar, berpikir apa yang harus aku lakukan, ponsel mas Azzam masih di tangan.

“Kenapa mas Azzam mengganti sandi ponselnya, ada apa ya?” Bergumam, mencoba berpikir dengan jernih dan tenang tidak gegabah. Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan ponsel tersebut pada mas Azzam karena sudah berulang kali aku mencoba membuka sandi ponselnya tetap saja tidak bisa. Aku keluar dari kamar dengan tenang seperti tidak ada kejadian apapun meskipun rasa penasaran ini begitu bergejolak di dalam hati ini. Apalagi sepenggal pesan itu, kecurigaan ini semakin besar pada mas Azzam.

“Mas, ini pak ketua dari tadi nelpon terus. Pas diangkat langsung mati lagi, padahal sinyal bagus loh,” ucapku sedikit berbohong, padahal aku tidak sempat menjawab telepon tersebut, perubahan ekspresi wajah mas Azzam begitu kentara, panik. Ia segera bangkit menyambar ponsel yang kusodorkan padanya.

“Lain kali kalau ada yang nelpon di ponselku jangan diangkat. Biarkan saja.” Timpalnya terlihat agak kesal, aneh, ia langsung menuju keluar rumah. Aku masih menatapnya heran dengan degup jantung tidak karuan.

“Lagian, kau ini jadi perempuan terlalu lancang menyentuh barang-barang pribadi Azzam.” Tukas ibu sambil beranjak bangkit membawa mangkuk kosong bekas ia makan mie instan.

“Aku itu istri mas Azzam, bu. Wajarlah kalau hanya menjawab telepon, siapa tahu penting.” Menjawab, aku memang tidak pernah mau mengalah dengan ibu, meskipun melawanku masih di batas wajar saja untuk membela diri.

“Kau ini, kalau di bilangin ngeyel. Ibu sudah setua ini saja tidak pernah selancang itu menyentuh barang-barang pribadi bapaknya Azzam, jadi kau itu harus seperti itu. Suami dan istri bukan terus kau harus tau masalah kerjaan suamimu. Berikan mereka kepercayaan, biar rumah tangga itu langgeng,” jawab ibu panjang, yang menurutku aneh. Menurutku suami dan istri itu ya harus saling terbuka mau masalah apa saja, saling jujur dan percaya.

“Makanya ibu di bohongi terus sama bapak, jadi perempuan itu harus pintar, bu. Jangan mau dibod-ohi, lihat ibu sek…”

“Dek, aku keluar dulu sebentar ya. Pak Masrial minta tolong nih,” tiba-tiba saja mas Azzam masuk dan pamit akan pergi.

“Minta tolong apa, Zam? Malam-malam begini, Masrial siapa sih?” tanya ibu mewakili aku, mas Azzam terlihat bingung akan menjawab apa.

“Ehm. Itu bu, pak Masrial teman satu kerjaan sama aku. Dia minta tolong nyetirkan mobilnya untuk jemput saudaranya, iya saudaranya di terminal,” jawab mas Azzam agak mikir.

“Kenapa gak nyetir sendiri, kan sudah mobilnya sendiri?” tanyaku yang membuat mas Azzam agak terbengong sejenak, tampak agak bingung dan mikir.

“Dia belum lancar nyetir, sudahlah. Kau ini kayak wartawan saja, lagian kita ini manusia biasa dek, suatu saat akan membutuhkan bantuan orang lain juga.” Tukasnya dengan nada ketus sambil melangkah menuju kamar, ia keluar sudah mengenakan jaket, ekspresi wajahnya tampak panik dan ia melangkah tergesa-gesa, mencari helm dan yang ia perlukan, aku sengaja diam. Pikiranku masih tertuju pada pesan pak ketua tadi yang agak mencurigakan.

“Zam, sekalian antarkan ibu pulang,” seru ibu dari belakang.

“Ya sudah ayo, cepat bu, aku buru-buru nih,” jawab mas Azzam langsung keluar tanpa berpamitan denganku ataupun Melisa dan Azkira.

Seminggu sudah berlalu, seperti biasa aku menyiapkan semua daganganku. Kali ini aku akan mengajak Melisa dan Azkira, karena akhir-akhir ini mas Azzam selalu pulang terlambat.

***

Waktu terus berputar, tanpa terasa sudah hampir setahun. Aku melupakan tentang isi chat pak ketua tersebut dan menyibukkan diri dengan berdagang. Rumah impian kami kini sudah selesai 90 persen karena aku menjual bagian tanah yang dibagi oleh kedua orang tuaku.

Hari ini aku mengantarkan Melisa dan Azkira ke sekolah, dan mas Azzam berangkat kerja. Setelah mengantar anak sekolah, aku tidak langsung pulang, melainkan memilih berbelanja di toko grosiran di kampung sebelah yang terkenal murah. Namun ada yang menarik perhatianku ketika melewati salah satu rumah warga, di depan sana tampak motor yang sangat aku kenal, karena itu motor semasa aku gadis dulu terparkir dengan cantik di teras rumah tersebut.

“Bukannya itu motor mas Azzam?” Bergumam, lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status