Share

KEHIDUPAN KEDUA SANG DUKE
KEHIDUPAN KEDUA SANG DUKE
Penulis: j-Taesyaa

01. Racun Itu Membunuhku

Keluarga Loeyzen. Keluarga bangsawan di teritori Kerajaan Sternhill yang berperan besar atas kejayaan dan kemakmuran kerajaan saat ini, sehingga Kerajaan Sternhill dapat menjadi sebuah kerajaan yang hebat seperti sekarang. Mereka mengabdi kepada kerajaan dalam waktu yang lama dan berperan aktif dalam perang melawan aksi pemberontakan.

Atas jasa besar keluarga itu, mereka pun dianugrahi gelar Duke, dengan wilayah kekuasaan atau dukedom yang ‘besar’ dan luas.

Naga Api Biru dan Pedang Dewa adalah lambang dari Keluarga Loeyzen, memperjelas kekuasaan mereka di bidang pelayaran dan sebagai pewaris ahli pedang turun-temurun.

Sudah lima tahun sejak Duke Loeyzen sebelumnya telah mewarisi posisinya kepada putra tunggalnya yang langsung ditunjuk karena kekompetenannya.

Dan kini, Duke Loeyzen yang memanggul beban nama keluarga yang berkuasa itu ... tak lebih seperti orang bodoh yang sedang kepayahan meregang nyawanya.

?!

Suara tawa yang sarat akan nada ejekan itu menguar, beradu dengan suara petir yang menggelegar di langit malam yang gulita. “Tuan Duke ...? Hari ini, cukup menyenangkan bagi saya dapat berbincang dengan Anda.”

“Ergh ...!”

Wanita itu membulatkan matanya, serta mulut yang sedikit terbuka. Dengan kening yang mengernyit seolah merasa sungkan, ia menyambung ucapannya. “Oh? Apa kah saya salah paham? Kelihatannya Tuan Duke tidak nyaman berbincang dengan saya, karena sejak tadi hanya saya yang ‘mampu’ berbincang dengan Anda.”

Detik kian berlalu, namun tak kunjung sahutan terlontar dari lawan bicaranya. Kedua telinganya hanya mendengar bagaimana napas tak teratur dan tersenggal-senggal itu mengisi hening dalam ruangan.

Maka, sebuah senyuman pun terbit dari bibirnya.

Wanita itu, Seanne Fenheir── oh, atau kini sosoknya dikenal sebagai Countess Fenheir. Suksesor wanita Keluarga Fenheir pertama.

“Tuan Duke, setidaknya jawab pertanyaan saya yang satu ini saja.” Seanne melangkah mendekat, kemudian merendahkan tubuhnya untuk berjongkok tepat di hadapan wajah Altheo Loeyzen. “Ini adalah kemenangan saya, ‘kan?”

Erangan keras mengalun, menusuk indra pendengaran Seanne. Namun, ia acuh tak acuh.

“Apa sangat sakit? Saya minta maaf, Duke.” tangannya terangkat, mengelus surai hitam itu dengan lembut. “Saya sudah mencampurnya dengan Teh Resmani. Jika sakit, seharusnya Anda mengingat betapa manis teh yang Anda minum itu.”

Altheo terbatuk keras, memuntahkan darah segar. Dengan susah payah, ia membuka mulut untuk berbicara. “S-sebenarnya ke-kenapa?”

Tatapan datar itu menyorot pada wajah penuh amarah lawan bicaranya yang tengah sekarat itu. Kekehan kecil menguar, “Anda bertanya ... ‘kenapa?’, ya?” jari telunjuknya bergerak, mengetuk-ketuk dagu dengan lambat seolah mengikuti pergerakan detik pada jarum jam. “Kenapa Anda masih bertanya? Pertama, saya menginginkan jalur pelayaran yang Anda rencanakan. Kedua, Anda ada di pihak Putra Mahkota, sementara saya di pihak Pangeran Charles. Lalu ... tidak tahu kenapa, saya memang ingin melihat Anda meregang nyawa. Mungkin karena kekesalan saya di pesta debutante dahulu masih ada? Oh ... maafkan pemikiran kekanakkan saya yang satu ini.” paparnya, dengan senyum lebar menghiasi wajah cantiknya.

“Countess──”

Cklek.

Suara pintu ruangan yang dibuka dari luar oleh seseorang itu mencuri perhatian Seanne, alih-alih mendengarkan kalimat yang susah payah ingin Altheo ucapkan.

Begitu pun Altheo, suara langkah kaki yang berderap kian mendekat membuat suaranya berhenti, menahan kalimat yang ingin ia ucapkan hanya sampai di tenggorakan.

“Countess Seanne.” pria itu menebar senyum manisnya. “Sepertinya kau bersenang-senang, ya?”

Secepat itu, Seanna seketika berdiri. Ia sedikit membersihkan bagian belakang gaunnya, membersihkan noda dan debu yang mungkin saja menempel di sana. “Charles ..., mana mungkin? Aku merasa senang karena kedatanganmu.” senyum Seanna turut mengembang. Benar-benar senyum karena perasaan senang yang membuncah dalam dirinya, bukan senyum mengejek yang sejak tadi diperlihatkan pada Altheo.

Pria itu mengulurkan tangannya, “Baik lah. Kalau begitu, kemari, gadis pintar.”

Tanpa ragu, Seanne berhambur pada pria itu. Total tak peduli dengan eksistensi Altheo yang menelungkup tak berdaya karena racun di lantai ruang kerjanya yang dingin itu.

Charles De Sternhill. Pangeran kedua Kerajaan Sternhill. Dengan senyum manis yang menyimpan keculasan itu, ia menunjukkan sebotol wine yang dibawanya pada Seanne. “Terima kasih, Seanne. Semuanya ini karena aku memilikimu.”

Dari ekor matanya, Seanne melirik keadaan Altheo yang begitu kacau. Berkali-kali ia terbatuk darah dan napasnya semakin memberat, serta pandangannya yang sepertinya kian mengabur. Altheo hampir mencapai batasnya.

Batas hidupnya, tentu saja.

Dagunya diapit oleh sebuah jemari dengan sedikit tekanan, membuat Seanne meringis kecil. “Kenapa diam? Ayo, rayakan bersamaku.”

“Kita ... bagaimana jika merayakannya di tempat lain?”

Begitu selesai berucap dan tanpa sempat kembali mengatupkan bibirnya, sebuah benda kenyal lain menabrak bibirnya.

Charles menciumnya.

Seolah menghentikannya.

Satu belaian lembut terasa di wajahnya. Dari kening, menulusuri hidung serta pipinya. “Apa maksudmu? Perayaan terbaik adalah tepat di depan musuhmu ... yang sekarat. Itu indah untuk sama-sama kita kenang, Seanne. Tentu saja, dia akan mengenangnya di Neraka.”

“Setelah ini, semuanya akan jauh lebih mudah.” dengan nada rendahnya, Charles berbisik tepat di telinga kiri Seanne. “Jadi, ayo bersulang.”

Seanne tersenyum, matanya teduh menatap Charles di hadapannya. Seolah, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa kedepannya, semua akan menjadi lebih mudah. Juga, pria di hadapannya telah memilihnya dan menjadi miliknya.

Gelas kaca yang beradu, kemudian diteguknya wine itu perlahan ... membawa cairan berwarna merah itu menelusuri kerongkongannya yang mengering.

PRANG!

“Akh!”

Seanne terkejut. Sangat terkejut hingga refleks menjatuhkan gelas kacanya hingga beradu dengan lantai marmer biru itu dan pecah berkeping-keping saat merasakan kerongkongannya panas dan ... “UHUK!”

Dia batuk darah.

Persis seperti Altheo yang kini telah memejamkan matanya dan terbujur kaku di lantai.

Matanya membelalak, menatap Charles dengan tatapan bertanya sekaligus marah.

“Oh? Seanne ... Sayang, maaf?” Charles dan wajah khawatirnya itu menangkup wajah Seanne yang dengan cepat memucat. “Sepertinya aku tidak sengaja menambahkan sesuatu yang spesial juga ke dalam winemu?”

Apa?

Apa ini ... pengkhianatan?!

“Charles ...?!”

Charles tertawa lantang. Bersahutan dengan kilat yang menyambar-nyambar. Sorot mata itu, Seanne tak menyangka dapat melihatnya bersamaan dengan kakinya yang mulai melemah tak dapat lagi menopang bobot tubuhnya.

“Seanne, terima kasih.” Charles berkata. “Aku tak perlu mengotori tanganku sendiri, berkatmu.”

“Apa?”

“Pernikahan?” Charles menyunggingkan senyum miringnya yang nampak begitu angkuh itu. “Itu bukan janji, melainkan bualan. Kau polos sekali, ya?”

“Tidak, Charles.”

Charles masih tertawa, “Apa ini rasa senang yang kau rasakan ketika melihat Duke itu sekarat, Sayang?”

“J-JANGAN BERCANDA!” sentak Seanne, amat marah. Hal itu justru memperburuk dirinya, jantungnya terasa sedang diremat kuat, membuatnya tanpa sadar melelehkan air mata.

“Maaf, Seanne. Tapi daripada kau, Lady Fleura dari Keluarga Marquess Celvier akan lebih membantuku untuk mendapat kekuatan dan dukungan.” ungkap Charles ringan. Benar, meski mengucap ‘maaf’, ekspresi angkuh itu sama sekali tidak melunak. Ia melanjutkan, “Dan jika kau tiada, aku dapat mengambil jalur pelayaran yang kau incar itu. Serta pertambangan yang Fenheir miliki, dan beberapa aset ‘kecil’ lainnya. Aku harap, kau tidak keberatan, Sayangku.”

“AKH!” Seanne mengerang keras. “C-Charles, sa-sakit!”

“Sakit, ya?” Charles mengulangi. “Kau terlihat begitu kesakitan, Sayang. Aku, tidak mungkin tega melihatmu kesakitan.” ia membalik badan, memunggungi Seanne. “Kalau begitu, aku akan keluar. Mungkin, kau ingin mengobrol dengan Tuan Duke? Membandingkan rasa racun itu bersamanya, mungkin?”

Kekehan sinis itu terdengar. “Mana yang jauh lebih nikmat? Racun dengan Teh Resmani atau racun dengan wine? Kalian bisa berdiskusi berdua. Kalau begitu, kutinggal dulu!” seusai itu, kakinya melangkah menjauh, begitu pun bayangannya dalam penglihatan Seanne.

Seanne menjerit histeris.

Sakit di tubuhnya dan perasaan marah yang meletup-letup itu seakan berlomba untuk membakar dirinya.

“Ha ...,”

Seanne melirik tubuh Altheo yang tak terlalu jauh darinya.

Ternyata Altheo belum mati! Dia mendengar semuanya. Dia mengetahui semuanya.

Pembunuhnya ... dibunuh oleh orang lain dengan cara yang sama dengannya?

Bukan kah itu lucu?

Jika Seanne mati detik ini, bukan kah kematiannya adalah hal yang paling memalukan?!

Bahkan di akhirat, ia mungkin tak bisa mengangkat wajahnya!

Menyedihkan.

Ia dikhianati.

.

.

/ To be Continue /

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status