Share

Jatuh Cinta Setengah Mati

Waktu berlalu dengan sangat lama. Aku tidak mendengar suara lain kecuali napasku sendiri. Sunyi. Aku tahu percuma untuk berteriak. Tidak ada yang bisa mendengar suaraku. 

Aku kini hanya berharap ada guru yang menyadari ketidakhadiranku. Tapi sepertinya harapanku sia-sia. 

Akhirnya yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Jam sekolah usai. Matahari mulai redup. Aku bisa melihat dari semakin gelapnya bilik toilet. Dari cahaya matahari yang masuk lewat ventilasi luar, aku bisa mengintip sinar matahari yang main condong ke barat.

Aku menangis ketakutan, membayangkan melewati malam seorang diri di toliet yang gelap gulita. Aku  berada di titik putus asa terendah dalam hidup saat mendadak aku mendengar keributan di luar bilik.

"Periksa satu-satu," ujar suara yang akrab di telingaku. Suara Dokter Aldo.

Semangatku langsung menyala. "Tolong! Tolong! Dokter Aldo, aku di sini."

"Marla, kamu di mana?" tanya Dokter Aldo.

"Di sini. Toilet bilik yang paling ujung."

Tidak perlu lama aku menunggu pintu toilet dibuka. Dokter Aldo yang jangkung berdiri di depanku dengan pakaian kerja yang acak-acakan. Wajahnya tampak lelah tapi lega. Di belakangnya berdiri Pak Umar, penjaga sekolah kami. Pria berpakaian sederhana itu menunjukan wajah bersalah yang kentara terlihat.

Dokter Aldo menghampiriku yang berdiri gemetar. Dia kemudian mendekapku dengan sangat erat. Pelukan itu tidak sanggup kubalas sebab tubuhku terasa membeku.

"Ayo pulang," kata si Dokter.

Aku mengangguk lemah.

Sepanjang perjalanan pulang, dalam mobil Dokter Aldo, aku diam mematung. Aku ingin menangis agar merasa lega. Tapi air mataku rasanya sudah terkuras habis.

"Kalau kita sampai di rumah nanti, kamu jangan bicara apa pun. Nenek mungkin akan marah sebab merngira kamu keluyuran sepulang sekolah," kata Dokter Aldo.

"Jadi aku harus gimana?" tanyaku.

"Diam aja. Biar aku yang menjelaskkan semuanya. Kita mampir dulu untuk makan malam."

"Tapi kita bakal lebih lama sampai di rumah."

"Nggak apa. Toh, yang penting kamu baik-baik aja."

Aku menoleh menatap dokter itu. Di antara sejuta kemalangan dalam hidupku, ternyata masih ada yang peduli.

*****

"Terkunci di toilet sekolah?" tanya Bu Asih sangsi.

Di ruang keluarga aku merasa berada di ruang sidang dengan seorang dokter sebagai Kuasa Hukum yang membelaku. Sedangkan Bu Asih sebagai hakimnya. Aku yang terlalu lelah hanya bisa menatap keduanya dari kursi rotan di sudut ruang.

"Begitu kenyataannya, Nek," ujar Dokter Aldo. Dia berdiri tepat di sampingku.

"Kok bisa?"

"Pintu toiletnya rusak barangkali," jawab Dokter Aldo.

Bu Asih menghela napas. "Kamu bikin repot cucuku," katanya sambil menatapku.

Dokter Aldo meremas bahuku. "Jangan gitu, Nek. Marla memang jadi tanggung jawab kita begitu selama dia tinggal di sini. Nggak ada orang yang ingin seharian terkunci dalam toilet. Aku yakin, situasi ini juga nggak menyenangkan untuk Marla."

Seakan malas untuk bicara denganku, Bu Asih lalu beranjak meninggalkan aku dan cucunya. Dengan langkah pelan dia masuk ke dalam kamarnya.

Ketika aku dan Dokter Aldo hanya berdua, aku paksakan tubuhku untuk berdiri. "Dokter Aldo," ucapku pelan. "Kunci toilet itu nggak rusak. Aku diseret masuk oleh teman sekolahku yang naksir Gita. Katanya aku pantas mati."

"Nggak ada orang yang pantas mati," ujar Dokter Aldo. "Tidurlah. Besok pagi kamu harus ke sekolah."

Malam itu aku nyaris tidak bisa tidur. Bukan karena sakit atau ada sesuatu yang buruk. Melainkan karena Dokter Aldo berlarian dalam benakku. Senyumnya, caranya berjalan, dan pelukannya yang hangat semua kompak mengacau saraf otakku.

Barangkali segelas susu dingin bisa menenangkan hatiiku. Dengan langkah berat karena lelah, aku keluar kamar. Semula aku mengira hanya aku saja yang belum tidur di rumah itu. Tapi ternyata Dokter Aldo juga belum tidur. Dia malah tampil rapi dengan kemeja kotak-kotak yang lengannya digulung rapi.

Jam dinding di atas pintu dapur menunjukkan pukul satu dini hari.

"Dokter mau ke mana?" Aku bertanya sambil berjalan mendekatinya.

"Ke rumah sakit. Ada pasien darurat rujukan bidan," jawabnya sambil memakai sepatu sneakers. "Aku kira kamu udah tidur."

"Belum. Aku nggak bisa tidur," kataku. Kuperhatikan wajah pria itu lekat-lekat untuk mencari guratan lelah di raut wajah si Dokter. "Pulangnya jam berapa?"

"Mungkin subuh sebab aku menjadwalkan operasi sesar mendadak."

"Aku tungguin ya."

"Jangan. Kamu tidurlah," ujar Dokter Aldo. "Besok masih hari sekolah 'kan?"

"Apa Dokter memang biasa begini?"

Pertanyaanku tidak dijawab. Dokter itu hanya tersenyum kecil. "Kenapa?"

"Ini hampir dini hari lho. Aku sering melihat di TV ada kejahatan di jalan raya kalau udah lewat tengah malam?"

"Kita 'kan nggak tahu kapan orang mau melahirkan. Lagian bukan hanya aku yang dipanggil mendadak ke rumah sakit malam ini. Semua yang terlibat dalam di ruang operasi harus secepatnya ke sana. Aku janji, besok pagi waktu kamu bangun aku udah pulang."

Dengan hati bimbang, aku mengiyakan.

Dokter Aldo tidak menghabiskan kopi buatannya. Cairan hitam pekat itu masih mengisi separuh ruang di dalam cangkir. Sepertinya dia terlalu buru-buru.

"Bye, Marla," ujar Dokter Aldo sambil mengacak-acak rambutku.

Deg! Jantungku melompat tidak karuan. Aku terlalu kaget hingga tubuhku seakan membeku di tengah ruangan dapur tua. Tidak lama kemudian kudengar suara mobil Dokter Aldo yang semakin lama semakin menjauh.

Aku menatap meja makan, tempat Dokter Aldo meletakkan cangkir kopinya. Aku tidak suka kopi. Tapi aku suka membayangkan bibir Dokter Aldo ada di gelas itu. Tanpa bisa aku kendalikan, wajahku mendadak terasa panas.

Ya ampun! Baru kali ini aku merasa seperti apa rasanya jatuh cinta setengah mati.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status