Share

Bom Waktu Bernama Cinta

"Biar aku yang bicara dengan Nenek," ujar Dokter Aldo setelah berhasil menyusulku ke kamar.

"Jangan. Nggak perlu kok. Aku bisa mencari tempat kost," tolakku sambil memasukkan pakaian ke dalam travel bag.

"Kamu punya uang untuk membayar kamar kost?"

Pertanyaan itu menghujam tepat di hatiku. Dia benar. Aku tidak punya uang yang cukup untuk membayar kamar kost.

Dokter Aldo menarik bahuku. Kami kini berdiri berhadapan. "Dengarkan aku baik-baik, Marla. Kamu nggak boleh meninggalkan rumah ini. Kamu berada dalam pengawasan yayasan panti asuhan dan Dinas Sosial. Kalau kamu pergi, pasti ada sanksi untuk Nenek sebab gagal menjagamu."

Aku menatap wajahnya pria itu. Dia tidak seganteng aktor Korea, tapi dia punya sepasang mata teduh. "Tapi Bu Asih nggak mengharapkan aku ada di sini."

"Bukan gitu. Dia hanya sedang emosi sebentar. Aku yakin, dia akan berubah pikiran jika aku bujuk."

Aku menundukkan wajahku menatap ubin hitam keabuan yang menjadi tempatku berpijak. "Aku sudah biasa mengalami penolakan. Sedikit pun aku nggak takut menghadapi semua persoalan. Tapi sekarang ada satu hal yang membuat aku takut."

"Apa? Bilang aja."

"Aku takut kalau kehadiranku membuat masalah besar untuk Kak Aldo."

Tiba-tiba tanpa aku sangka, Dokter Aldo menarikku ke dalam pelukkannya. Erat sekali hingga tubuhku terasa hangat.

"Jangan khawatir," ujarnya pelan. Dia lalu melepaskan dekapannya. "Tunggu di sini."

Aku mengangguk pasrah.

Dokter Aldo berbalik badan dan meninggalkanku dengan langkah lebar. Dia seperti jenderal yang dengan gagah berani menghadapi pertempuran. Sedangkan aku hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan semakin menjauh.

Aku kira dia hanya pergi semenit dua menit. Ternyata sepanjang malam itu Dokter Aldo tidak muncul lagi. Aku menunggunya dengan cemas hingga jatuh tertidur masih dengan pakaian lengkap seperti orang yang bersiap meninggalkan rumah.

"Kak Aldo!" panggilku panik ketika terbangun dari tidurku. Kakiku bergerak cepat menuju bagian dalam rumah. Tapi dia tidak aku temukan. Aku berlari kembali ke area belakang rumah lalu masuk ke dapur.

Di ruangan itu langkahku sontak terhenti saat kulihat Bu Asih dengan anggun duduk di balik meja makan sambil mengaduk bubur oats. Wanita tua itu menatapku dengan tajam.

"Kenapa mencari cucuku?" tanya Bu Asih.

Aku berdiri membeku.

"Aldo sudah pergi," ujar Bu Asih lagi. "Semalaman dia memohon agar kamu yang tinggal di sini dan dia yang pergi."

"Kemana?"

"Bukan urusanmu. Kamu hanya perlu bersikap baik selama di sini. Lalu kalau tiba saatnya kamu pergi, aku nggak akan menunda semenit pun untuk mengirimmu ke panti asuhan."

Aku melihat ke arah garasi melalui jendela dapur yang terbuka lebar. Bu Asih benar. Mobil SUV Dokter Aldo tidak terlihat di sana. Dia sudah pergi.

Hatiku mendadak kosong. Aku menggigit bibirku untuk agar air mataku tidak berderai.

"Sekarang bersiaplah ke sekolah. Dan jangan coba mencari Dokter Aldo lagi. Kamu nggak pantas berada di dekatnya."

"Ya, Bu," kataku patuh.

Pagi itu aku merasa jiwaku hanya tinggal separuh. Aku melakukan semua kegiatanku dengan pikiran kosong dan hati hampa. Tubuhku bergerak secara otomatis seperti robot pembersih rumah.

Di sekolah, begitu konsentrasiku buyar dan pikiranku kosong. Ketika jam istirahat, aku enggan untuk keluar kelas.

Beberapa hari kemudian, dalam keheningan malam yang mencekam, aku menangis sendirian di kamar. Hatiku terasa sakit luar biasa saat memikirkan Dokter Aldo. Aku ingin sekali bertemu dengannya walau hanya semenit.

Setelah menangis semalaman aku bangun dengan mata sembab dan kepala pusing. Tubuhku bergerak seperti robot. Dengan pikiran kosong aku melakukan rutinitas pagiku. Keluhan Bu Asih pagi itu tentang pekerjaanku tidak membuatku bersedih. Karena aku sedang menanggung kesedihan yang lebih besar.

Suatu pagi dalam perjalanan ke sekolah, aku mendapat ide. Ide itu muncul ketika aku sedang mengamati iklan pil KB yang ditempelkan di pintu angkot. Sebuah kalimat yang tertulis di iklan itu menggugah kesadaranku.

Hubungi Dokter Kandungan Anda untuk Konsultasi Lebih Lanjut.

Ya benar sekali! Seseorang harus punya alasan jelas untuk bertemu dengan dokter spesialis obgyn.

Hari itu juga, sepulang sekolah aku berlari dan langsung naik angkot yang menuju rumah sakit tempat Dokter Aldo bekerja. Aku masih ingat dengan jelas di mana rumah sakit tempat dokter itu bertugas. Ketika akhirnya aku tiba di rumah sakit, aku segera ke bagian pendaftaran pasien.

"Ada yang bisa dibantu, Dik?" tanya seorang petugas berwajah manis memakai bando berwarna merah.

"Siapa dokter spesialis obgyn yang bertugas hari ini?" Aku balik bertanya.

"Ada Dokter Nirmala dan Dokter Aldo," jawab petugas itu. Dia memandang pakaian seragam SMA yang aku kenakan.

"Saya mau ke Dokter Aldo."

"Baik. Sebagai informasi awal, bisa disampaikan ada keluhan apa?"

"Saya rasa saya hamil."

"Hah?"

Aku tahu tindakanku terlalu nekat. Tapi hanya itu yang bisa aku lakukan agar bisa bertemu Dokter Aldo secepat mungkin.

Selesai melakukan pendaftaran, aku membuka pintu kamar periksa. Di balik meja yang berhadapan dengan pintu masuk, aku bisa langsung melihat Dokter Aldo. Dia sedang membaca kartu catatan medisku. Wajahnya terlihat sangat serius.

"Kak Aldo," panggilku dengan suara tercekat.

Dokter Aldo langsung menoleh, menatapku tidak percaya. Dia nyaris melompat dari kursi kerjanya. "Kamu!" katanya. "Kamu hamil?" tanya Dokter Aldo memastikan kondisiku.

"Nggak," jawabku.

Dokter Aldo menghela napas lega. Dia lalu memberi isyarat pada asistennya untuk keluar. "Lima menit," katanya.

Setelah asisten itu keluar, Dokter Aldo langsung memeluk tubuhku. "Aku sempat khawatir tadi. Kenapa kamu ke mari?"

"Aku kangen Kak Aldo," aku berkata dengan suara pelan. "Kangen banget."

Lalu tanpa kusangka, Dokter Aldo mencium bibirku. Gerakannya sangat lembut dan menghanyutkan. Membuat aku nyaris jatuh terkulai ke lantai.

"Marla, aku rasa aku jatuh cinta padamu," bisiknya di telingaku.

Alih-alih pernyataan cinta yang romatis, kami ibarat sedang bekerja sama membuat bom waktu.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status